Saya membayangkan. Entah kapan. Di suatu masa yang
akan datang. Kita bisa berjajar. Dalam rapinya sebuah barisan. Kita
bersandingan. Dengan senyum saling menghangatkan. Menanti sebuah panggilan untuk kita sendiri.
Dan dengan gagahnya kita penuhi. Mendekat, sambil berucap “Ya robb, masukkan
hamba kedalam sana, bersama saudara saya. Yang karena mereka, kami teringat
manisnya surga”.
Dalam sebuah eclips yang mempesona,
orang-orang yunani dengan Achilles-nya bertutur “jika kau tinggal di larissa,
kau akan hidup dengan kedamaian. Kau punya keturunan, dan mereka akan
menyayangimu. Saat kau pergi mereka akan mengingatmu. Namun ketika mereka mati,
namamu juga akan hilang. Jika kau pergi berperang ke troya
, selama ribuan tahun mereka akan menulis cerita tentang kemenanganmu. Mereka akan mengatakan, aku hidup di saat yunani mengalahkan troya. Aku hidup di zamannya Achilles!”
, selama ribuan tahun mereka akan menulis cerita tentang kemenanganmu. Mereka akan mengatakan, aku hidup di saat yunani mengalahkan troya. Aku hidup di zamannya Achilles!”
Sungguh gagahnya orang-orang yunani
itu bercerita. Bercerita tentang betapa tangguhnya prajurit mereka. Achilles, ksatria
terbaik yang hanya mau berperang diatas kehormatan namanya, akan selalu muncul
saat kita menyebut kata yunani. Dengan adanya dia, seolah yunani takkan mampu
ditundukkan. Seolah dengan kebesaran namanya, dalam setiap peperangan, mereka
telah menang sebelum mengayunkan pedang. Hingga pada akhirnya nama itu
benar-benar melegenda. Kisahnya tertulis rapi dalam sejarah kesatriaan yunani.
Dan yunani menjadi besar dengan hadirnya dia.
Namun Achilles tetaplah Achilles. Saat dia mati, sejarah kebesarannya
pun juga terhenti. Memang, namanya akan selalu dikenang, namun tak ada yang dia
wariskan selain hal itu. Pencapaiannya berhenti pada nama besarnya.
Coba bandingkan dengan peradaban
muslim. Generasi pertama dari umat ini adalah generasi terbaik yang namanya akan
tetap abadi. Apa yang mereka lakukan adalah kerja-kerja besar mengagumkan.
Pencapaian-pencapaian mereka jauh melampaui zamannya. Tapi begitu mereka tiada,
umat ini ternyata masih terus melahirkan generasi terbaik mereka. Generasi yang
-walaupun tidak sebaik generasi pertama- tetap mampu menjadi solusi atas
permasalahan zamannya. Mereka berjuang dibawah panji-panji agama ini. Di tempat
berbeda, di masa yang berbeda, dan dengan cara yang berbeda.
Kita belajar banyak ketika rosul
mengirim duta untuk yatsrib. Duta yang diharapkan mampu menjadi pembuka jalan
rosul beserta para sahabat untuk berhijrah. Ketika mekkah tidak terlalu ramah
dengan dakwah, maka keputusan hijrah tak dapat lagi disanggah. Dan yatsrib,
adalah tempat paling mungkin dalam rencana ini. Maka rosul kirim orang ke
tempat mulia itu. Memperkenalkan orang-orang disana tentang Allah, mengajari
mereka tauhid, dan mengajak mereka memeluk islam. Dan lihatlah siapa disana.
Orang yang dipilih rosul dalam misi agung ini. Mush’ab bin ‘umair. Sahabat tampan
dengan segudang potensi diplomasi. Cara bicaranya anggun, hujjahnya mantap,
ditambah kerupawanan parasnya, kecil kemungkinan ada yang menyanggah
kata-katanya. Apalagi yang dia bawa adalah kebenaran. Tapi lihatlah siapa yang
membersamainya. Menemaninya dalam kerja besar ini. Abdullah bin ‘ummi maktum.
Seorang buta yang tak memiliki apa yang dimiliki mush’ab. Seseorang yang bahkan
untuk berjalan pun memerlukan bantuan. Tapi ternyata kerja besar itu mereka
lakukan berdua. Tak ada yang berperan sebagai Achilles –dimana hanya dia yang
namanya berhak dikenang-. Tak ada yang merasa dirinya lebih berjasa dibanding
yang lain. Mereka melakukannya bersama-sama. Mungkin ada yang mengira rosul
kurang tepat dalam memilih. Namun akhirnya kita tahu, kejayaan umat ini dimulai
dari madinah. Atas peran keduanya.
Dan bermula dari saat itu, umat ini
terus melahirkan orang-orang hebat. Satu persatu mereka hadir. Memberikan warna
cerah bagi dunia yang saat ini sedang bermuram. Dan setelah sebuah generasi
pergi, maka akan datang generasi pengganti dengan pancapaian besar yang tak
mampu ditandingi. Ini yang menarik. Umat ini seolah punya resep sendiri untuk
terus memproduksi orang-orang terbaiknya. Dan memang itulah yang terjadi. Kita
memiliki tujuan dan arahan jelas yang mengarahkan kita untuk menjadi umat
terbaik.
Mungkin yunani akan begitu bangga
pernah memiliki Achilles. Mereka bangga bisa melahirkan prajurit hebat yang
namanya akan selalu hidup bahkan saat dia mati. Namun agaknya, Achilles hanya
bangga dengan nama besarnya sendiri. Sama seperti fir’aun yang bangga dengan
kekuasaan yang dia genggam. Namun umat ini, orang-orang terbaik yang pernah
terlahir didalamnya tak pernah membanggakan kebesaran namanya. Karena pada
akhirnya dunia tahu, bahwa tidak seperti yunani yang bangga dengan Achilles,
tapi prajurit-prajurit terbaik muslim itulah yang bangga dengan keislamannya.
Karena disini berlaku. Siapapun
kamu. Bahkan yang terbaik sekalipun, jika kamu tak mau membersamai kami dalam
jalan dakwah ini, maka pergilah. Karena tak lama setelah itu, akan segera hadir
orang yang lebih hebat yang akan menggantikan posisi dirimu.
Dan pada akhirnya, itulah mengapa
saya berada disini. Membersamai orang-orang hebat dalam kerja-kerja besar
dijalan dakwah. Hidup bersama orang-orang terbaik, dengan tujuan yang jelas dan
mati menjemput kebahagiaan abadi, bukankah itu indah?
Selembut
ucapan salam, saya ucapkan.. tetaplah disini.. membersamaiku.. dalam
kerja-kerja besar kita..
0 komentar:
Posting Komentar