Pemilu maupun musyawarah untuk menentukan pemimpin bukanlah
lagi hal yang jarang kita temui di era demokrasi seperti sekarang ini, termasuk
kemarin ketika kita harus menetukan pilihan untuk Presiden BEM UNS, kemudian
Presiden BEM FK UNS, dan tentunya Presiden RI april tahun
depan. Terlepas dari masalah kepresidenan nampaknya pemilihan ketua organisasi
mahasiswa juga akan santer isunya di beberapa hari kedepan di Fakultas Kedokteran UNS tercinta ini. Masyarakat maupun
mahasiswa luas diberikan kesempatan untuk menilai siapa diantara mereka yang
paling wajar dipilih. Al-Quran memberi petunjuk dalam berbagai aspek kehidupan
manusia, termasuk dalam upaya menjawab “Siapakah yang layak kita pilih?”
Dari celah-celah ayat Al-Quran
ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seorang yang
memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal itu
hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.
“Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya”, demikian ucapan putri Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan
dalam Al-Quran surah Al-Qashash ayat 26.
Konsideran pengangkatan Yusuf
sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir yang disampaikan oleh rajanya dan
diabadikan pula oleh Al-Quran adalah: “Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami” (Yusuf:54)
Ketika Abu Bakar r.a. menunjuk
Zaid bin Tsabit sebagai Ketua Panitia Pengumpulan Mushaf alasannya pun tidak
jauh berbeda: “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah
dipercaya oleh Rasul menulis wahyu”. Bahkan Allah SWT memilih Jibril sebagai
pembawa wahyunya, antara lain, karena malaikat ini memiliki sifat kuat lagi
terpercaya. “Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa
oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai
kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati disana (di
alam malaikat) lagi dipercaya”. (At-Takwir:19-21)
Salah satu arti amanat menurut
Rasulullah adalah kemampuan atau keahlian dalam jabatan yang akan dipangku:
“Amanat terabaikan dan kehancuran akan tiba, bila jabatan diserahkan pada yang
tidak mampu”, demikian lebih kurang sabda Nabi. Sahabat Abu Dzar, pernah
dinasihati oleh Nabi SAW: “Wahai Abu Dzar, aku melihat engkau lemah. Aku suka
untukmu apa aku suka untuk diriku. Karena itu, jangan memimpin (walau) dua
orang dan jangan pula menjadi wali bagi harta anak yatim”.
“Apabila amanat diabaikan, maka
nantikanlah kiamat (kehancuran). Mengabaikannya adalah menyerahkan tanggung
jawab kepada seseorang yang tidak wajar memikulnya”, demikian salah satu
jabaran arti amanat.
Tidak mudah
terhimpun dalam diri seseorang kedua sifat tersebut secara sempurna, tetapi
kalaupun harus memilih, maka pilihlah yang paling sedikit kekurangannya, dan
lakukan pilihan setelah upaya bersungguh-sungguh untuk mendapatkan yang
terbaik. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang dua orang yang dicalonkan
untuk memimpin satu pasukan –yang pertama kuat tapi bergelimang dalam dosa dan
yang kedua baik keberagamaannya namun lemah– beliau menjawab: “Orang pertama,
dosanya dipilkunya sendiri sedangkan kekuatannya mendukung kepentingan umat,
dan orang kedua keberagamaannya untuk dirinya, sedangkan kelemahannya menjadi
petaka bagi yang dimimpin”. Inilah pertimbangan dalam menetapkan pilihan.
Anda
boleh menetapkan pertimbangan Anda, tapi ingatlah selalu sabda Rasul: “Siapa
yang mengangkat seseorang untuk satu jabatan yang berkaitan dengan urusan
masyarakat sedangkan ia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnyaia
telah mengkhianati Allah, Rasul, dan kaum Muslim”