Semua
memori dan impian-impian itu masih ada, masih belum terkubur, dan bahkan
semakin mencuat. Masih teringet jelas pelajaran Bahasa Indonesia ketika aku
duduk di kelas 2 Sekolah Dasar
“Ayo anak-anak tulis nama kalian dan cita-cita kalian,
kemudian tuliskan juga alasannya kenapa”, intruksi Ibu Poedji ketika mengajar
kala itu.
Mungkin karena ayahku yang seorang
guru atau memang jiwa guru sudah ada dalam diriku, meskipun kawan-kawanku kala
itu menulis berbagai macam profesi seperti polisi, dokter, tentara, insinyur,
dan aku kala itu menulis profesi guru.
Semua masih belum berubah, bahkan
sampai semester 6 ketika duduk dibangku SMA aku masih menulis guru sebagai
impianku. Di papan absensi kelas hampir semua kawan-kawanku menulis UNAIR, UB,
ITS, UGM, UNS, UI dan berbagai universitas lain sebagai tujuan kuliah
selanjutnya, dan aku masih belum merubah impianku karena aku menulis UNESA di
papan itu. Padahal, guruku SMA kala itu bahkan banyak yang menyarankan jadi
dokter daripada aku menjadi guru. Dan banyak pula kawan-kawanku yang menganggap
guru adalah pilihan terakhir mereka. Namun bagiku tak ada hal yang menyenangkan
selain bisa berbicara didepan para murid dan kita begitu diperhatikan, itu saja
yang aku inginkan, tak lebih. Dan kita tahu juga baha ilmu yang diajarkan akan
selalu menjadi amal jariyah meski raga kita telah terpendam didalam tanah.
Mungkin itu motivasi besarku untuk menjadi guru hingga saat ini.
Namun semua berubah ketika aku
hampir memilih Pendidikan Biologi sebagai tujuan kuliahku selanjutnya, namun
ayah ingin sekali putra semata wayangnya jadi seorang dokter. “Sama-sama
pelajaran biologi mbok dicoba pilihan pertama kedokteran dulu Masa iya Cuma anak
dokter yang bisa jadi dokter, anaknya guru juga harus bisa jadi dokter”,nasihat
ayah ketika aku mau memilih jurusan.
Masih teringat pula ketika SNMPTN
undangan aku memilih FK UI sebagai pilihan pertama dan FK UGM sebagai pilihan
selanjutnya, dan sejak saat itu entah mengapa menjadi terlalu obsesif untuk
masuk menjadi mahasiswa kedokteran yang bahkan tak pernah kubayangkan akan jadi
seorang dokter. Tapi takdir memang sudah menjadikanku mahasisa kedokteran, di
UNS. Sempat merasa kayaknya nyasar banget masuk disini, tapi lama-kelamaan aku
bangga dan merasa bahwa memang disinilah tempat terbaikku.
Meski sebentar lagi akan menerima
gelar Sarjana Kedokteran tapi cita-citaku untuk menjadi guru masih belum padam.
Setidaknya kini cita-citaku bisa sedikit upgrade yakni menjadi dosen. Yak
dosen, akan senantiasa aku perjuangkan.
Guru bisa mendidik seseorang menjadi seorang dokter,
polisi, tentara, teknokrat, pengacara, hakim, dan berbagai profesi lain. Namun
tak berlaku sebaliknya karena profesi-proesi tersebut tak bisa mendidik
seseorang menjadi seorang guru. Betapa mulianya guru-guru kita di masa yang
silam?
0 komentar:
Posting Komentar