Saya
mendapatkan beberapa pengalaman berharga dalam perjalanan saya ke tepian kota
malang. Pulau sempu. Kebetulan sebelum berangkat, saya beberapa kali
membolak-balik buku karangan Dale Carnegie yang berjudul how to win friend and
influence people. Sebenarnya saya sudah beberapa kali membaca buku ini. Namun satu
hal yang saya percayai. Ciri orang yang akan diberi keberkahan ilmu adalah dia
yang tidak bosan dengan sebuah topik bahasan keilmuan, meskipun dia telah
mendengar atau mempelajarinya berkali-kali. Dan saya memang senang membaca
ulang beberapa poin materi dalam sebuah buku meskipun saya pernah menamatkannya.
Maka tidak jarang teman-teman berkata “ngapain sih, buku udah beres dibaca lagi”
dan saya Cuma menjawab “aku orang bloon, jon. Makanya kalau baca musti dua kali”.
Oke.
Back to the topic. Sampai di pinggiran pulau sempu, saya dan rombongan harus
melewati perjalanan yang -normalnya- ditempuh selama 2 jam jalan kaki dengan
track yang lumayan berat untuk sampai ke segoro anakan. Sebuah tempat yang
dikelilingi oleh bukit, dimana ditengahnya ada air laut yang terperangkap. Its so
beautiful. Cantik sekali.
Untuk masuk kesana, kita diharuskan memakai jasa pemandu. Dan itu bayar, 100 ribu. Disitulah letak permasalahannya, sumber pendanaan kami ternyata terbatas. Kami memutuskan untuk tidak memakai jasa pemandu. Dari pihak perizinan mengatakan bahwa kami tidak diperbolehkan masuk tanpa pemandu. Kontan saja kami mikir. Ih, cari untung ni pasti. Pemaksaan. Karena dari pihak sana ngotot, akhirnya mau tak mau kita ikut keinginan mereka. Daripada nggak jadi masuk. Mungkin karena dari awal kita nggak nurut, saya amati wajah pemandu kami ini agak sengak. Tau dah, apa karena kejadian tadi, apa emang dari lahir udah kayak gitu. Yang pasti saya mikir, kalau keadaannya kayak gini, perjalanan gak bakal seru nih.
Untuk masuk kesana, kita diharuskan memakai jasa pemandu. Dan itu bayar, 100 ribu. Disitulah letak permasalahannya, sumber pendanaan kami ternyata terbatas. Kami memutuskan untuk tidak memakai jasa pemandu. Dari pihak perizinan mengatakan bahwa kami tidak diperbolehkan masuk tanpa pemandu. Kontan saja kami mikir. Ih, cari untung ni pasti. Pemaksaan. Karena dari pihak sana ngotot, akhirnya mau tak mau kita ikut keinginan mereka. Daripada nggak jadi masuk. Mungkin karena dari awal kita nggak nurut, saya amati wajah pemandu kami ini agak sengak. Tau dah, apa karena kejadian tadi, apa emang dari lahir udah kayak gitu. Yang pasti saya mikir, kalau keadaannya kayak gini, perjalanan gak bakal seru nih.
Mulai
dah saya ajak dia ngobrol. Mulai asalnya darimana, sejak kapan jadi pemandu, tentang
keadaan kota malang, macem-macem lah. Dan untuk tahap ini, respon target belum
sesuai keinginan. Si bapak ini masih menampakkan sikap dinginnya. Wah sial
juga. Saya terus berfikir bagaimana “menjinakkan” hati orang tersebut. Kenapa
saya harus repot-repot memikirkan cara untuk membuatnya akrab dan bersahabat?
Karena
ada satu hal yang saya yakini ketika bertemu dengan orang-orang seperti itu.
Mereka pasti memiliki banyak ilmu. Memang, ini hanyalah husnudzon saya. Karena
belum tentu mereka benar-benar punya banyak ilmu. Namun saya percaya bahwa
ketika seseorang bersikap keras dan sombong, sebenarnya dia hanya ingin
menunjukkan pada orang-orang di sekitarnya bahwa dia mempunyai banyak hal yang
tidak dimiliki orang lain. Entah ilmu, entah pengalaman, entah wawasan, apapun itu.
Dia hanya ingin orang lain tahu bahwa dia mempunyai banyak hal. “ini lho, aku!
Aku punya yang tidak kau punyai!”. Itu pertama. Yang kedua, dia hanya ingin
orang lain melihat kelebihannya dan mengapresiasinya dengan apresiasi terbaik.
Untuk “menjinakkan” orang-orang seperti ini, saya akan membagi satu poin yang
harus kalian ingat hingga kalian menjadi orang besar.
William
james pernah bertutur “prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah
kebutuhan untuk dihargai”. Ingat, kebutuhan untuk dihargai. Dale carnegie dalam
sebuah bukunya mengatakan, “ini adalah satu rasa lapar yang tak terperikan dan
tak tergoyahkan, dan individu langka
yang benar-benar dapat memuaskan kelaparan hati ini akan menggenggam
orang dalam telapak tangannya.”. Dan itulah yang saya lakukan saat itu. Saya
menyadari bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang merasa bahwa dirinya
pantas untuk dihargai. Atau setidaknya, dia merasa bahwa saya harus
menghargainya. Ada sedikit perbedaan disana, tapi ujungnya sama. Saya harus
memberikan penghargaan untuknya. Titik.
Saya
bisa saja tidak mempedulikan sikap dinginnya atau bahkan membalasnya dengan hal
serupa. Secara, saya kan sudah membayar, dan saya adalah bos yang harus
dilayani. Dan memang sikap meng-counter orang lain seperti itu juga sering saya
lakukan. Tapi saya berfikir ulang sebelum melakukan hal itu. Kalau saya
melakukan hal serupa, berarti akan ada dua batu keras yang siap dibenturkan. Lalu
apa nyang akan saya dapatkan? Ah, saya rasa kurang bijak. Pepatah cina
mengatakan, kalau anda disakiti seseorang, maafkanlah. Karena jika tidak, akan ada
dua orang jahat disana.
Saya
menyadari kondisi ini dan segera memainkan peran saya. Yang saya cari adalah
ilmu dan wawasannya. Sedangkan dia mencari “penghargaan” dari saya. Maka saya
posisikan diri saya sebagai orang yang benar-benar memberikannya banyak
penghargaan. Bagaimana caranya? Gampang, dengarkan saja dia bicara, dan berikan
banyak persetujuan atas apa yang dia katakan. Izinkan saya mengulanginya sekali
lagi. Dengarkan dia bicara, dan berikan banyak persetujuan atas apa yang dia
katakan. Jadilah sepanjang perjalanan, saya banyak mengatakan “ya”, “wah, luar
biasa ya pak”, “bener, bener, bener..hebat itu. Trus bagaimana?”, “wah, bapak
berani bilang seperti itu? hhe.. mantep pak.”.
Dan
saya berhasil. Saya mendapatkan hatinya, saya mendapatkan ilmunya. Sepanjang
perjalanan dia terus membagi satu persatu ilmu dan pengalaman yang dia punya.
And I so excited with this. Saya sangat menikmatinya. Bahkan, ketika sepatu
yang saya pakai rusak di bagian bawahnya, tanpa saya minta dia memperbaikinya
dengan tali rafia. Dengan senang hati dia bilang pada saya “yakin, tali ini gak
bakalan lepas.” Dan dia mengulanginya dua kali. Pada akhir sekuel ini, keadaan
berbalik. Saya lah yang berhasil “menguasai” dirinya. Bukankah itu indah?
Saya
melakukan hal itu dengan tulus, dan rasanya adalah sebuah kesalahan jika itu
dikatakan sebagai sebuah hasutan. Teladan tertinggi saya, Muhammad SAW adalah
sosok yang paling jago melakukan hal ini. Lihatlah ketika beliau tiba di yatsrib.
Di kota penuh berkah itu, ada seorang
rabi muda yang sangat dihormati di tengah bani israil. Hushain. Huhsian ibn
salam. Artinya Kuda kecil, putra dari salam. Dia mendapatkan penghargaan dan
penghormatan jauh melampaui usianya. Kecerdasan dan ketekunannya membuat dia
faham mengapa yatsrib menjadi tempat jujugan
kaumnya untuk ditinggali. Nabi terakhir itu akan muncul di sebuah negeri yang
terletak di antara dua bukit yang ditumbuhi pohon-pohon kurma. Begitulah taurat
menulisnya. Dan itu yatsrib. Nabi itu akan muncul. Muncul di yatsrib. Kecerdasannya
menangkap perbedaan antara muncul dan lahir. Dan jelaslah bahwa Ahmad yang
terpuji bukanlah keturunan Israil. Karena dia tidak terlahir disana, tapi
muncul. Muncul di yatsrib. Dia berasal dari keturunan bangsa ismail, sepupu
mereka. Orang quraisy makkah. Dan hushain mendengar bahwa nabi terakhir itu kini
sedang dalam perjalanan ke yatsrib. Mulailah setiap hari dia memanjat batang
kurma untuk menanti datangnya orang paling mulia. Dia yakin akan hal itu. Hingga
suatu hari, begitu salim A Fillah menulisnya dalam dekapan ukhuwah, dari arah
Tsaniyatul Wada’ kepul kepul debu dilihatnya menjelang kemunculan unta putih
yang begitu gagah. Itukah unta yang masyhur bernama Al-Qashwa? Itukah Sang Nabi
yang menungganginya? Ya. Itu beliau, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam!
Maka
hushain berteriak kepada kaumnya bahwa sang juru selamat benar-benar telah
tiba. Sesaat kemudian dia berlari menghampiri Rosulullah, mencium tangan beliau
dan berkata “asyhadu an laa ilaaha illallaha, wa annaka rasulullah”. Sebuah pemandangan
yang indah. Kemesraan dalam ikatan iman. Bahkan hushain mendapatkan nama baru
dari Sang Nabi. ‘Abdullah. ‘Abdullah Ibn Salam. Sang nabi telah memberinya
kejutan di pertemuan pertamanya.
Dan
‘Abdullah semakin terpikat pada sosok yang mulia ini saat Sang Nabi berdiri dan
mendoakan di tengah-tengah warga yatsrib. “Ayyuhannaas.. Afsyusalaam, wa siilul
arhaam, wa ath’imuth tha’aam, wa shallu billaili wan naasu niyaam, tadkhulul
jannata bi salaam. Hai sekalian manusia, tebarkanlah kedamaian, sambunglah tali
kasih sayang, berikanlah makanan pada yang kelaparan, sembahyanglah kala malam
di saat manusia terlelap, dan kalian akan masuk surga dengan dilimpahi
keselamatan.”
Abdullah
sedikit terhenyak. Tak salah dengarkah dia? Di khutbah pertamanya, Sang Nabi
menyebut nama ayahnya yang telah meninggal, salam, sebanyak dua kali! Its very
unpredictable! Luar biasanya Sang Nabi. Alangkah pandainya beliau mengambil
hati. Cerdas. Mempesona. Dan saya yakin, disamping karunia allah yang maha
perkasa, cara nabi menghargai orang seperti inilah yang membuat orang-orang
hebat mau berdiri dan berjuang bersama dibelakangnya, dalam komando dan
perintahnya.
Seorang
teman pernah bercerita pada saya. Dia punya seorang kenalan yang jauh diatas
usianya. Di tempat kerjanya, sebuah lembaga yang merupakan anak cabang, banyak
orang yang mengeluh dengan sikap dan perangai kerasnya. Bahkan sang pimpinan pada
akhirnya berhasil mendepaknya ke kantor di daerah lain.
Disisi
lain, dia mempunyai etos kerja yang sungguh luar biasa. Dia mampu melakukan
perkerjaan yang bahkan tidak terfikirkan oleh orang lain. Dia tahu bagaimana
membuat sebuah lembaga lebih rapi dan berkembang. Tapi agaknya, sikap dan
perangai yang dia miliki seakan menjadi penghalang bagi orang lain untuk
mengatakan bahwa dirinya adalah orang hebat. Dan kenyataan yang dia terima
adalah, orang-orang disekitarnya tidak menghargai karya-karyanya. Kerja keras
dan pemikirannya ibarat tanaman yang tidak mendapatkan pupuk.
Keadaan
lembaga menjadi kacau. Disatu sisi, banyak terobosan baru yang bisa
dikembangkan. Nampak dari luar bahwa lembaga ini menunjukkan perkembangan yang
tidak bisa dianggap remeh. Disisi lain, lembaga ini telah tumbuh dengan tidak
sehat. Dia tidak bisa menjadi rumah bagi
para pekerjanya. Dan jika ini terus berlanjut, orientasi orang-orang
yang ada di dalamnya akan berubah menjadi orientasi menang-kalah, saling sikut,
pamer jabatan. Sangat-sangat duniawi. Lembaga ini akan berubah menjadi hutan
rimba. Its far from the expectacion. Maka ketika ada evaluasi dari pusat,
diputuskan bahwa orang tersebut harus dipindahkan ke kantor cabang di pulau
lain.
Saya
sedikit kagum sebenarnya. Hebat juga ya ni orang. Karena gini, kita ibaratkan
ada seorang ketua kelas. Kelas yang dia pimpin ini awalnya tenang dan disiplin.
Lalu ada satu anak yang masuk dan membuat sebuah perubahan disana. Kelas jadi
kacau, berisik, siswanya acak-acakan, hancur dah pokonya. Kalau kita mau jujur,
satu anak inilah yang sebenarnya menjadi pemimpin disana. Biar kata dia membuat
kekacauan, biar kata dia menciptakan suasana tidak kondusif, but he can
influence the people to do what he want. Atau setidaknya, dia bisa membuat
sebuah perubahan disana. Atau setidaknya lagi, ketua kelas yang harusnya
menjadi pemimpin disana, tidak mampu mengatur anak ini. Maka dialah pemimpinnya
saat itu.
Lhoh,
dia kan membuat kekacauan, bukan memimpin? Kita ingat ketika fir’aun menguasai
mesir dan membuat hukum bahwa bayi laki-laki yang lahir harus dibunuh, bukankah
itu kacau? Dan fir’aun yang memimpin saat itu. Benito Mussolini. Dengan kekuasaannya
dia membantai ratusan juta ras afrika, juga hitler yang dengan sadis membumi
hanguskan bangsa yahudi. Bukankah itu kekacauan? Tapi, bukankah mereka yang
menjadi pemimpin saat itu?
Sama
halnya dengan orang yang saya ceritakan diatas. Saya sedikit menyayangkan jika
kehadiran orang tersebut malah berakhir dengan ketidaksehatan lembaga. Andai
pemimpin lembaga itu sedikit lebih bersabar dan berfikir bagaimana cara
menjinakkannya, sudah dipastikan bahwa dia akan mendapatkan prajurit hebat
untuk memajukan lembaganya.
Karena
orang seperti ini, mau tidak mau, disadari atau tidak, bekerja untuk
mendapatkan sebuah penghargaan. Mungkin bisa saja dia bilang “saya melakukan
ini untuk lembaga, bukan untuk sebuah pujian”. Tapi justru inilah yang
membedakan antara kita dan hewan peliaraan milik kita. Sekali lagi, ada
kebutuhan yang menuntut kita untuk memperolehnya dari manusia lain. Dan jika
kita tidak mendapatkannya dari orang-orang di sekitar kita, kita tidak akan
pernah menganggap orang-orang itu sebagai manusia. Maka kemudian, mereka juga
tak akan mendapatkan penghargaan itu –yang juga merupakan kebutuhan mereka-
dari kita. Karena sekali lagi, rasa dihargai itu kita peroleh dari manusia, dan
hanya kita berikan pada manusia.
Sebenarnya,
siapakah yang salah atas ketidakharmonisan di lembaga tersebut? Jawabannya,
bisa jadi dua-duanya. Orang yang minta dihargai tinggi itu mungkin salah.
Orang-orang disekitarnya yang tak memberikannya sebuah penghargaan mungkin juga
bisa disalahkan. Lepas dari siapa yang benar siapa yang salah, keadaan seperti
ini harusnya bisa diatasi. Jangankan orang hebat seperti dia, orang yang tidak
mampu bekerja dan tidak mau diingatkan saja pada akhirnya bisa menjadi pekerja
yang baik. Saya kagum dengan kisah ini. Kisah yang saya dapat dari karangan Dale
Carnegie. Dia menuturkan tentang pengalaman Pamela Dunham dari New Fairfield,
Connecticut. Pam mempunyai tanggung jawab untuk melakukan supervise terhadap
seorang office boy yang mengerjakan tugasnya dengan sangat buruk. Para pegawai
lainnya bahkan mencemooh dan membuang sampah di lorong untuk menunjukkan
kepadanya betapa buruk hasil pekerjaannya. Sungguh keadaan yang sangat tidak
kondusif. Waktu produktif yang harusnya ada menjadi hilang di toko itu. Sesudah
beberapa kali memotivasi, Pam tetap tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Setelah
dia amati dengan teliti, ternyata orang ini tidak selamanya menyelesaikan
pekerjaannya dengan buruk. Ada saat dimana dia mampu melakukan pekerjaannya
dengan sangat baik. Dan Pam mengambil sebuah keputusan, bahwa dia akan memuji orang
ini atas pekerjaannya di depan orang lain. Setelah Pam melakukan hal itu
padanya, setiap hari pekerjaan yang dia lakukan semuanya menjadi lebih baik, dan
dalam waktu cukup singkat dia mulai mengerjakan semua tugasnya dengan
cemerlang. Kini, orang-orang memberinya penghargaan dan pengakuan atas hasil
kerjanya. Penghargaaan yang jujur –walaupun kecil- ternyata berhasil membuat
sebuah perubahan besar, sementara kritik dan cemoohan terbukti tidak memberikan
pengaruh apapun –walau itu besar-.
Maka
prinsipnya, membuat orang berubah menjadi lebih baik dengan cara mengkritik
adalah pekerjaan orang mulia. Namun orang mulia yang cerdas, lebih memilih
pujian sebagai sarananya.
Sekali lagi, pada akhir sebuah adegan, ketika “prajurit” berhasil menguasai “raja”, bukankah itu indah?
Sekali lagi, pada akhir sebuah adegan, ketika “prajurit” berhasil menguasai “raja”, bukankah itu indah?
0 komentar:
Posting Komentar