“Sungguh, Allah menyuruhmu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh,
Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat” (An-Nisa’:58)
Dalam Al-Quran, ada perintah
menunaikan amanat kepada pemiliknya, disusul dengan perintah menetapkan putusan
yang adil, kemudian dilanjutkan dengan perintah taat kepada Allah, rasul, dan
ulil amr. Ulil amr disini adalah mereka yang memiliki wewenang mengelola urusan
masyarakat, atau dalam kata lain kita sering sebut dengan pemerintah.
Perurutan uraian ayat seperti ini
menjadi petunjuk bahwa jabatan serta wewenang kebijakan dan pengelolaan,
merupakan amanat yang bersumber dari Allah. Melalui orang banyak atau
masyarakat, dan bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih sendiri siapa yang
mereka inginkan untuk maksud tersebut. Dan mau tidak mau urusan amanat itu
harus bisa kita lakukan dengan sebaik-baiknya, karena sedikit saja kesalahan
yang dibuat maka jangan heran itu akan mencelakai banyak orang. Pun pertanggung
jawabannya langsung antara kita sebagai orang yang dititipi amanat dengan Sang
Pemberi amanat itu sendiri.
Ketenteraman dan stabilitas
adalah harga mati kebutuhan mendasar akan kehidupan bermasyarakat, dan itu
semua tidak akan terwujud tanpa ada satu arahan pasti. Disinilah undang-undang
dan peraturan bermain peran sehingga setiap seluk beluk kehidupan ini tidak ada
yang tidak diatur. Undang-undang konstitusional untuk Islam sendiri tentulah
Al-Quran, dimana sifatnya yang boleh saya bilang amat sangat rigid dan tidak
mungkin dilakukan tinjauan kembali dan revisi. Di negara ini UUD 1945 menjadi
poros utama pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun setiap orang yang
mendapat amanat, berarti berhak mengelola undang-undang yang ada agar
stabilitas dan ketenteraman itu tercapai. Dari sini, semua masyarakat betapapun
kecil dan bersahaja, sadar ataupun tidak, mengangkat penguasanya masing-masing.
Dengan demikianlah terlihat kesejalanan ayat diatas dengan logika dan kenyataan
masyarakat manusia secara luas.
Jabatan bukan hak pribadi ataupun
turunan, mesi kita sempat melihat handover tahta dari bapak ke anak pada sistem
hierarki raja-raja terdahulu. Karena itu jangankan sogok, “hadiah” sekecil
apapun yang diterima pemegang amanat yang ada kaitannya dengan jabatan maka itu
terlarang untuk diterima. Ketika seorang pejabat pada masa Nabi menerima hadiah
dan enggan menyerahkannya pada kas negara, maka Nabi bersabda, “Cobalah dia
duduk di rumah ibunya, apakah ia diberi hadiah?”
Wewenang mengelola adalah sesuatu
yang berharga dan bukan sekedar memainkan peran agar skenario terus berjalan
sambil dibayar, pun banyak orang yang bilang jabatan adalah hal yang “empuk”,
sehingga boleh jadi ada yang salah langkah guna mendapatkannya. Dalam hal ini,
Nabi bersabda: “Demi Allah, kami tidak mengangkat sebagai pejabat yang
(kasak-kusuk) memintanya”. Beliau juga berpesan: “Jangan kasak-kusuk mencari
jabatan karena apabila engkau memperolehnya tanpa kusak-kusuk, engkau akan
dibantu Tuhan. Allah menurunkan malaikat mendukung langkahmu”.
“...... jabatan adalah amanah, ia
pada hari kiamat akan menjadikan yang menyandangnya hina dan menyesal kecuali
yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya degan baik”.
Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifariyang meinta jabatan kepada
beliau.
Nabi juga bersabda: “Apabila amanat disia-siakan, maka
nantikanlah kehancuran”, ketika ditanya: “Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Beliau
menjawab: “Apabila wewenang pengelolaan diserahkan kepada yang tidak mampu”.
0 komentar:
Posting Komentar