Serat Sastra Gendhing merupakan sebuah karya hasil buah pikir Sultan Agung Hanyakrakusuma yang merupakan Raja Mataram (1613-1945) yang sangat adiluhung. Di dalamnya berisi tentang ajaran-ajaran kebijakan yang mencakup ajaran mistis, sosial, politik dan filsafat. Salah satu kandungan isi dari Serat Satra Gendhing adalah 2 bait lagu Dhandhanggula yang menceritakan tentang 10 nasehat pegangan bagi orang hidup bermasyarakat. Sedangkan Dhandhanggula itu sendiri adalah salah satu jenis dari 11 lagu macapat yang berkembang di Tanah Jawa.
Dhandanggula, sesuai dengan namanya yang bermakna serba manis. Tembang ini
membawakan suasana yang serba manis, menyenangkan, mengasyikkan, tembang
tersebut sangat tepat untuk melahirkan perasaan yang menyenangkan, menguraikan
ajaran yang baik mengasyikkan dan juga mengungkapkan rasa kasih. Lukisan
tentang keindahan alam pun juga digunakan dengan tembang dhandanggula. 10
nasehat pegangan bagi orang hidup bermasyarakat, ini dia isinya.
1. Pawitane wong urip puniki, (permulaan orang dalam hidup ini)
pan sadasa lamun datan bisa, (ada 10 yang jika tak bisa dilakukan)
pan sadasa lamun datan bisa, (ada 10 yang jika tak bisa dilakukan)
nistha kuciwa dadine, (akan menjadi hina dan
mengecewakan)
dhihin karêm ing ngelmu, (mempunyai tekat kuat dalam
belajar)
kaping kalih bisa angaji, (yang kedua bisa mengkaji)
ping tiga bisa maca, (ketiga bisa membaca)
ping sakawanipun, kudu ahlul anênurat, (keempat, haruslah ahli menulis)
kaping lima wignya anitih turanggi, (yang kelima ahli menaiki kuda)
ping nêm bisa bêksa. (keenam bisa menari)
kaping kalih bisa angaji, (yang kedua bisa mengkaji)
ping tiga bisa maca, (ketiga bisa membaca)
ping sakawanipun, kudu ahlul anênurat, (keempat, haruslah ahli menulis)
kaping lima wignya anitih turanggi, (yang kelima ahli menaiki kuda)
ping nêm bisa bêksa. (keenam bisa menari)
2. Kaping pitu kudu wruh ing
gêndhing, (ketujuh
harus tau gendhing / lagu-lagu jawa)
kaping wolu apan kudu bisa, (kedelapan haruslah serba bisa)
têmbung kawi têmbang gêdhe, (tembung kawi / bahasa tua dan tembang gedhe / lagu tua
ping sanga bisa iku, ulah yudha gêlaring (yang kesembilan itu, olah peperangan dan penataan)
jurit, limpad pasanging grahita, (bala tentara, peka dalam berindra)
ping sadasanipun, wong urip wekasan lena, (yang kesepuluh, orang hidup tidak boleh ceroboh)
den-prayitna ing pati patitis, (selalu berhati-hati dalam memilih kematian yang tepat)
patitis ing kamuksan. (kematian yang sempurna / khusnul khatimah)
kaping wolu apan kudu bisa, (kedelapan haruslah serba bisa)
têmbung kawi têmbang gêdhe, (tembung kawi / bahasa tua dan tembang gedhe / lagu tua
ping sanga bisa iku, ulah yudha gêlaring (yang kesembilan itu, olah peperangan dan penataan)
jurit, limpad pasanging grahita, (bala tentara, peka dalam berindra)
ping sadasanipun, wong urip wekasan lena, (yang kesepuluh, orang hidup tidak boleh ceroboh)
den-prayitna ing pati patitis, (selalu berhati-hati dalam memilih kematian yang tepat)
patitis ing kamuksan. (kematian yang sempurna / khusnul khatimah)
Secara bahasa, makna lagu tersebut terdengar biasa-biasa saja. Akan
tetapi jika dipahami dan dihayati lebih dalam lagi, lagu tersebut seakan
menjadi oase penuh kesegaran dalam menghadapi asam manisnya lika-liku hidup
ini. Kata-kata yang tersiratkan sangat menyejukkan dan menentramkan hati.
Nasehat adiluhung dari seorang raja kepada selurah masyarakat agar tetap stabil
dalam menghadapi perputan hidup ini. Urip pindha cakra manggilingan ngger.
Penasaran
dengan makna filosofis dari 2 bait lagu Dhandhanggula tersebut? Tunggu saja ya updatean
post dari penulis. InsyaAllah akan penulis paparkan pemaknaan
dari 10 nasehat pegangan bagi orang hidup bermasyarakat versi pemikiran
penulis.
0 komentar:
Posting Komentar