Jujur,
saya sungguh miris melihat orang-orang muslim -saat ini- yang masih beranggapan
bahwa kekayaan itu bukanlah hal penting dalam kehidupan kita. Oke, mungkin kita
tak perlu kaya terlebih dulu untuk mendapatkan kebahagiaan. Kita tak perlu kaya
terlebih dulu untuk beribadah dan mendapatkan ke-khusyu’an. Ada mungkin yang
bilang. Saya miskin, tapi ibadah saya khusyu’. Saya miskin, tutur kata saya
tetap baik. Saya miskin, sholat wajib saya nggak pernah bolong. Oke. Oke. Tapi
pertanyaannya, apakah dengan kaya, lantas ibadah kita jadi nggak bisa khusyu’?
tutur kata kita jadi bejat tak karuan? Well. Mau kaya mau miskin itu terserah
anda. Tapi satu hal yang harus anda ingat.
Saat
anda kaya, anda bisa beribadah seperti ibadahnya orang miskin. Anda bisa
berkata jujur seperti perkataannya orang miskin. Namun bedanya, saat anda
menjadi kaya, anda mampu bersedekah -yang mungkin tak mampu dilakukan oleh si
miskin-
. Anda mampu mendirikan sekolah gratis –yang mungkin juga tak kesampaian dilakukan oleh orang miskin-. Dan anda, bisa membantu si miskin agar bisa meningkatkan kualitas ibadahnya. Ini adalah amalan harta yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang dititipi harta oleh allah.
. Anda mampu mendirikan sekolah gratis –yang mungkin juga tak kesampaian dilakukan oleh orang miskin-. Dan anda, bisa membantu si miskin agar bisa meningkatkan kualitas ibadahnya. Ini adalah amalan harta yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang dititipi harta oleh allah.
Maaf,
sekali lagi saya tidak mengatakan bahwa menjadi miskin itu buruk. Karena memang
miskin kaya itu bukan hanya perkara seberapa besar usaha kita dalam mencari
rzeki, tapi juga perkara apakah Dia yang maha menitipkan rezeki telah
berkehendak menitipkannya pada kita. Namun keburukan itu adalah, menjadi
manusia kerdil yang “tidak mengusahakan” menjadi kaya. Karena terkadang kita
sering terjebak. Dengan alasan zuhud, kita menutupi kemalasan kita. Lhoh, kan
jadi orang kaya itu harus kerja keras. Mana ada kita kaya tiba-tiba?. Maka
sebenarnya, orang-orang yang tidak megusahakan menjadi orang kaya itulah orang yang malas.
Mereka malas untuk mengeluarkan keringat mereka lebih banyak dari yang mereka
mampu. Mereka malas untuk memaksa otak mereka bekerja lebih dari yang mereka
bisa, hanya karena sebuah alasan. “saya ingin jadi orang zuhud”. Bullshit, I
say.
Izinkan
saya meminta maaf sekali lagi. Bukan orang miskin yang saya bahas di dalam
tulisan ini. Tetapi dia yang bisa dan punya banyak kesempatan untuk kaya, tapi
melewatkannya begitu saja. Mereka bukannya gagal memaksimalkan potensi mereka,
tapi mereka sendiri lah yang dengan sengaja menutupinya. Dengan dalih zuhud.
Padahal gelar zuhud itu, paling pas disematkan pada orang yang “mampu
bermewah-mewah”, lantas mereka memilih untuk tidak melakukannya. Rosulullah
kaya, tapi belaiu sederhana. Itulah zuhud. Abu Bakr, yang bahkan dunia pun
mencarinya, tapi dia memilih untuk menjauh. Itulah zuhud. Abdurrahman bin ‘auf,
yang khalifah dagangnya mampu membuat madinah bergemuruh, tapi tak ada beda
antara dia dengan budaknya, itulah zuhud.
Saya
teringat sebuah hal. No growth in comfort zone. No comfort in growth zone. Kita
harus keluar dari zona nyaman untuk “tumbuh”, yang dalam bahasan kali ini kita
menyebutnya dengan “kaya”. Jika ingin kaya, kita harus melepas zona nyaman
kita. Mau tak mau. Bisa tak bisa. Karena ketika kita ingin mendapatkan sesuatu
yang belum pernah kita dapatkan, kita harus berani melakukan sesuatu yang belum
pernah kita lakukan. Berarti, perlu kerja keras untuk “sekedar” menjadi orang
kaya. Dan orang malas tak akan pernah mau mengambil langkah tersebut.
Orang
miskin yang tidak mau berusaha untuk kaya, yang mungkin saat ini merasa bahwa
dirinya tidak hidup dalam kenyamanan, bukan berarti mereka telah keluar dari
zona nyaman tersebut. Karena bisa jadi, mereka menikmati “ke-minimalis-an”dalam
hidupnya. Mereka sudah merasa cukup
dengan gaji standart karyawan bawahan, asalkan pasti ada tiap bulannya. Mereka
merasa tak perlu berbagi dengan orang lain dengan alasan “buat makan aja
kurang”. Mereka tak mau mengambil resiko dalam kehidupan yang dia jalani.
Karena memang berwirausaha itu sangat penuh dengan ketidakpastian. Bisa untung
besar, bisa hancur lebur. Sangat tidak pasti. Begitu juga dengan sedekah.
Secara itung-itungan rasional, mana ada kita keluar 1000, lalu kita dapat
700ribu? Sangat tidak pasti kan, jika kita fikir secara logika? Padahal Allah telah
menjanjikan dalam surah al-baqarah 261 “perumpamaan orang yang menginfakkan
hartanya dijalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai,
pada setiap tangkai ada seratus biji..”. Bahkan Dia menambahkan “Allah
melipatgandakan bagi Siapa yang Dia kehendaki..”. Kurang apa coba? Kurang ajar
kita kalau tak mau percaya.
Satu
hal yang harus kita teliti lebih dalam, bahwa Israel adalah Negara yang tidak
memikirkan lagi tentang kesejahteraan ekonomi bangsanya. Yang mereka fikirkan
hanyalah bagaimana cara mengambil sedikit demi sedikit tanah palestina untuk
mereka duduki dan mereka aku-aku-kan sebagai tanah Israel. Mereka berpacu untuk
meningkatkan sistem pertahanan negara mereka. Roket, rudal, jet-jet tempur, seolah menjadi kebutuhan pokok yang harus
segera mereka penuhi. Lantas bagaimana bisa mereka mendapat uang sebegitu
banyaknya, kalau mereka saja tidak memikirkan kondisi ekonomi warganya?
Ternyata, bangsa yahudi bisa hebat seperti saat ini, karena semua orang yahudi,
yang tersebar diseluruh penjuru dunia adalah orang-orang kaya. Tak ada diantara
mereka yang menjadi pengemis. Tak ada diantara mereka yang menjadi gembel.
Mereka adalah orang-orang kuat dalam kehidupan ekonomi mereka. Dan “sedekah”
mereka dalam menyokong program-program
konspirasi yahudi tak pernah tanggung tanggung. Kalau orang jawa bilang, bral-brol. Totalitas.
Sehingga dengan kekuatan ekonomi yang begitu besar dari warga
keturunannya, mereka dapat dengan mudah menguasai segalanya. Media, industri,
sistem pemerintahan, semua dapat terbeli. Lalu bagaimana kondisi umat kita saat
ini?
Satu
hal yang tak boleh kita lupakan. Dalam berdakwah, rosul tidak hanya
mengandalkan kekuatan hati dan fikiran. Beliau juga menggunakan harta. Bukan
hanya harta beliau sendiri. Maka untuk mendukung ini, Allah “memberikan” Abu Bakr.
Seorang saudagar kaya yang tanpa tedeng aling-aling memberikan seluruh
kekayaannya fi sabilillah.
Lalu
kemudian, Allah memasivkan dakwah rosul dengan kehadiran abdurahman bin ‘auf.
Andai kita tahu, Abdurrahman bin auf itu kalau lagi jual unta, dia menjualnya
seharga dia membelinya. Misal ni, beliau beli unta 100 real. Nah, beliau jual
lagi 100 real. Trus, dapet untung darimana? Inilah salah satu bukti kecerdasan
para sahabat dalam mengembangkan teori-teori berwirausaha. Jadi begitu beliau
jual 100 real, otomatis kan banyak yang berminat tu. Nah, begitu ada yang membeli,
beliau tawarkan pelananya, sepatunya, accesoris unta lah pokonya. Dan beliau
bermain disitu. Hebat kan? Maka kalau pengen jadi Abdurrahman bin auf, apa yang
musti kita lakukan? Ya tiru apa yang beliau lakukan. Sederhana nya gini, kalau
kita ingin jadi orang hebat, contohlah orang hebat. Ke pasar dong. Jangan cuma
ngendon di masjid doang. Rumah kita dekat masjid, deket pasar. Tapi kita
nongolnya ke masjid mulu. Ya mana dapat..
Kita
harus ingat pesan rosul begitu rombongan kaum muslimin hijrah ke madinah,
beliau bilang pada para sahabat. Kuasai itu pasar madinah. Kuasai itu
pasar-pasarnya orang yahudi. Sampai sejauh ini, masih ada yang bilang,menjadi
mukmin kaya itu, suatu keburukan?
Sama
seperti saat kita sekolah, menjadi seorang mukmin itu juga ada tingkatannya.
Jelas, dalam ayat kedua surah al-mulk allah mengatakan “..liyabluwakum ayyukum
ahsanu amala..”. “..untuk menguji kamu,
siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya..”. Seorang mukmin yang sholat, dan
seorang mukmin yang sholat lalu bersedekah, jauh lebih baik mana? Kalau saya,
saya lebih memilih yang kedua.
“Miskin”-nya
kebanyakan orang sekarang itu berbeda dengan “miskin”-nya para sahabat dahulu.
Sungguh telah terkisah dengan sangat indah, bahwa sang khalifah ‘umar ibnu al
khattab sedih dengan tumpukan harta yang ada di hadapannya setelah umat muslim
dengan gagah menaklukan Persia. ‘Umar mengatakan “jika ini kebaikan, mengapa
tidak terjadi di zaman Rosulullah dan Abu Bakr? Celaka! Mengapa di zamanku?”.
Maka ada perbedaan disini yang harus kita fahami. Tidak memilih menjadi orang
kaya, berbeda dengan tidak mengusahakan menjadi kaya. Dalam bahasan yang cantik,
sejarah mencatatkan bahwa Abdurrahman Ibnu ‘Auf pernah berkata dengan sendu
saat dihidangkan roti lembut dihadapannya “Mush’ab Ibn Umair lebih baik dari
kami. Dia tak pernah menikmati makanan seperti ini. Kala syahid di Uhud, tiada
kafan baginya selain selimut usang; kalau ditutupkan ke kepala terbuka kakinya,
jika diselubungkan ke kaki tersingkap kepala”. Maka jadilah penampilan
Abdurrahman tak lebih baik dari budaknya. Para sahabat itu, mereka semua
memilih untuk tetap pada prinsip yang diajarkan rosul kita. Berada di dalam
kesederhanaan. Persis seperti doa Nabi “wa laa taj’alid dunya akbara hamminaa,
wa la mablagha ‘ilminaa; jangan jadikan dunia cita terbesar dan tujuan ilmu
kami”. Mereka, orang-orang hebat itu memilih menajuh, setelah mereka mampu
mendapatkan dunia. Mereka sendiri yang memilihnya. Bukan karena mereka tak
mampu mendapatkannya, lalu mereka mundur dari urusan dunianya. Bukan. Tapi
karena memang mereka memilih hal itu. Sekarang, kalau kita belum menjadi orang
yang mandiri dalam ekonomi kita dan kita mengatakan bahwa kita ingin zuhud
seperti rosul dan para sahabat, sudahkah kita bertanya, itu pilihan kita, atau
hanya kedok untuk ketidaksungguhan kita dalam mencari rezeki Allah yang maha
luas? Allahu a’lam.
Ya robb, hindarkanlah kami dari
kekafiran. Jauhkanlah kami dari kefakiran. Sungguh, engkaulah sebaik-baik
pencukup kebutuhan kami. I love u, God.
0 komentar:
Posting Komentar