Sebuah refleksi sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia menurut salah seorang Guru Besar Psikologi UI. Tulisan ini layak untuk dibaca seluruh mahasiswa yang saat ini sedang menuntut ilmu. Terkhusus untuk calon sejawatku dimanapun kalian berada.
Waktu saya kuliah di UI dulu (saya
masuk UI tahun 1961), Fakultas Psikologi baru setahun berdiri. Nomor mahasiswa
saya 117, berarti saya adalah mahasiswa psikologi ke-117 saat itu. Sebelumnya ada
juga mahasiswa-mahasiswa psikologi di UI, tetapi mereka adalah bagian dari
Fakultas Kedokteran UI. Malah pada ijasah lulusan psikologi pertama dari UI, Fuad Hassan (almarhum, Prof. Dr, terakhir
Mendikbud) masih tertulis gelar Doktorandus dari Jurusan Psikologi, FKUI.
Karena Psikologi didirikan oleh seorang dokter,
psikiater, yaitu Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dan berawal dari fakultas
kedokteran pula, tak heran bahwa kurikulum psikologi pada waktu itu dipadati
dengan pelajaran-pelajaran kedokteran seperti anatomi (termasuk bedah mayat),
ilmu faal (menghafalkan nomor, nama dan fungsi setiap syaraf, dan kelenjar),
Sitologi atau Ilmu Sel (mengenali aneka sel melalui mikroskop), biologi dsb.
Kuliahnya juga masih campur dengan mahasiswa kedokteran. Entah apa maksudnya
pelajaran-pelajaran kedokteran itu, karena sekarang nyatanya hampir tak pernah
digunakan dalam praktik, tetapi psikolog angkatan saya (para senior dan adik
kelas beberapa tahun sesudah saya) tidak bengong ketika harus berkomunikasi
dengan para dokter.
Ketika saya menjadi dosen,
salah satu mata kuliah yang saya ajarkan adalah Psikologi Umum dan Sejarah
Psikologi. Malah saya sampai menulis beberapa buku tentang kedua mata kuliah
yang saling bersambung itu. Menurut para pembuat kurikulum di waktu itu, setiap
psikolog harus menguasai berbagai teori generik dalam psikologi dan bagaimana
saling keterkaitan dan perkembangan teori-teori itu dari waktu ke waktu. Ketika
nantinya psikolog itu memilih sendiri aliran, metode atau teknik yang akan
dipakainya, dia tetap bisa melihatnya dari berbagai sudut teori yang lain.
Itulah basis kompetensi yang diperlukan oleh seorang psikolog pada waktu itu.
Saya memerlukan waktu 6 tahun untuk menyelesaikan kuliah saya untuk menjadi psikolog (sementara teman-teman dan senior saya ada yang memerlukan waktu sampai 7-10 tahun). Mahasiswa saya ketika itu (kurikulum lama) membutuhkan 5,5 tahun, tetapi sarjana psikologi sekarang hanya diberi waktu 4 tahun, plus 2 tahun lagi kalau dia mau lanjut ke master atau psrofesi psikologi. Dapat dipahami bahwa untuk memenuhi kurikulum baru yang hanya 4 tahun, banyak pelajaran yang harus dipangkas, termasuk ilmu-ilmu kedokteran (disisakan unutk Biologi saja, 2 SKS), bahkan juga ilmu filsafat (tinggal 4 SKS), yang buat saya merupakan kompetensi yang sangat mendasar yang harus dikuasai oleh psikolog. Inilah hasil didikan sekarang yang disesuaikan dengan arahan Dirjen Pendidikan Tinggi tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi).
Saya memerlukan waktu 6 tahun untuk menyelesaikan kuliah saya untuk menjadi psikolog (sementara teman-teman dan senior saya ada yang memerlukan waktu sampai 7-10 tahun). Mahasiswa saya ketika itu (kurikulum lama) membutuhkan 5,5 tahun, tetapi sarjana psikologi sekarang hanya diberi waktu 4 tahun, plus 2 tahun lagi kalau dia mau lanjut ke master atau psrofesi psikologi. Dapat dipahami bahwa untuk memenuhi kurikulum baru yang hanya 4 tahun, banyak pelajaran yang harus dipangkas, termasuk ilmu-ilmu kedokteran (disisakan unutk Biologi saja, 2 SKS), bahkan juga ilmu filsafat (tinggal 4 SKS), yang buat saya merupakan kompetensi yang sangat mendasar yang harus dikuasai oleh psikolog. Inilah hasil didikan sekarang yang disesuaikan dengan arahan Dirjen Pendidikan Tinggi tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi).
Saat ini saya sedang di
Singapura, mengikuti Asian Conference of Criminal and Operations Psychology
(ACCOP) selama 3 hari. Yang hadir adalah para pakar psikologi kriminal dan
psikologi kepolisian (termasuk sipir penjara, Pemadam kebakaran dan petugas
imigrasi, karena di Singapura mereka di bawah satu kementrian Home Affairs).
Walaupun namanya Asian Conferene, tetapi banyak psikolog dari seluruh dunia yang hadir, termasuk dari AS, Inggris dan Australia. Banyak yang sudah senior seperti saya, tetapi tidak kurang yang masih baru saja diwisuda (tetapi sudah jadi pegawai). Mereka yang muda-muda ini bercampur dengan yang tua-tua dan tidak peduli tua-muda, semuanya bertugas memaparkan makalah.
Saya terkagum-kagum dengan paparan para psikolog yang muda-muda ini. Dengan PD-nya mereka tampil saja ke panggung, menyampaikan namanya kepada hadirin, membawakan makalahnya dan melayani tanya-jawab. Saya lihat mereka sangat terrampil dalam membuat makalah dan menggunakan rumus-rumus statisika.
Walaupun namanya Asian Conferene, tetapi banyak psikolog dari seluruh dunia yang hadir, termasuk dari AS, Inggris dan Australia. Banyak yang sudah senior seperti saya, tetapi tidak kurang yang masih baru saja diwisuda (tetapi sudah jadi pegawai). Mereka yang muda-muda ini bercampur dengan yang tua-tua dan tidak peduli tua-muda, semuanya bertugas memaparkan makalah.
Saya terkagum-kagum dengan paparan para psikolog yang muda-muda ini. Dengan PD-nya mereka tampil saja ke panggung, menyampaikan namanya kepada hadirin, membawakan makalahnya dan melayani tanya-jawab. Saya lihat mereka sangat terrampil dalam membuat makalah dan menggunakan rumus-rumus statisika.
Tetapi pada malam harinya,
pada acara dinner (bahasa Indonesia biasa: makan malam), saya duduk semeja
dengan psikolog-psikolog muda itu, yang kebanyakan Singaporean. Yang
cewek-cewek lumayan cantik-cantik (untuk ukuran Singapura; kalau di Indonesia,
kalah jauh dengan wajah-wajah infotainment). Di situ salah satu dari mereka
menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang masih sangat muda. Ketika itulah
saya bertanya (untuk menguji, tetapi jangan sampai kentara), “Oh ya? Mulai
kapan ya psikologi berdiri?”. Nona psikolog itu, dibantu teman-teman
nonik-nonik lainnya tidak bisa menjawab atau menjawab ngawur. Kemudian saya
beritahu, tahun 1879! Tahu siapa yang mendirikan? Tanya saya lagi. “Freud?”,
jawab salah satu nonik muda cantik (versi Singapur) itu. “Bukan,” sanggah saya.
“Pendiri psikologi adalah Wllhelm Wundt. Pernah dengar teori Wilhelm Wundt?”. Tidak
ada yag bisa menjawab saya, malah mereka mulai saling ngobrol sendiri. Mungkin
sambil berpikir, “Ngapain sih, kakek tua itu nanya-nanya yang gak penting?”.
Buat saya juga gak penting apakah mereka menguasai
psikologi secara keseluruhan atau hanya pandai di statistika saja. Yang penting
saya lanjutkan makan udang besar-besar di piring saya yang sudah sekian lama
tak tersentuh.
Dari pengalaman saya tersebut
di atas, saya berkesimpulan bahwa pendidikan psikologi sedunia, sudah direduksi
sedemikian rupa sehingga seorang psikolog mahir menghitung statistik dalam
penelitian (sebagai basis kompetensi), tetapi kurang memahami teori-teori yang
bersifat holistik.
Pengalaman saya dengan teman-teman dokter juga kira-kira sama. Bahkan saya pernah mendengar sorang dokter yang berceritera bahwa kelak untuk menjadi seorang kardiolog (spesialis penyakit jantung), tidak usah mahasiswa belajar dari dokter umum dulu, bisa langsung belajar penyakit jantung saja dari awal.
Pengalaman saya dengan teman-teman dokter juga kira-kira sama. Bahkan saya pernah mendengar sorang dokter yang berceritera bahwa kelak untuk menjadi seorang kardiolog (spesialis penyakit jantung), tidak usah mahasiswa belajar dari dokter umum dulu, bisa langsung belajar penyakit jantung saja dari awal.
Kalau semua ilmu sudah
direduksi seperti itu, apalagi di ilmu-ilmu sosial, pantaslah bahwa pragmatisme
yang mecuat sekarang. Pragmatisme inilah yang sekarang sedang mengikis
pelan-pelan nilai-nilai kemanusian yang selama ini mengawal perilaku manusia
sehingga sekarang di mana-mana terjadi terorisme, perang, narkotika,
perdagangan manusia, pedagangan sapi dan pergaulan berbasis Honda Jazz.
Sarlito Wirawan Sarwono
Singapura, 23 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar