Salah satu
audiens yang paling “menantang” dan paling sulit untuk ditaklukkan adalah
anak-anak SMA. Percaya dah. Apalagi kelas XII. Apalagi sekolah pedesaan. Maaf
ya. Tapi ini benar. Menyampaikan materi di SMA yang cukup terpandang dengan SMA
pedesaan yang jauh dari kota ternyata benar-benar berbeda. Minimal dari cara mereka menghargai lawan bicara, dan
cara mereka menghargai ilmu baru yang belum pernah mereka dapatkan. Kalau anda
pernah merasakannya, saya yakin anda sepakat dengan saya.
Saya pernah melakukan
penyuluhan kesehatan. Bersepuluh waktu itu. Bukan di SMA bonafid. Jangankan boafid, satu
kelas saja isinya lima orang. Semacam les privat memang. Tak ada lapangan
upacara, tak ada parkiran luas, dan tak ada kantin. Kalau lapar? Mungkin mereka
pulang dan tak balik ke sekolah lagi. Atau mungkin mereka sudah terlalu kenyang
karena menghisap rokok. Haha. Entahlah. Tapi yang jelas, SMA yang satu ini memang
benar-benar jempolan. Tau suzuran di film crows zero? Nah, mirip-mirip itu lah.
Seperti biasa,
saya mendapat tugas membuka, menutup dan mencairkan suasana. Saya mulai dengan
gaya saya. Berapi-api, sampai benar-benar terbakar. Gosong. Minimal agar mereka
berfikir bahwa saya membawa sesuatu yang harus mereka camkan baik-baik. Sesuatu
yang istimewa. Kan kata orang, kesan pertama itu segalanya. Nah, itu dia. Biasanya
cara saya ini sukses besar. Orang-orang jadi semangat. Membara, membahana.
Eng ing eng.. Ternyata
tak se-mulus yang saya harapkan. Medan tampaknya tak begitu bersahabat. Mereka
tidak terlalu serius dengan apa yang saya sampaikan. Padahal dari mulut saya
hampir keluar semburan api. Gawat. Lama-lama mulut saya bisa berbusa. Saya
harus bertindak!
Saya pasang
posisi kuda-kuda. Dua tangan menunjuk ke arah mereka. Bergaya se-cool mungkin.
Kaki kanan di depan, sedikit ditekuk, kaki kiri di belakang, menyesuaikan. Badan
sedikit terbungkuk, wajah serius, dahi mengernyit hingga alis hampir berhimpit.
Siap menyeringai. Wah, jos. Lalu saya teriak “kelas enam SD, saya dapat sebuah
piala. Kecil memang, tapi saya peroleh dengan kerja keras. Lalu saya berikan
kepada ibu saya. Beliau tersenyum bangga karena itu. Kalian, yang kerjaannya
ngehabisin duit ibu kalian buat ngerokok, apa yang sudah kalian buat agar
beliau tersenyum bangga??”
Seisi
ruangan diam. Termasuk saya. Berhasil. Mereka terpana. Namun kemudian saya
bertanya-tanya. Kalau pertanyaan itu diajukan ke saya, hanya piala itukah
jawaban saya?
----------------------------------------
Satu hal yang
saya lakukan saat benar-benar jenuh dengan rutinitas adalah, main ke panti
asuhan. Wah, itu bener-bener manjur. Anda main kesana, ngobrol dengan mereka,
mendengarnya bercerita panjang lebar, memberinya sesuatu –entah apapun itu-,
lalu anda pulang diiringi tawa mereka. Wih..mantep! Nggak mungkin anda nggak
bahagia. Yakin. Minimal anda akan tahu, betapa beruntungnya anda dibanding
mereka.
Izinkan saya
berbagi. Kisah sederhana dari rumah yang penuh kebahagiaan. Panti asuhan. Namanya
tanto. Dari kelas 5 SD dia tinggal di panti, tepat setelah sang ayah meninggalkannya
pergi. Dia punya kembaran, tapi perempuan. Kembar dampit kata orang jawa.
Ibunya masih hidup sampai sekarang. “Beliau sakit-sakitan mas tapi” kata tanto.
Sejak ayahnya meninggal, dia mengambil sebagian peran yang selama ini dimainkan
oleh ayahnya. Mencari nafkah. Sambil berangkat sekolah, dia bawa kotak makanan
berisi gorengan dan nasi kucing. Lalu dijual ke teman-temannya. Setiap hari
seperti itu. Hebat kan. Bandingkan dengan kita –yang merasa-. Ipod, iphone,
tablet, mobil, motor, sepatu, tas. Semua serba mewah. Itu punya siapa? Bapak-emak
kan? Trus petantang petenteng pake
barang pinjeman? Malu bro sama tanto (yang ngerasa).
Lanjut. Tanto
ini sekarang kuliah di salah satu sekolah tinggi swasta. Dia ambil informatika,
program diploma 1. Padahal dari SMK dia ambil arsitektur. How come?
“Disana nggak
ada arsitektur mas. Adanya informatika”. Ohh.. I see.
Lalu saya
tanya “pengen kuliah nggak?”
dia ketawa. “ngetawain
apaan?”
“hehe. nggak
ada mas. Ya pengen sih mas kalo kuliah. Tapi beum tau..”
saya tau nih.
Dia pasti bingung masalah uang.
“udahlah,
nggak usah mikirin duit. Masuk arsitektur itu berat. Sekarang tahajudnya jangan
bolong. Dhuha jangan bolong. Disempetin belajar soal-soal SNMPTN juga. Duit mah
gampang. Kalo nggak ada duit kan tinggal bilang pak rektor. Yang penting ketrima
dulu”
“emang pak
rektor mau bayarin kuliah saya mas?”
“nggak tahu.
hahaha” eh, gantian saya ketawa, dia malah mengkeret.
Kalau dia dulu
jurusan arsitektur, berarti kan pernah bikin sketsa-sketsa gitu ya. Nah, saya
minta dia kasih liat karyanya. Dia tunjukin gambarannya sewaktu SMK dulu. Ada 5
halaman kertas kalkir kalau tidak salah. Saya minta diajarkan bagaimana cara
membaca sket itu. Lalu dia menjelaskan panjang lebar. Asik nih. Kuliah gratis.
Diterangin sana-sini. By the way, ini pelajaran yang paling tidak saya bisa
sewaktu SMA.
Di halaman
ke-6 dari kerjaan tanto ini, saya tidak menemukan gambaran. Disana justru tertera
angka-angka dengan kalkulasi sederhana. Saya kira itu utang-utangnya. Haha.
Ternyata bukan.
“ini apaan?”
“itu biayanya
mas. 84 juta”
“belum sama
tanah?”
“belum lah
mas. Masak murah banget”
“ya mana aku
tau. Kan ente yang nggambar. Bzzz..”
“ini pernah dibeli sama orang mas. 5 juta,
tapi nggak saya kasih.”
“glek! Kok
bisa?”
Dia bercerita.
Seperti umumnya anak SMK, dia diberi tugas magang di salah satu developer.
Menjadi pemantau lapangan. Ya semacam mador lah. Nah waktu amgang itulah, ada
yang melihat gambarannya. Seorang developer. Beliau tertarik untuk membelinya.
Seharga 5 juta. Tapi tanto bergeming, tidak mau menyerahkannya. Saya fikir
mungkin karena itu karya pertamanya, jadi sayang jika harus menjualnya. Tapi 5
juta kan lumayan. Bikin lagi juga bisa.
“kan kamu bisa bikn lagi? Emang
bikin kayak ginian lama ya?”
“nggak sih mas. Itu sekitar
seminggu”
“lhah. Ya udah sih, jual aja trus
lu bikin lagi. Selesai kan?”
“’nggak mas”
“nggak kenapa??”
setelah terdiam cukup lama, mulutnya berucap
“itu hadiah buat ibuk,mas”
Speechless. Merinding.
Melting. Sumpah. Orang seperti tanto. Yang mau kuliah saja harus berfikir
seribu kali. Yang -mungkin- beli handphone saja harus dengan bantuan orang
lain.
Tanto yang
-pasti- tidak mengerti kapan rumah itu bisa terealisasi. Kapan bangunan itu
akan berdiri. Tanto yang -mungkin- juga tak mengerti apakah saat uangnya
terkumpul, ibunya masih ada disampingnya untuk melihat rumah itu dhadiahkan
untuknya. Tanto yang merelakan 5 juta melayang hanya agar ibuknya bangga
melihat kerja kerasnya. Tanto, pemuda sederhana ini, jauh didalam
kesederhanaannya, begitu mengerti bagaimana cara memuliakan ibundanya. Walau
hanya dengan keinginan yang tak tentu kapan dianya menjadi kenyataan.
Tanto, yang
kemungkinan dan kepastian hidupnya teramat slit untuk diterima. Tanto, sekali
lagi, jauh didalam kesederhanaanya memaknai dunia, dia tahu bagaimana cara
membuat ibunya tersenyum bangga.
Sedangkan
kita? Dari semua fasilitas yang digelontorkan untuk kita, apa yang bisa kita
berikan untuk membuat mereka bagga?
Namun kemudian saya bertanya-tanya. Kalau
pertanyaan itu diajukan ke saya, hanya piala itukah jawaban saya?
Semoga kita
mengerti, betapa bahagianya kita dibanding mereka.
*foto diatas adalah gambaran tanto yang saya maksud