Rabu, 30 Juli 2014

Menteri Pendidikan Yang Baru Harus Bisa Mendidik Moral!

      Sudah hampir 69 tahun negeri ini merdeka, namun nyatanya bangsa yang besar ini belum mampu mendidik anak bangsanya secara paripurna. Sistem pendidikan yang terus berubah-ubah seenak jidatnya, maupun para pendidiknya yang masih kurang terdidik untuk mendidik. Semakin getir rasanya saat sekolah sudah tak bisa lagi dipercaya seutuhnya untuk mendidik anak-anak kita, baik mendidik secara intelektual, moral, dan spiritual. Rasa-rasanya semakin jauh sekolah untuk bisa melakukan itu semua. Bahkan diperpahit dengan fakta-fakta sekolah menjadi tempat kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan berbagai macam penyimpangan-penyimpangan moral.


      Mengutip perkataan salah seorang pemuda yang telah membuat perubahan besar pada masanya,“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Rasa-rasanya itu semua hanya menjadi sebuah omong kosong warisan zaman belaka, bukan masalah pada redakturnya, tapi coba lihat realitanya saat ini. Saya yakin kalau Bung Karno masih hidup pada zaman ini, pasti beliau hanya bisa menangis pilu melihat pemuda bangsanya yang semakin hitam pekat. Apa mungkin bisa 10 pemuda yang cangkruk di angkringan warung kopi itu mengguncangkan dunia dengan obrolan-obrolan payah? Apa mungkin bisa 10 pemuda geng motor itu mengguncangkan dunia dengan suara derum knalpot yang bikin pekak telinga? Apa mungkin bisa 10 pemuda yang tawuran itu mengguncangkan dunia dengan batu-batu dan pentungan kayunya? Apa mungkin bisa 10 pemuda pemakai narkoba mengguncangkan dunia dengan jarum suntik dan penghisap ganja? Apa mungkin bisa 10 pemuda-pemudi yang genap 5 pasang itu sedang pacaran di sudut hotel melati mengguncangkan dunia dengan melahirkan bayi-bayi penggedor bangsa yang orang tuanya saja tak menginginkannya? Maaf kalau pikiran saya terlalu terbelenggu dengan apa yang membungkam panca indera pribadi, tapi inilah realitanya. Mana mungkin ada 10 pemuda yang bisa mengguncangkan dunia kalau moral saja mereka tak punya? Jangankan pemuda, bocah-bocah kecil bangsa ini sudah banyak juga yang seperti itu, Miris!
      Apa yang salah sehingga semua ini bisa terjadi? Mental! Mental bangsa kita yang sudah rusak. Keadaan ini diperparah dengan sistem pendidikan yang semakin acuh bersinggungan dengan masalah agama dan etika. Pendidikan kita sat ini hanya mulai bergesr orientasinya hanya berkutat masalah pengetahuan dan bagaimana menciptakan manusia-manusia pintar dan terdidik, tapi lupa bagaimana menciptakan manusia bermoral. Disadari maupun tidak, sistem pendidikan Indonesia yang seperti ini hanya akan menciptakan generasi robot yang hanya siap berpikir dan bekerja, bahkan bangga bisa bekerja menjadi karyawan peruasahaan luar negeri, yang  notabene mereka sebenarnya menjadi kacung-kacung di negeri sendiri. Mereka bukan manusia seutuhnya, karena manusia seharusnya punya etika dan perasaan. Masihkah kita sistem yang seperti ini akan bisa mengubah masa depan bangsa kita?
      Sempat saya berpikir bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita ketika zaman orde baru, mungkin memang masa pemerintahan Soeharto dulu banyak cacat demokrasi. Tapi lihat, para peserta didiknya -mahasiswa- kala itu adalah orang-orang terpelajar yang peduli nasib rakyatnya, punya rasa empati tinggi terhadap masyarakat, dan mereka mau bergerak dan berkorban untuk kepentingan masyarakat menengah kebawah, meskipun terkadang terlalu reaktif dengan sistem pemerintahan. Setidaknya mahasiswa Indonesia kala itu dididik untuk peka dengan lingkungan sekitar. Tidak seperti sekarang yang menciptakan generasi mahasiswa-mahasiswa individualistis yang hanya peduli masa depan pribadinya saja.
      Tidak bisa kita bohongi bahwa kita butuh sistem pendidikan baru yang mengedepankan agama, moral, dan etika. Apalah arti pintar jika tak punya hati. Siapapun  Menteri Pendidikan kabinet baru 2014-2019, saya cuma berharap kita bisa menciptakan manusia-manusia terdidik, tak hanya otaknya yang terdidik tapi juga hati, pikiran, dan perasaannya. Kalau masalah fundamental seperti moral saja kita tak punya, bagaimana kita bisa jadi bangsa besar yang bermoral? Nampaknya itu hanya impian kalau kita tak mau segera realisasikan dalam kerja nyata.

Pak Menteri Pendidikan yang baru, saya cuma berharap anda bisa menciptakan sistem pendidikan baru yang lebih mengedepankan moral. Terima kasih Pak!

Selasa, 29 Juli 2014

Memaknai Lebaran Idul Fitri dan Silaturrahmi ala Orang Indonesia

Budaya mudik dan berlebaran sambil bermaaf-maafan memang sudah mendarah daging di Indonesia. Idul Fitri memang seakan sangat ditunggu-tunggu kehadirannya. Ini di Indonesia. Kalau boleh saya ungkap di negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi, momen Idul Fitri bukanlah sesuatu yang terlalu besar. Setelah melakukan Sholat Ied bersama masyarakat Timur Tengah kembali ke rutinitas dan pekerjaan masing-masing kembali. Namun ketika Idul Adha mereka merayakannya justru dengan suka cita dan begitu meriah, bahkan masyarakat Timur Tengah mengatakan Idul Adha sebagai Idul Akbar (Hari Raya Besar). Well, tak masalah menurut saya “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.


Anda bisa bayangkan sendiri berapa besar perputaran manusia dan uang di Indonesia ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, bahkan manusia sudah tak mengenal nilai uang ketika lebaran Idul Fitri. Berapapun uang dan risiko yang dikeluarkan demi bisa berkumpul dan bersilaturahmi kepada keluarga mereka rela dan ikhlas melakukannya. Ini positifnya, Lebaran Idul Fitri di Indonesia merupakan suatu simbol Silaturrahmi yang sangat universal, bukan hanya umat muslim saja bahkan yang tidak beragama Islam banyak juga yang turut merasakan gegap gempita Lebaran.
Sebelum saya mencoba membahas  lebih jauh tentang silaturrahmi dari segi ilmiah saya akan bahas terlebih dahulu tentang ucapan-ucapan ketika Idul Fitri. Apa yang harus kita ucapkan ketika kita bersilaturrahmi ketika hari raya Ied? Banyak hadits dan ulama mengatakan bahwa yang diucapkan adalah “Taqobbalallahu minna wa minka/minkum” yang berarti “Semoga Allah menerima amalku dan amal amalmu/kalian”, minka untuk kamu (tunggal), dan minkum untuk kalian (jamak), kemudian yang diberi ucapan menjawab “Taqobbal ya kariim” yang berarti “Semoga diterima olah Allah yang Maha Mulia”. Disini saya mau meyebut bahwa itu adalah doa, doa yang diberikan setiap orang muslim kepada saudaranya ketika bertemu pada 1 Syawal, apa yang diterima? Tentu saja ibadah ketika bulan Ramadhan. Untuk haditsnya silahkan googling sendiri, sengaja tidak saya tuliskan.
Lalu kalau Indonesia ditambah “Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin” apakah boleh? Menurut saya boleh-boleh saja, namanya doa asalkan baik tak masalah. Di Indonesia Idul Fitri dimaknai sebagai hari dimana kita telah disucikan setelah melewati bulan Ramadhan, sehingga banyak orang yang menambahkan kata “Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin”. Yang perlu digaris bawahi adalah arti “Minal ‘aidin wal faizin” bukanlah mohon maaf lahir dan batin. Ini yang banyak orang salah kaprah. “Minal ‘aidin wal faizin” berarti “Kita kembali (fitrah) dan meraih kemenangan”. Serta penulisannya yang benar adalah MINAL ‘AIDIN WAL FAIZIN, tolong diperhatikan ya karena salah penulisan akan berbeda makna. Saya melihat orang Indonesia banyak yang salah tulis untuk ini. Jadi yang dimaksudkan doa tersebut adalah bahwa ketika hari Idul Fitri kita berharap telah kembali menjadi orang yang suci dan bersama-sama pada hari Idul Fitri meraih kemenangan setelah berjuang melewati Ramadhan. Terus kalau ada yang mengatakan ucapan yang orang Indonesia lakukan ini bid’ah? Monggo, memang ini bid’ah dan tidak ada di zaman Rosul Muhammad tapi menurut saya tak ada masalah dengan bid’ah hasanah (baik), toh ini juga doa yang baik.
Kemudian saya akan membahas sedikit tentang mengapa silaturrahmi bisa memperpanjang usia, artikel populer-ilmiah ini saya temukan di buku “Dalam Dekapan Ukhuwah” karya Ust. Salim A. Fillah yang telah diringkas dan disimpulkan sebagai berikut

Myriam Horsten adalah seorang dokter yang menekuni bidang khusus kesehatan jantung. Ada yang menarik perhatiannya di situ, daya tahan terhadap serangan jantung ternyata tidak berhubungan langsung dengan pola makan, gaya hidup, dan bahkan tingkat tekanan ketika mreka menghadapi persolan dalam kehidupan bermasyarakat.
             Aneh, justru orang-orang yang lebih lemah daya tahan jantungnya ini adalah orang-orang yang tinggal menyendiri dgn tenteram, jarang menghadapi persoalan pelik kehidupan, dan mereka menjalani hari-harinya dalam kemapanan, nyaris gejolak dan tantangan. ritme kehidupan mereka linier datar.
              Penelitian dilakukan selama bertahun-tahun. Dan akhirnya didapat kesimpulan. Orang-orang yang aktif dan banyak terhubung dengan sesama manusia dalam sehari mengalami berbagai guncangan emosi, mereka tertawa, bersemangat, bergairah, dan juga marah. Mereka frustasi, berelaksasi, bersedih, tegang, tersenyum, takut, cemas, optimis, tercerahkan. ksemua hal yang sangat emosional dan dipicu dari hubungan-hubungan dgn sesama ini mempengaruhi berbagai hormon, utamanya adrenalin yang turut serta mengatur ritme kerja jantung.
          "Jantung dalam kondisi semacam itu," kata Myriam Horsten, "adalah jantung yang berolahraga. Jantung ini menjadi terlatih dan kuat. Jantung ini adalah jantung yang sangat sehat." Dan sebaliknya, jantung orang yang kehidupannya datar-datar saja, tenteram-tenteram, dan lebih-lebih sangat kurang interaksi sosialnya memiliki variabilitas detak yang sangat kecil.
       Jadi bagaimana caranya menguatkan jantung kita? "Gampang," kata Myriam Horsten. "perbanyaklah hubungan dengan sesama"

Oke, semoga dengan artikel ini kita semakin tercerahkan ya tentang bagaimana Idul Fitri di negara kita tercinta ini dan bagaimana memaknainya dengan bersilaturrahmi. Semoga bermanfaat, salam Dokter Berpeci.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H


Taqobalallahu minna wa minkum, taqobbal yaa kariim
Segenap kru Dokter Berpeci mengucapkan

Minal 'aidin wal faizin
Mohon maaf lahir dan batin
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H