Jumat, 06 Februari 2015

Satu Langkah, Lalu Segalanya

Nilailah kualitas seseorang dari masalah yang pernah dia hadapi dan yang berhasil dia selesaikan.

Orang-orang yang hadir dalam kehidupan kita bukanlah sebuah kebetulan. Mereka mempunyai peran masing-masing untuk mengajari kita banyak hal. Jika terkadang sahabat kita tampak begitu menyeballkan, sesungguhnya dia sedang mengajari kita tentang makna sebuah kesabaran. Sepakat?

Lalu kenapa alloh menghadirkan mereka? Karena Alloh tahu, untuk membuat kita kuat, kita perlu sesuatu yang melemahkan kita.

Saat kita ingin menjadi pribadi penyabar, seringnya alloh justru hadirkan sosok-sosok yang membuat pintu kemarahan kita terbuka lebar.

Namun disinilah poinnya. Jika kita mampu menahan kemarahan itu untuk tidak keluar meski pintunya sudah terbuka lebar, kita baru bisa disebut penyabar. Lha kalau pintu belum kebuka, namanya bukan sabar. Karena orang sabar itu bukanlah dia yang tidak punya amarah, tapi dia yang bisa menahannya disaat sebenarnya dia bisa mengeluarkannya.

Kita kuat bukan karena kita tidak punya kelemahan. Kita kuat karena kita mampu mengatasi kelemahan kita.

Sudah. Cukup. Saatnya bercerita. Hehe.

Ceritanya. Ada seseorang. Orang ini sudah lama jadi pengangguran. Mau tidak mau dia harus bekerja. Apapun. Asal dia bisa makan dan dia menikmati pekerjaannya. Untuk syarat pertama mungkin gampang. Giliran syarat kedua, ini yang susah.

Selama ini, dia tidak benar-benar bisa menikmati pekerjaannya. Ada saja alasan yang membuat dia mundur dari pekerjaannya. Dan yang paling sering: “saya tidak nyaman”. Nah, repot kan.

Tapi sekarang masalahnya berbeda. Ini urusan perut. Kalau dia tidak bekerja, ya selamat tinggal kebahagiaan perut. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, dia harus bekerja secepatnya. Jalan terakhir yang dia tempuh adalah, berdoa. Itu saja.

Dan benar, Alloh memang tidak pernah tidur. Nggak bakalan mungkin dia membiarkan hambaNya kelaparan. Yang tidak punya iman saja diizinkan berkenyang-kenyang, masak iya yang beriman mati kelaparan? Andaipun ada, tak lain itu memang kehendak Alloh untuk mengujinya dan memberikan kemuliaan selepas ujian itu. Nah orang ini, akhirnya dia dapet kerjaan baru. Tapi sekali lagi, alloh memang hebat. Dia berikan pekerjaan kepadanya, tepat di bidang yang tidak dia kuasai.

Dia selalu gugup bila bertemu orang baru. Dia tidak bisa menjaga obrolan dalam waktu yang cukup lama. Dia tidak mengerti bagaimana memulai percakapan dan kapan saat yang tepat untuk mengakhirinya. Dia benar-benar tidak mengerti bagaimana membuat orang lain tertarik dengan apa yang dia bawa. Dengan segala kelemahan itu, alloh berika dia pekerjaan: sales susu kedelai! Susu kedelai sachet!
Tepat! Ini jelas bukan pekerjaannya. Dia tidak mungkin bertahan di tempat ini. Tapi sampai kapan lagi perutnya dibiarkan kosong tanpa penghuni?

Akhirnya dia coba. Dengan penuh rasa terpaksa. Bukan karena mau. Tapi, mau tidak mau. Hehe.

Hari pertama. Pukul 6 pagi. Dia susuri jalanan. Jalan kaki sendirian. Dia beranikan masuk sebuah kampung. Ini tempat asing dengan orang-orang yang benar-benar asing. Dia dekati rumah pertama. Masih sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Setengah jam dia menunggu di luar. Bukan untuk menunggu sang penghuni keluar, tapi hanya untuk menjawab pertanyaannya sendiri: jadi jualan nggak ya?

Setengah jam berlalu. Setelah menimang-nimang segala kemungkinan, ditambah keadaan perut yang semakin keroncongan, dia kumpulkan seluruh kebaranian. Oke, dia putuskan untuk berjuang. Dia masuk, bertemu si empunya rumah, berbasa-basi sebisanya, menawarkan dagangannya dengan gaya paling kaku sedunia, dan setelah itu, dagangannya terjual! Hebat! Walau hanya 3 sachet. Walau yang beli bilang “iya deh mas, saya coba aja nggak papa”.

Tapi ini hebat. Di hari pertamanya bekerja pada tempat yang sama sekali tidak dia minati, dia berhasil mengukir prestasi. Hehe.

Semangatnya meninggi. Sekarang dia yakin dengan kemampuan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya. Dengan langkah kaki mantap, dia yakin bisa menaklukkan seisi kampung! Waktunya pembalasan!

Dua jam berlalu. Dia sudah berada di kampung berikutnya. Tapi eh tapi, setelah rumah pertama tadi, dia tidak berhasil menjual se-sachet pun! Persis dua jam berlalu, dia tidak menemukan pelanggan lagi.

Hampir putus asa, dia putuskan istirahat. Karena haus, dia jajal sendiri dagangannya. Ternyata enak! Dia jajal lagi dan jajal lagi sampai tiga kali. Jadi di pukul delapan pagi, dia berhasil “menghabiskan” 6 sachet. Tiga diujual, tiga diminum sendiri.

Dia menyadari satu hal. Produk yang dia jual ini berkualitas. Maka kalau nggak laku, berarti bukan salah produknya. Iya kan? Salah dia sendiri berarti. Makin putus asa lah dia. Sebenarnya dia mau pulang, karena instruksi dari atasan, tidak usah terlalu lama berada di jalanan. Tapi dengan dagangan yang baru laku tiga, masak iya dia berani pulang?

Dia putuskan berjalan lagi. Sampai jam sepuluh. Lebih dari empat kampung dia satroni. Selama dua jam tambahan itu, dia berhasil mengahabiskan 5 sachet. Dengan rincian: terjual dua, diminum sendiri tiga. Sehingga total hari itu, dia “menghabiskan” 11 sachet. Yang lima terjual, yang enam masuk perutnya sendiri. Karena sudah siang, sang atasan menyuruhnya untuk segera pulang. Kata dia, wajar, masih hari pertama.

Jadilah di hari pertama dia kerja, acaranya adalah blusukan.

Hari kedua, dia memantapkan hati untuk berhenti. Tapi dia pakewuh. Kontrak yang dia terima adalah, tidak berhenti dulu jika belum tiga hari.

Oke. Karena sungkan, dia berangkat lagi. Dan dia tahu konsekuensi apa yang akan dia terima. Dia harus kembali blusukan selama empat jam tanpa hasil. Yawislah, orapopo. Dengan modal pasrah dan bismillah, dia berangkat. Hari ini dia tidak punya beban, karena dia sadar akan apa yang akan dia alami. Dia pikirkan strategi sederhana dan memasrahkan apa yang akan terjadi setelahnya.

Dan anda tahu apa yang terjadi di hari kedua? Selama dua jam dia berjualan, mulai jam 6 sampai jam 8, seluruh dagangannya habis terjual. Benar-benar terjual. Bukan disikat sendiri kayak kemarin. Hehe.

Kuncinya apa? Kata dia, dia membuat peta kampung yang akan dia kunjungi. Jadi nggak asal masuk ke kampung. Itu pertama. Kedua, sebenarnya dia masih takut bertemu orang lain. Tapi “trial” empat jam di hari pertama itu membuat kepasarahnnya mengalahkan ketakutannya. Dia tampil tanpa beban. Dia masih takut, tapi tertutupi dengan kepasrahannya.

Dan di hari-hari setelah itu, pekerjaannya semakin baik dan semakin baik. Penjualannya semakin meningkat dan meningkat. Dalam sehari dia hanya perlu dua jam untuk mendapatkan penghasilan yang cukup besar. Karena pekerjaan yang cemerlang ini, dia naik pangkat. Tapi tahun lalu, karena alasan sekolah, dia keluar.

Yang menarik adalah, saat dia bercerita tentang “kesuksesannya” ini ke rekan-rekannya, banyak yang tertarik untuk bergabung. Ada sekitar 4 orang yang akhirnya ikut bergabung. Tentu karirnya dimulai dengan berjalan kaki seperti apa yang dulu dia lakukan. Dan hebatnya, rekan-rekan yang dia ajak ini, mereka bisa menjual rata-rata 25 sampai 30 sachet di hari pertama mereka. Bandingkan dengan dia yang hanya bisa menula 11 sachet. Itu saja yang 6 sachet dia makan sendiri. Hehe.

Dia memprediksi bahwa pencapaian rekan-rekannya akan melebihi pencapaiannya dulu. Tapi ternyata dia salah. Justru semakin hari, penjualan mereka semakin menurun, menurun, dan akhirnya mereka berhenti.

Dimana kesalahannya? “mungkin mereka terlalu mudah mendapat keberhasilan, mas.” Itu kata dia. Dan mungkin itulah pelajarannya yang paling berharga.

Berapa banyak tokoh hebat yang terlahir dari Rahim keterbatasan dan kegagalan. Yusuf Mansur yang berangkat dari balik jeruji besi karena lilitan utang, kini justru sukses luar biasa. Abraham Lincoln yang harus 12 kali merasakan kegagalan sebelum menjadi presiden, kini namanya menjadi legenda kebijaksanaan dunia. Rosulullah yang harus rela dilempari batu sampai berdarah-darah di thaif, yang harus rela meninggalkan kampung halamannya demi sebuah kebenaran, yang dicaci maki dengan cacian tak manusiawi, kini justru disanjung oleh  penduduk langit dan bumi. Bahkan hingga yaumul akhir nanti.

Mereka, orang-orang hebat itu, mereka berangkat dari kegagalan. Dan mereka besar karena itu.

Memang benar, kita tidak harus gagal dulu untuk merasakan sukses. Maka bersyukurlah jika anda memang seperti itu. Tapi setiap orang punya jalan ceritanya masing-masing. Dan selalu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Maka kalau anda saat ini merasa gagal, yakinlah, satu langkah lagi. Paksakan kaki untuk membuat satu langkah lagi. Jangan berhenti dengan alasan apapun. Lalu saksikanlah, satu langkah itulah yang akan menjawab segalanya.

Masalah tidak datang sendirinya. Ada Alloh yang menghadirkannya untuk kita. Maka saat kita menemui masalah besar, itu artinya Alloh memilih kita untuk menjadi solusi atas permasalahan itu dan Dia ingin kita mengukirnya diatas prasasti sejarah.

Dan jika orang lain membutuhkan solusi atas masalah yang sama, mereka hanya tinggal melihat apa yang telah kita ukir sebelumnya. Hebat, bukan?

Sesungguhnya bersama dengan kesulitan ada kemudahan.. bersama dengan kesulitan ada kemudahan.. (Al-Insyirah : 6-7)

The best way to escape from a problem is by solve it


Senin, 15 Desember 2014

Panelis Senior Itu Mengajak Kita Memilih Mereka



Mengapa tulisan pertama saya yang berjudul “belajar dari panelis senior” itu saya buat?

Tulisan itu saya buat sebagai tanggapan atas berita yang muncul sebelumnya. Anda tahu lah berita yang mana. Berita itu terlalu menggiring pembaca untuk tidak memilih capres-cawapres kita bersama, karena –menurut pesan tersirat dari berita itu-, berdasarkan debat kemarin, pasangan capres-cawapres itu  terlihat sebagai calon yang tidak layak untuk dipilih. Terbukti dari jawaban yang “tidak keren” atas “pertanyaan keren” yang diajukan salah satu panelis.

Boleh nggak berita kayak gitu? Ya itu mah terserah yang menulis, kan? Semua orang mempunyai hak untuk ber-opini dan menggiring orang untuk mengamini opininya. Maka sekali lagi, itu urusan mereka.

Nah sama juga, tulisan itu saya buat sebagai penyeimbang. Agar pembaca menyadari, bahwa poin-poin yang digunakan dalam berita tersebut untuk menggiring pembacanya agar tidak memilih, sebenarnya tidak layak kita amini bersama-sama. Ada beberapa potongan berita yang sengaja tidak dimasukkan kedalamnya, sehingga berita menjadi tidak lengkap, dan imajinasi publik juga ikut-ikutan terkorup. Dan itulah cara untuk menggiring opini para pembaca, dengan berita yang tidak penuh serta terpotong-potong.

Lalu kenapa di tulisan pertama saya, saya juga tidak melengkapi kontennya? Diawal tulisan tersebut saya sudah mengatakan bahwa, tulisan itu dibuat sebagai respon atas berita yang muncul sebelumnya. Maka, saya hanya membahas hal-hal yang juga dibahas di berita sebelumnya. Lebih tepatnya, membandingkan. Agar pembaca mempunyai sudut pandang yang lebih luas, dan tidak serta merta mengamini apa yang ditulis si pembuat berita.

Dan di tulisan ini, saya akan melengkapinya. Singkat saja. Tapi ini penting.

Setelah “menghajar” habis-habisan sang capres-cawapres dengan pertanyaan unik dan mematikan, mas bowo, sang panelis senior yang menjadi aktor di perbincangan kita, memberikan konklusi yang membuat panggung debat riuh dengan tepuk tangan. Beliau mengatakan:

“dari sekian banyak yang nonton, yang punya nyali, yang siap dan berani ya kedua capres-cawapres yang di depan.”

Di akhir debat itu beliau juga menyadarkan kepada kita pentingnya memilih. Terlepas dari apa yang beliau sampaikan sebelumnya bahwa andai beliau jadi mahasiswa UNS beliau tidak akan memilih –ini yang dijadikan jurus bagi si penulis berita agar kita tidak memilih-, beliau tetap mengajak kepada kita untuk menghormati keberanian empat rekan kita yang mau memperjuangkan nasib kita bersama. Caranya? Ya dengan memilih mereka! Hebat!

Jadi inti dari tiga tulisan yang saya sampaikan selama hiruk pikuk pemira kali ini adalah:

Mereka berempat itu adalah orang yang dengan rela mewakafkan diri mereka, waktu mereka, harta mereka dan bahkan mungkin jiwa mereka untuk kebaikan kita bersama, dan untuk kebaikan UNS kita tercinta. Maka hargailah mereka, dengan mendukung mereka disaat ini (pemira) dan mengawal kerja-kerja mereka disaat nanti (setelah terpilih). Yok, kalau semua urusan digarap bareng-bareng, kan dadi gayeng to cah? Hehe.

Selamat mencoblos ya.. Ingat, 17-18 desember 2014. #rockyourvote

Muhammad Syukri Kurnia Rahman
Baktinusa 4 UNS

*Tulisan ketiga saya: Ya yang kita baca ini. Hehe


NGAPAIN MILIH?!!

Ini kisah tentang sebuah kampung, di jajaran bukit barisan. Kampung kecil nan indah. Sepenggal surga ditengah-tengah hamparan surga, indonesia.

Kampung ini akan segera memilih pemimpinnya, seorang kepala kampung yang akan memimpin warganya beberapa tahun kedepan. Hanya saja, tak ada yang berminat memegang jabatan itu. Tak ada yang mau, tak ada yang tertarik. Itu satu masalah, yang harus segera diselesaikan.

Belum selesai satu masalah, timbul masalah baru yang membuatnya semakin seru. Namanya Haji Sohar, seorang juragan dari kota. Baru enam bulan jadi warga baru di kampung itu, dia sudah berani mencalonkan diri sebagai kepala kampung. Apakah itu dilarang? Tidak. Hanya saja, itu tidak etis. Terlebih saat akhirnya warga kampung tahu bahwa Sohar membayar seseorang untuk menjadi tim suksesnya. Namanya lihan. Tak ada yang tahu berapa uang yang dia terima dari shoar, yang jelas semenjak itu, wak Lihan benar-benar menjadi garda terdepan untuk mempromosikan Haji Sohar. Bahkan dia yang menjadi kurir untuk menyalurkan uang-uang sogok haji Sohar ke warga kampung agar mau memilihnya.

Pecahlah “keributan” di kampung itu. Warga kampung ramai menggunjingkan Wak Lihan dan Haji Sohar. Membuka aib-aib Haji Sohar yang belum tentu benar, mengatakan Wak Lihan orang yang harga dirinya bisa dibeli, dan aneka rupa gunjingan-gunjingan yang sungguh tidak enak dimasukkan ke telinga kita.
Ada yang tidak nyaman dengan keadaan ini. Namanya syahdan, mantan kepala kampung yang sangat bijak. Ayah dari seorang bocah yang bernama Burlian Pasai.

Malam itu warga kampung duduk ramai di depan rumah panggung pak syahdan, melihat televisi milik pak syahdan yang sengaja diletakkan di depan rumahnya agar warga kampung juga bisa ikut meilhat. Seperti biasa, sambil melihat TV, mulut mereka juga tidak berhenti menggunjingkan Haji Sohar dan Wak Lihan.
Mendengar itu semua, telinga pak syahdan panas. Dia tidak tinggal diam. Untaian-untaian bijak keluar dari mulutnya, menyadarkan orang-orang yang masih picik memandang kepemimpinan.

Dan kini, simaklah penuturan seorang bocah bernama Burlian Pasai, tentang apa yang malam itu dia dengar dari sang ayah.

Dibandingkan kalian, setidaknya Lihan telah ‘memilih’... Astaga. Jangan-jangan kalian benar-benar tidak mengerti prinsip mendasar setiap kali kita memilih pemimpin?” Bapak balik menatap mereka dengan wajah berkerut.

Bukankah kalian tahu, bahkan untuk urusan perjalanan dua hari mengumpulkan damar di hutan kita diwajibkan memilih pemimpin. Pilihlah salah satu diantara kalian, pilihlah pemimpin yang kalian percayai.. Apalagi urusan kampung yang lebih penting.”

Aku paham, kita tidak selalu punya pilihan yang baik... Dalam kasus mengumpulkan damar tadi misalnya, katakanlah dari lima orang yang berangkat, tidak satupun yang pantas menjadi pemimpin; satu orang matanya rabun, jadi mudah tersesat di hutan; satu orang lagi egois, jadi dengan mudah bisa meninggalkan temannya; dua orang malah tidak pernah pergi ke hutan itu, jadi apa pula yang bisa dia lakukan kalau terjadi sesuatu; orang terakhir bahkan penakut dan mudah sekali panik, sungguh tidak memenuhi syarat.

Tapi meski tidak ada satupun yang pantas, tetap harus diputuskan siapa yang akan menjadi pemimpin rombongan. Itu teladan agama kita. Pilihlah yang paling sedikit keburukannya, yang paling sedikit membawa masalah diantara banyak masalah.”

Dan tidak hanya cukup sampai disitu. Setelah pilihan dilakukan, maka adalah kewajiban kita untuk mendukung yang terpilih, bantu dia dengan segala cara agar keburukannya tidak keluar, sehingga rombongan bukan hanya kembali dari hutan dengan selamat tanpa kurang satu apapun, tapi pulang dengan hasil damar yang berkeranjang-keranjang.”

Orang-orang berseru mendengar pejelasan Bapak. Beberapa mengangguk setuju, lebih banyak yang membantah dan bilang kalau urusan kepala kampung tidak sesederhana pergi ke hutan mengumpulkan damar.

Aku tahu kalian tidak suka dengan sohar. Jujur saja aku juga tidak suka dengannya. Terlalu tinggi hati dan menganggap rendah orang lain. Baru menjadi warga enam bulan sudah blak-blakan mencalonkan diri. Tetapi mau dibilang apa? Dia resmi mencalonkan diri. Kalau kalian benci, kenapa kalian tidak mencalonkan diri? Kenapa kalian tidak menunjuk salah seorang diantara kalian untuk melawannya dalam pemilihan? Itu lebih baik dibandingkan hanya sibuk menggunjingkan Sohar, dan sekarang mengolok-olok Lihan... Oi, aku pikir, dalam urusan ini Lihan lebih bermartabat dibandingkan kalian.”

Kawan-kawan.. Ini prinsip yang jauh lebih mendasar dari sekedar “kamu pilih yang mana”. Ini prinsip tentang “aku memilih atau tidak”. Tak ada satupun orang yang sempurna. Tapi apakah kaidah kepemimpinan mengharuskan kesempurnaan? Saya fikir itulah guna kontribusi kita. Kita memilih pemimpin yang punya lubang kekurangan, agar kita bisa hadir dan menutup lubang itu dengan kelebihan yang kita punya.

Saya bukan orang yang tepat untuk berbicara tentang kepemimpinan. Siapalah saya. Orang yang ilmunya terbatas macam saya rasanya tak pantas bertutur tentang hal-hal besar. Kalian jauh lebih mengerti tentang perkara ini. Perkara bahwa ketika kita memilih, sama saja kita memutuskan menjadi orang yang bermartabat. Terlebih lagi, kita memutuskan untuk tidak menjadi pengecut, yaitu mereka yang hanya bisa mengkritik pemimpinnya, lalu ketika ditanya “kamu memilih siapa” dia hanya bisa berkata “saya tidak milih”, dan ketika ditanya “lalu kenapa tidak kamu saja yang mencalonkan diri?”, dia hanya bisa termenung menyesali kesalahannya.

Kalau kita tidak suka dengan urusan birokrasi seperti ini, bukankah lebih bijak jika kita menyerahkannya kepada mereka yang mau mengurusinya? Kalau tidak mau mengurusi dan tidak mau menyerahkan kepada mereka yang mau mengurusi, lantas apa mau kita?

Yok, sama-sama kita belajar. Perkara memilih dan dipilih ini lebih dari sekedar siapa yang akhirnya benar-benar terpilih, tapi siapa yang akhirnya benar-benar memutuskan untuk tidak menjadi pengecut. Dan pada akhirnya, buktikan semuanya disini:

Pemira BEM UNS. Tanggal 17-18 Desember 2014. Silakan pilih nomor berapa saja. Sing penting nyoblos, cah. Ben sangarrr..

Jadi pertanyaannya, ngapain milih? Jawabannya, karena kita masih bermartabat. hehehe

Muhammad Syukri Kurnia Rahman
Baktinusa 4 UNS.

*percakapan diambil dari buku tere liye, Burlian

Rabu, 01 Oktober 2014

Cita-citaku Masih Sama, Menjadi Seorang Guru

Semua memori dan impian-impian itu masih ada, masih belum terkubur, dan bahkan semakin mencuat. Masih teringet jelas pelajaran Bahasa Indonesia ketika aku duduk di kelas 2 Sekolah Dasar

       “Ayo anak-anak tulis nama kalian dan cita-cita kalian, kemudian tuliskan juga alasannya kenapa”, intruksi Ibu Poedji ketika mengajar kala itu.
      Mungkin karena ayahku yang seorang guru atau memang jiwa guru sudah ada dalam diriku, meskipun kawan-kawanku kala itu menulis berbagai macam profesi seperti polisi, dokter, tentara, insinyur, dan aku kala itu menulis profesi guru.
         Semua masih belum berubah, bahkan sampai semester 6 ketika duduk dibangku SMA aku masih menulis guru sebagai impianku. Di papan absensi kelas hampir semua kawan-kawanku menulis UNAIR, UB, ITS, UGM, UNS, UI dan berbagai universitas lain sebagai tujuan kuliah selanjutnya, dan aku masih belum merubah impianku karena aku menulis UNESA di papan itu. Padahal, guruku SMA kala itu bahkan banyak yang menyarankan jadi dokter daripada aku menjadi guru. Dan banyak pula kawan-kawanku yang menganggap guru adalah pilihan terakhir mereka. Namun bagiku tak ada hal yang menyenangkan selain bisa berbicara didepan para murid dan kita begitu diperhatikan, itu saja yang aku inginkan, tak lebih. Dan kita tahu juga baha ilmu yang diajarkan akan selalu menjadi amal jariyah meski raga kita telah terpendam didalam tanah. Mungkin itu motivasi besarku untuk menjadi guru hingga saat ini.
         Namun semua berubah ketika aku hampir memilih Pendidikan Biologi sebagai tujuan kuliahku selanjutnya, namun ayah ingin sekali putra semata wayangnya jadi seorang dokter. “Sama-sama pelajaran biologi mbok dicoba pilihan pertama kedokteran dulu Masa iya Cuma anak dokter yang bisa jadi dokter, anaknya guru juga harus bisa jadi dokter”,nasihat ayah ketika aku mau memilih jurusan.
            Masih teringat pula ketika SNMPTN undangan aku memilih FK UI sebagai pilihan pertama dan FK UGM sebagai pilihan selanjutnya, dan sejak saat itu entah mengapa menjadi terlalu obsesif untuk masuk menjadi mahasiswa kedokteran yang bahkan tak pernah kubayangkan akan jadi seorang dokter. Tapi takdir memang sudah menjadikanku mahasisa kedokteran, di UNS. Sempat merasa kayaknya nyasar banget masuk disini, tapi lama-kelamaan aku bangga dan merasa bahwa memang disinilah tempat terbaikku.
            Meski sebentar lagi akan menerima gelar Sarjana Kedokteran tapi cita-citaku untuk menjadi guru masih belum padam. Setidaknya kini cita-citaku bisa sedikit upgrade yakni menjadi dosen. Yak dosen, akan senantiasa aku perjuangkan.
            Guru bisa mendidik seseorang menjadi seorang dokter, polisi, tentara, teknokrat, pengacara, hakim, dan berbagai profesi lain. Namun tak berlaku sebaliknya karena profesi-proesi tersebut tak bisa mendidik seseorang menjadi seorang guru. Betapa mulianya guru-guru kita di masa yang silam?

Punya Banyak Kekurangan? Coba Berpikir Ulang, Bisa Jadi Itu Sebuah Kelebihan

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7)
      Sering sekali terkadang kita kurang bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita. Berjuta-juta karunia baik secara fisik jasmani, rohani, hidup, lingkungan keluarga dan berbagai macam karunia yang lain. Dan ini yang baru saya sadari kemarin. Sering sekali kita mengeluh dengan apa yang telah diberikan Allah. Mungkin dulu kita sering mengeluh, atau bahkan sampai sekarang kita masih sering mengeluh, kenapa aku tidak dilahirkan dikeluarga fulan yang kaya dan orang tuanya baik, kenapa aku tidak dilahirkan tinggi dengan wajah yang enak dipandang, kenapa aku dilahirkan tidak pintardan tak mampu bersaing dalam hal akademis, dan begiru banyak pertanyaan mengapa yang muncul karena kita terlalu sering tidak bersyukur.
      Sama akupun begitu, sejak SD bertanya-tanya kenapa aku dilahirkan tidak tinggi dan gendut serta punya tahi lalat yang semakin besar di atas bibir. Sampai akhirnya ketika SMA aku mati-matian buat ngurusin badan, tapi kalau yang ini tentu saja untuk tubuh yang lebih sehat dan bugar. Tapi mungkin aku sedikit berpikir ketika memutuskan untuk melakukan operasi elektrokauter dengan tujuan mengambil tahi lalat yang hampir berdiameter 1cm diwajah untuk tujuan estetika. Tapi untuk masalah tinggi aku sudah tak punya harapan nampaknya dan jalan terakhir memang bersyukur, dan memang harusnya dari awal aku bersyukur. Harusnya lebih bersyukur lagi ketika Allah memberikan banyak sekali kelebihan yang aku miliki disamping memang setiap manusia juga punya kelemahan.
      Pasca KKN  kemarin berat badanku naik drastis, sehingga aku memutuskan untuk kembali melakukan program diet ketat. Genap sebulan melakukan latihan rutin di pusat kebugaran membuat berat badan turun 8kg serta beberapa bagian otot mulai mengalami hipertrofi dan hiperplasi, well tentu saja senang dong. Tapi bukan ini masalahnya, ketika jadwal latihan kaki kemarin aku bertemu dengan senior pusat kebugaran yang sudah 7 bulan lebih dulu rutin latihan. Jangan tanya berat badannya dulu jauh lebih diatasku. Kemudian beliau menawariku untuk diajari latihan kaki dengan beban dan intensitas lebih dari biasanya, tak ada kata lain selain “ya” tentu saja.
      Nah disinilah saya mulai berubah pikiran, pertama tentu saja dia menyoroti bentuk pahaku yang menimbun banyak sekali lemak “latihan kaki buat ngecilin paha ya?”, tanya dia. Kemudian ia memaksaku untuk squat dengan beban 2x15kg kanan kiri dengan tujuan menguatkan M.pectineus, M.adductor longus, dan M.gracilis. Setelah itu melakukan leg press untuk penguatan hamstring & quadriceps femoris dengan beban 2x110kg (ukuran pemula biasanya maksimal 2x40kg), tentu saja ini beban yang tak wajar untuk orang yang belum ada sebulan latihan di pusat kebugaran. Ketika sudah mulai kelelahan kemudian ia menasihati,”Pahamu itu gede, seharusnya kamu bersyukur dilahirkan secara anatomis seperti itu. Jangankan cewek yang lihat, cowok aja pengen punya paha besar gitu. Pertama kali aku lihat kakimu tu aku yakin kuat banget, makanya harus dipaksa buat berani pake beban yang berat banget. Orang body contest itu yang pertama dinilai bentuk paha, banyak cowok yang pengen kalau lihat pahamu itu. Mungkin sekarang kelihatan gendut banget, tapi ntar kalau udah kering dan lemaknya habis bentuknya bisa bagus. Ayo dikeluarin  lagi semangatnya”. Tentu saja aku sekejap berubah pikiran, dimana setiap hari selalu mengeluh kapan ini paha kurusan dan jadi kecil, tapi sekarang jadi semakin bersyukur dilahirkan dengan kondisi gendut paha. Kemudian latihan dilanjutkan untuk mengisolasi hamstring muscle yang biasanya dengan beban 40kg dinaikkan hingga 80kg, dan M.quadriceps femoris yang biasanya 40kg jadi 100kg (beban maksimal). Orang-orang banyak yang tak percaya memang dengan kekuatan kakiku untuk ukuran member belum ada 1 bulan, bahkan aku sendiri pun tak percaya.
      Tapi itulah makna dibalik setiap ciptaan yang Allah berikan pada kita. Mungkin kita berpikir bahwa banyak sekali kekurangan di fisik kita, ataupun kekurangan-kekurangan yang lain. Tapi cobalah berpikir ulang, bisa jadi Allah juga memberikanmu banyak kelebihan, atau bahkan hal yang menurutmu suatu kekurangan itu adalah suatu kelebihan, hanya saja kita belum tahu. Senantiasalah bersyukur, insyaAllah akan selalu banyak nikmat lagi yang akan Dia tambahkan untukmu. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?