Siapa
yang tidak mengenal Bung Tomo. Sekian ratus pasukan kompeni bersenjata lengkap
porak poranda karena pria ini. Dialah yang mengharumkan tanah Surabaya dengan
darah para mujahid. Dialah yang pertama kali menanamkan image bahwa arek-arek
suroboyo adalah pemuda nekat tak takut mati. Hingga munculah istilah bonek.
Hingga diperingatilah 10 november sebagai hari pahlawan. Semua atas
sumbangsihnya. Maka jadilah dia besar.
Dan dunia menyejarahkan namanya.
Siapa
yang tak mengenal Umar bin Khattab. Namanya telah begitu besar sebelum dia
masuk islam. Jagoan gulat dari klan bani ‘Adi ini telah memiliki segalanya
untuk disebut pria. Gagah, terhormat, kaya, disegani. Dan setelah memeluk
islam, lengkaplah semuanya. Lebih dari seperempat dunia tercerahkan oleh islam
dibawah kepemimpinannya. Maka jadilah dia menyejarah. Berbondong-bondong orang
mempelajari karakternya. Beramai-ramai orang menulis tentang dirinya.
Siapa
pula yang tak mengenal Slamet Riyadi. Dua pekan lebih Surakarta bertahan dari kepungan
pasukan belanda di bawah komandonya. Tinggal sejengkal mereka masuk, namun
selalu gagal. Hingga akhirnya belanda menyerah. Maka dipanggillah Slamet
Riyadi, untuk bertemu dengan komandan senior pasukan belanda. Kagetlah bule tua
ini. Dan dia menangis. Menangis karena malu. Dia harus menyerah kepada pasukan
yang hanya memakai bambu runcing untuk berperang. Dan lebih menyakitkan, dia
menyerah pada pemuda ingusan yang baru berusia 22 tahun. Maka harumlah nama
Slamet Riyadi. Hingga di tengah kota Surakarta berdiri gagah patung seorang
pemuda, dengan pistol di tangan kanan menghadap ke langit luas. Itulah Slamet
Riyadi! Dan hingga detik ini, patung itu seolah menularkan semangatnya pada
kami, rekan-rekan mahasiswa, untuk turun ke jalan dengan membawa seonggok kebenaran
dari sudut pandang kami sebagai pemuda.
Mereka
semua melegenda karena jasa-jasanya. Mereka terkenang karena pengorbanannya.
Namun adakah yang mengenal wanita dibalik orang-orang hebat itu? Siapa yang
mengenal istri Bung Tomo sebaik mereka mengenal suaminya? Siapa yang tahu
tentang sosok istri Umar bin Khattab sebesar pengetahuannya pada sosok sang
khalifah? Bahkan, siapa yang mengenal dengan jelas istri-istri Rosulullah
selain Aisyah dan Khadijah?
Lalu
apakah berarti wanita-wanita mulia itu tidak mempunyai peran atas kesuksesan
suaminya? Tentu terlalu naïf jika kita berfikir demikian. Namun dari sini kita
belajar sebuah kaidah sederhana bahwa: tidak semua orang hebat memerlukan orang
yang sehebat dirinya untuk menemaninya dalam berjuang.
Kebanyakan
dari mereka justru mempunyai istri yang sangat sederhana dan bersahaja.
Karena
biasanya, orang-orang yang sederhana itu mampu menerima orang lain (suaminya)
sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Sekali lagi, dia mampu
menerima orang lain sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia
seharusnya. Mereka tidak banyak
menuntut. Maka jadilah orang-orang yang mempunyai istri seperti ini, kapasitas
mereka akan cepat berkembang. Setahu saya, orang-orang hebat itu pasti pernah
melalui perjalanan panjang yang sarat dengan kegagalan. Ketika dia “menyimpan”
orang-orang sederhana dibalik perjuangannya dalam menghadapi permasalahan, dia
pun akan sangat cepat menemukan berbagai penyelesaian.
Coba
kita fikirkan. Ketika pria-pria hebat itu berkutat dengan kegagalan dan berusaha mencari sebuah solusi, istri
yang sederhana ini hadir untuk mengatakan bahwa dia tidak menuntut suaminya
menjadi apapun, dia akan selalu setia dengan kondisi sang suami. Maka hadirlah
ketenangan itu. Dan dibalik ketenangan inilah, solusi-solusi itu akan datang
beriringan. Setelah solusi datang berhamburan, jadilah dia yang paling
cemerlang di zamannya. Dia melejit, lalu menjadi pahlawan.
Di
sisi yang berbeda, walaupun tidak selamanya, orang-orang yang mempunyai
kapasitas tinggi terkadang melihat orang lain dengan cara pandang bahwa mereka
harus menjadi seperti apa yang dia inginkan. Atau setidaknya, tidak terlalu
jauh dengan kapasitas dirinya. Dan seringkali potensi alamiah seseorang tidak
akan berkembang dengan baik saat dia hidup dengan orang seperti ini. Maka orang-orang
besar itu biasanya, dia tidak memerlukan istri yang seunggul dirinya. Namun
mereka memerlukan istri yang tepat dengan bingkai kepribadiannya. Sekali lagi, mereka
tidak butuh yang paling unggul, namun yang paling tepat.
Sebelum
tulisan ini saya akhiri, mari belajar banyak dari istri seorang Buya Hamka.
Pernah suatu saat buya hamka diundang untuk mengisi ceramah. Sebelum beliau
naik mimbar, sang pembawa acara tiba-tiba mempersilakan istri beliau untuk
memberikan ceramah pembuka. Niat yang baik memang. Dia berfikir “kalau suaminya
aja penceramah besar, tentu istrinya juga jago ceramah dong”. Tidak ada yang
salah dari pemikiran itu. Maka majulah istri buya Hamka. Beliau mengucapkan
salam, lalu berkata “Saya tidak bisa ceramah. Saya hanyalah tukang masak dari
sang penceramah.”, lalu beliau turun. Sederhana. Dan kesederhanaan itulah yang
membuat Hamka menjadi besar.
Tulisan ini hanya melihat dari
sudut pandang laki-laki. Sangat memungkinkan untuk dilihat dari sudut pandang
sebaliknya. Silakan setuju, sialakan tidak. Semua kesalahan dalam tulisan ini
hanyalah karena sempitnya pemahaman saya.
:)
BalasHapussemoga ya nak, saya bisa seperti yang ditulis.. amiennn :)
Amin :D
Hapusagak tercium bau modusnya,,, wkwkwk :D
BalasHapusover all "tulisane joss gandos"
[commentku ojo dihapus]
hehehe MANTAP!! :)
BalasHapussip. setuju dengan pendapat akhi (y)
BalasHapusmemang tidak harus 'unggul' dalam memilih pasangan , tapi yang 'tepat'lah yang dibutuhkan. 'tepat' disini tidak jauh beda dengan apa yang antum utarakan. Tapi kalau boleh manambahkan sedikit, menurut saya yg 'tepat' itu adalah yg juga mengerti apa kekurangan dan kelebihan kita sehingga dapat saling melengkapi antara satu dan yang lain.
Kalau boleh saya bilang, 'cintai dulu kekurangannya, baru cintai kelebihannya'. Jadi dengan begitu, kita tidak akan mengeluh ketika tahu tantang kekurangan pasangan kita.
syukron :)