Rabu, 16 Oktober 2013

Wanita Sederhana


Siapa yang tidak mengenal Bung Tomo. Sekian ratus pasukan kompeni bersenjata lengkap porak poranda karena pria ini. Dialah yang mengharumkan tanah Surabaya dengan darah para mujahid. Dialah yang pertama kali menanamkan image bahwa arek-arek suroboyo adalah pemuda nekat tak takut mati. Hingga munculah istilah bonek. Hingga diperingatilah 10 november sebagai hari pahlawan. Semua atas sumbangsihnya.  Maka jadilah dia besar. Dan dunia menyejarahkan namanya.
Siapa yang tak mengenal Umar bin Khattab. Namanya telah begitu besar sebelum dia masuk islam. Jagoan gulat dari klan bani ‘Adi ini telah memiliki segalanya untuk disebut pria. Gagah, terhormat, kaya, disegani. Dan setelah memeluk islam, lengkaplah semuanya. Lebih dari seperempat dunia tercerahkan oleh islam dibawah kepemimpinannya. Maka jadilah dia menyejarah. Berbondong-bondong orang mempelajari karakternya. Beramai-ramai orang menulis tentang dirinya.
Siapa pula yang tak mengenal Slamet Riyadi. Dua pekan lebih Surakarta bertahan dari kepungan pasukan belanda di bawah komandonya. Tinggal sejengkal mereka masuk, namun selalu gagal. Hingga akhirnya belanda menyerah. Maka dipanggillah Slamet Riyadi, untuk bertemu dengan komandan senior pasukan belanda. Kagetlah bule tua ini. Dan dia menangis. Menangis karena malu. Dia harus menyerah kepada pasukan yang hanya memakai bambu runcing untuk berperang. Dan lebih menyakitkan, dia menyerah pada pemuda ingusan yang baru berusia 22 tahun. Maka harumlah nama Slamet Riyadi. Hingga di tengah kota Surakarta berdiri gagah patung seorang pemuda, dengan pistol di tangan kanan menghadap ke langit luas. Itulah Slamet Riyadi! Dan hingga detik ini, patung itu seolah menularkan semangatnya pada kami, rekan-rekan mahasiswa, untuk turun ke jalan dengan membawa seonggok kebenaran dari sudut pandang kami sebagai pemuda.
Mereka semua melegenda karena jasa-jasanya. Mereka terkenang karena pengorbanannya. Namun adakah yang mengenal wanita dibalik orang-orang hebat itu? Siapa yang mengenal istri Bung Tomo sebaik mereka mengenal suaminya? Siapa yang tahu tentang sosok istri Umar bin Khattab sebesar pengetahuannya pada sosok sang khalifah? Bahkan, siapa yang mengenal dengan jelas istri-istri Rosulullah selain Aisyah dan Khadijah?
Lalu apakah berarti wanita-wanita mulia itu tidak mempunyai peran atas kesuksesan suaminya? Tentu terlalu naïf jika kita berfikir demikian. Namun dari sini kita belajar sebuah kaidah sederhana bahwa: tidak semua orang hebat memerlukan orang yang sehebat dirinya untuk menemaninya dalam berjuang.
Kebanyakan dari mereka justru mempunyai istri yang sangat sederhana dan bersahaja.
Karena biasanya, orang-orang yang sederhana itu mampu menerima orang lain (suaminya) sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Sekali lagi, dia mampu menerima orang lain sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya.  Mereka tidak banyak menuntut. Maka jadilah orang-orang yang mempunyai istri seperti ini, kapasitas mereka akan cepat berkembang. Setahu saya, orang-orang hebat itu pasti pernah melalui perjalanan panjang yang sarat dengan kegagalan. Ketika dia “menyimpan” orang-orang sederhana dibalik perjuangannya dalam menghadapi permasalahan, dia pun akan sangat cepat menemukan berbagai penyelesaian.
Coba kita fikirkan. Ketika pria-pria hebat itu berkutat dengan kegagalan  dan berusaha mencari sebuah solusi, istri yang sederhana ini hadir untuk mengatakan bahwa dia tidak menuntut suaminya menjadi apapun, dia akan selalu setia dengan kondisi sang suami. Maka hadirlah ketenangan itu. Dan dibalik ketenangan inilah, solusi-solusi itu akan datang beriringan. Setelah solusi datang berhamburan, jadilah dia yang paling cemerlang di zamannya. Dia melejit, lalu menjadi pahlawan.
Di sisi yang berbeda, walaupun tidak selamanya, orang-orang yang mempunyai kapasitas tinggi terkadang melihat orang lain dengan cara pandang bahwa mereka harus menjadi seperti apa yang dia inginkan. Atau setidaknya, tidak terlalu jauh dengan kapasitas dirinya. Dan seringkali potensi alamiah seseorang tidak akan berkembang dengan baik saat dia hidup dengan orang seperti ini. Maka orang-orang besar itu biasanya, dia tidak memerlukan istri yang seunggul dirinya. Namun mereka memerlukan istri yang tepat dengan bingkai kepribadiannya. Sekali lagi, mereka tidak butuh yang paling unggul, namun yang paling tepat.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, mari belajar banyak dari istri seorang Buya Hamka. Pernah suatu saat buya hamka diundang untuk mengisi ceramah. Sebelum beliau naik mimbar, sang pembawa acara tiba-tiba mempersilakan istri beliau untuk memberikan ceramah pembuka. Niat yang baik memang. Dia berfikir “kalau suaminya aja penceramah besar, tentu istrinya juga jago ceramah dong”. Tidak ada yang salah dari pemikiran itu. Maka majulah istri buya Hamka. Beliau mengucapkan salam, lalu berkata “Saya tidak bisa ceramah. Saya hanyalah tukang masak dari sang penceramah.”, lalu beliau turun. Sederhana. Dan kesederhanaan itulah yang membuat Hamka menjadi besar.
Tulisan ini hanya melihat dari sudut pandang laki-laki. Sangat memungkinkan untuk dilihat dari sudut pandang sebaliknya. Silakan setuju, sialakan tidak. Semua kesalahan dalam tulisan ini hanyalah karena sempitnya pemahaman saya.

Jumat, 04 Oktober 2013

Pendidikan Afektif Dalam “Lingkaran”

Artikel ini adalah artikel lanjutan dari "Apakah Pendidikan Afektif Memang Sudah Tak Lagi Penting?", yang belum baca silahkan klik disini
Kenapa saya membuat artikel lanjutannya? Karena disini saya tak hanya memaparkan masalah, namun juga menawarkan solusi agar mahasiswa juga turut peran serta mengubahnya. Solusi yang memang benar-benar saya lakukan dan bukan sebuah ide belaka.


Nurani Yang Terketuk
Kalau ditanya solusi apa untuk sistem pendidikan yang ideal untuk menciptakan sumber daya manusia tak hanya pintar dan terampil bekerja namun juga bermoral dan beretika, tentunya kementrian pendidikan lebih meningkatkan upaya perbaikan moral melalui pendidikan formal. Konkretnya seperti apa saya yakin para profesor, pakar, dan ahli di kementrian pendidikan sudah digaji oleh negara memakai uang rakyat untuk memikirkan sistem yang paling pas nantinya. Tugas mahasiswa cuma bisa mengingatakan. Semoga kajian kurikulum yang senantiasa burubah-ubah saat ini adalah bagian proses untuk menuju sistem yang ideal tersebut. Tapi apa saya tinggal diam dengan sistem yang ada sekarang ini? Tentu tidak. Karena saya juga punya porsi untuk andil dalam perubahan ini.
Karena saya cuma mahasiswa dan bukan profesor, maka porsi yang bisa saya ubah pun tak sebesar para profesor, pakar, dan ahli di kementrian pendidikan. Berbekal nurani yang terketuk melihat demoralisasi para pemuda negeri ini saya mau tak mau juga harus turut serta dalam merubah ini semua, tentu saja sesua porsi dan kemampuan saya.

Lingkaran Kos Binaan
Kos Binaan atau yang lebih sering disebut “Kosbin” adalah salah satu program Intelectual Moslem Community (IMC) yang dimanajerisasi oleh Nurul Huda Islamic Center UNS. Sistem ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membentuk karakter mahasiswa. Jadi didalam Kosbin ini ada dua tingkatan mahasiswa yang terlibat, kakak pembina dan adik binaan. Kakak pembina disini memiliki otonomi dan bertanggung jawab terhadap keadaan Kosbin, mulai dari menciptakan sistem didalam Kosbin, menjaga kekeluargaan antar penghuninya, membentuk karakter yang bermoral, membimbing agar adik-adik memiliki academic power yang mumpuni, dan menyiapkan generasi pemimpin dari adik binaannya.
Disinilah nurani saya yang merasa gelisah turut andil untuk mengelola Kosbin, karena sebelumnya saya juga hasil didikan Kosbin. Bermodal soft skills sebagai Presiden BEM FK UNS saya mengajak sejawat saya yang juga Ketua UKM CIMSA UNS untuk menyewa sebuah rumah dengan 11 kamar didalamnya, 2 untuk kami sebagai pembina dan 9 kamar lain untuk adik-adik binaan kami. Khusus untuk kos kami ini hanya diperuntukkan bagi mahasiswa kedokteran bergender laki-laki. Untuk yang perempuan juga ada pengelolanya sendiri, pun untuk tiap fakultas juga memiliki Kosbin masing-masing.
Di lingkaran Kosbin ini pendidikan afektif kami tularkan untuk adik-adik melalui kegiatan kerohanian sehari-hari, mulai dari sholat 5 waktu berjamaah, sholat tahajud, sholat dhuha, mengaji bersama, puasa sunnah, kajian ilmu islam, dan berbagai macam kegiatan rohani lainnya. Selain itu pendidikan afektif tentang manajemen perasaan juga kami tularkan lewat diskusi dan obrolan ringan sehari-hari, menularkan bagaimana bersikap dan beretika, menularkan bagaimana  manajemen diri dan emosi, dan bagaimana cara bermasyarakat yang baik. Tak lupa juga kami juga menularkan soft skills untuk bekal kehidupan mereka sehari-hari mulai dari time management, academic power, team building, leadership, dan berbagai macam bekal lain yang tak mereka dapat di bangku kuliah. Pada dasarnya kami mengkompensasi sistem pendidikan afektif yang tak mereka dapat dari pendidikan formal di kampus melalui pendidikan informal di lingkungan Kosbin. Sayangnya Kosbin seperti ini tak banyak, semoga dalam waktu dekat ini akan lebih banyak mahasiswa-mahasiswa super yang terinspirasi untuk mengelola Kosbin-kosbin yang lain.
Lingkaran Mentoring
Selain memfasilitasi pendidikan afektif adik-adik melalui Kosbin, saya juga berusaha mengkompensasi kebutuhan afektif mereka melalui mentoring. Sistem mentoring yang saya lakukan ini ada dua macam, yang dikelola oleh Biro Asistensi Agama Islam (AAI) UNS dan yang saya kelola dengan inisiatif sendiri dalam bentuk grup diskusi kecil. Mungkin program mentoring ini sudah sering kita temui dibanyak tempat, namun sangat disayangkan kalau mentoring ini hanya sebagai sarana transfer ilmu satu arah dari mentor ke binaannya. Justru mentoring ini apabila dikelola dengan benar bisa menjadi diskusi banyak arah dan sebagai sarana “percepatan kedewasaan”. Kedewasaan ini, sangatlah luas, bisa jadi, kedewasaan dalam keyakinan beragama, kedewasaan dalam berorganisasi dan bermasyarakat, kedewasaan dalam berilmu sesuai pilihan kompetensinya, kedewasaan dalam menyikapi masalah, kedewasaan dalam mengambil keputusan, bahkan kedewasaan dalam bergaul dan mengenal karakter manusia. Disinilah kita bisa mengkompensasi kerongkongan pemuda negeri ini yang haus akan pendidikan afektif.
Didalam lingkaran ini patutnya seorang mentor tak hanya mengajarkan kedewasaan dalam berislam saja, namun juga kedewasaan-kedawasaan lain seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya diatas. Saya coba pahami satu-persatu karakter adik-adik binaan saya, dan mencoba mengembangkan sesuai minat, bakat, dan potensi mereka. Yang memiliki potensi belajar Islam  kita arahkan untuk mengikuti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang cakap berorganisasi kita arahkan terjun di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), yang meiliki bakat menulis kita arakan ke UKM kepenulisan dan peneltian, dll. Namun untuk menjadi mentor yang ideal juga tidaklah mudah, kita sebagai mentor juga harus senantiasa mengupgrade ilmu kita sendiri, tapi yang pasti kita sebagai mahasiswa tak boleh hanya diam dan menunggu perubahan, harus ada peran serta untuk mendidik negeri ini.
Indonesia Masa Depan
Terkadang timbul sedikit penyesalan ketika saya hanya menjadi bagian dari sebuah sistem kecil ini, tapi saya percaya suatu saat nanti saya ataupun adik-adik binaan saya akan punya kesempatan untuk ikut andil dalam perubahan sistem yang lebih besar unuk mewujudkan mimpi besar mebangkitkan gairah negeri ini. Saya terus berharap dan masih yakin bahwa negeri ini tak lama lagi akan bangkit. Tak lain dan tak bukan bangkit karena pemuda-pemudanya yang luar biasa. Pemuda-pemuda yang tak hanya memiliki otak yang cemerlang dan memiliki etos kerja nyata yang baik, namun juga pemuda-pemuda yang berbudi pekerti luhur, bermoral tinggi, berperangai santun, lagi beretika mulia.

Jika Soekarno punya mimpi untuk mengguncangkan dunia dengan 10 pemuda, saya juga punya satu hal yang terus saya tanamkan pada adik-adik ketika kami duduk melingkar bersama “Lingkaran kecil yang kita buat saat ini suatu saat akan melingkari dunia, kita adalah pemuda dan kitalah pemilik masa depan dunia”.