Minggu, 01 September 2013

Apakah Pendidikan Afektif Memang Sudah Tak Lagi Penting?

Realita bangsa kita nampaknya dari masa ke masa terasa semakin getir, bahkan sungguh mata ini tak ingin menatap hiruk-pikuk negeri ini, lidah ini sudah kelu angkat bicara untuk perubahan, namun nurani ini masih ingin gelisah. Terlalunya banyak lini-lini bobrok yang butuh perubahan, atau bahkan yang bobrok itu akan semakin bobrok karena tak lain dan tak bukan “pengubahnya” juga mengalami kebobrokan. Kalau semua bertanya siapa yang paling bertanggung jawab atas semua ini? Saya acungkan mulut, ini tanggung jawab pemudanya!


      Mengutip perkataan salah seorang pemuda yang telah membuat perubahan besar pada masanya,“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Rasa-rasanya itu semua hanya menjadi sebuah omong kosong warisan zaman belaka, bukan masalah pada redakturnya, tapi coba lihat realitanya saat ini. Saya yakin kalau Bung Karno masih hidup pada zaman ini, pasti beliau hanya bisa menangis pilu melihat pemuda bangsanya yang semakin hitam pekat. Apa mungkin bisa 10 pemuda yang cangkruk di angkringan warung kopi itu mengguncangkan dunia dengan obrolan-obrolan payah? Apa mungkin bisa 10 pemuda geng motor itu mengguncangkan dunia dengan suara derum knalpot yang bikin pekak telinga? Apa mungkin bisa 10 pemuda yang tawuran itu mengguncangkan dunia dengan batu-batu dan pentungan kayunya? Apa mungkin bisa 10 pemuda pemakai narkoba mengguncangkan dunia dengan jarum suntik dan penghisap ganja? Apa mungkin bisa 10 pemuda-pemudi yang genap 5 pasang itu sedang pacaran di sudut hotel melati mengguncangkan dunia dengan melahirkan bayi-bayi penggedor bangsa yang orang tuanya saja tak menginginkannya? Maaf kalau pikiran saya terlalu terbelenggu dengan apa yang membungkam panca indera pribadi, tapi inilah realitanya. Mana mungkin ada 10 pemuda yang bisa mengguncangkan dunia kalau moral saja mereka tak punya? Miris!
Pendidikan di Indonesia saat ini
      Benyamin Bloom pada tahun 1956 mengemukakan teori tentang suatu konsep yang membagi ranah kemampuan manusia dalam belajar, atau konsepan ini lebih sering kita dengae sebagai Taksonomi Bloom yang terdiri dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang dicetuskan oleh pendahulu bangsa ini, founding father pendidikan, sebut saja Ki Hajar Dewantara tentang konsepan pribadi beliau yang berbicara masalah “cipta, rasa, dan karsa” yang bahkan sudah muncul sebelum negeri kita merdeka, jauh sebelum tahun 1956 dimana Bloom mengungkapkan hasil pemikirannya. Namun harus kita akui bahwa Taksonomi Bloom ini lebih mendunia karena memang disertai basis data penelitian yang lebih valid. Dan ini menjadi kiblat pendidikan Indonesia saat ini, yakni bagaimana memanipulasi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor untuk menciptakan sumber daya manusia yang lebih baik melalui pendidikan formal.
      Ranah kognitif adalah ranah yang merujuk potensi subjek belajar menyangkut kecerdasan atau intelektualitasnya, seperti kemampuan yang dikuasai maupun cara berpikir. Dalam anah ini, Bloom membaginya ke dalam dua bagian besar, masing-masing adalah pengetahuan dan ketrampilan intelektual.
      Ranah afektif adalah ranah yang mencakup kemampuan menyangkut aspek perasaan dan emosi. Pada ranah ini juga terbagi dalam beberapa bagian yang meliputi aspek penerimaan terhadap lingkungannya, tanggapan atau respon terhadap lingkungan, penghargaan dalam bentuk ekspresi nilai terhadap sesuatu, mengorganisasikan berbagai nilai untuk menemukan pemecahan, serta karakteristik dari nilai-nilai yang menginternalisasi dalam diri.
      Ranah psikomotor adalah ranah yang mencakup kemampuan yang menyangkut ketrampilan fisik dalam mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu, seperti ketrampilan dalam bidang olah raga, penguasaan dalam menjalankan mesin, dan sebagainya.
Korban Sistem Pendidikan
      Saat ini sistem pendidikan negeri kita terlalu terfokus pada disiplin keilmuan yang berorientasi pada menciptakan sumber daya manusia yang pintar dan terampil bekerja. Tentu saja sistem ini juga berimbas pada kemampuan berpikir para manusianya yang terlanjur tertelan oleh sistem ini. Di bangku pendidikan formal kebanyakan guru/dosen tak layaknya hanya seorang pengajar, bukan seorang pendidik. Di sekolah maupun perguruan tinggi, yang saya rasakan adalah, mereka masuk ruang kelas untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang mereka punya untuk para murid/mahasiswanya, memberikan beberapa tambahan melalui simulasi dan praktek, kemudian keluar. Mereka mengajar, digaji, dan pergi. Ya begitulah sistem modern pendidikan yang semakin lama semakin  menjadi sejak meninggalnya Ki Hajar Dewantara, tak heran kalau yang menancap pada anak didik hanyalah ranah kognitif dan psikomotor. Pun sistem penilaian ranah yang dua ini memang pencapainnya lebih mudah diukur dan dinilai. Tak heran makin lama semakin kesini hanya dua ranah itu yang menjadi fokus. Mereka kehilangan keafektifan diri mereka, mereka kehilangan “rasa”dalam batin mereka. Rindu rasanya akan seorang pendidik yang tak hanya mengajarkan ilmu dan praktek saja, namun juga mendidik bagaimana bersikap dan beretika yang baik. Mungkin hanya satu atau dua orang saja dari rasio seratus guru/dosen yang seperti ini, mengasihi anak didiknya seperti mengasihi dirinya sendiri. Mereka tak bersalah, mereka semua termasuk saya pribadi adalah korban sistem.
      Pelajaran agama, kewarganegaraan, dan seni yang mana sangat berpengaruh pada ranah afektif, layaknya mulai dikesampingkan dan ditindih oleh pelajaran exacta. Di pendidikan menengah porsinya hanya 2 atau 3 jam pelajaran per pekan, pelajaran exacta bisa 3-5 kali lebih lama. Di perguruan tinggi dibawah kementrian pendidikan (non-kementrian agama) pelajaran agama hanya dimasukkan dalam mata kuliah dasar yang hanya saya rasakan 2 jam kuliah selama semester pertama saja, selebihnya untuk disipilin keilmuan masing-masing. Dan tambahannya kita hanya bisa mendapat siraman rohani diluar jam kuliah, ini pun tergantung inisiatif individu masing-masing merasa butuh atau tidak. Saya mengakui bahwa DIKTI juga memfasilitasi pembelajaran afektif melalui organisasi kemahasiswaan, lembaga dakwah kampus, pengabdian masyarakat, dll. Namun nampaknya tak ada tolak ukur pencapaian untuk itu, seakan semua kegiatan yang mendukung ranah afektif itu hanya berhukum mubah, ikut silahkan tidak juga silahkan.

Disadari maupun tidak, sistem pendidikan Indonesia saat ini terlalu terfokus untuk menciptakan generasi robot yang hanya siap berpikir dan bekerja Mereka bukan manusia seutuhnya, karena manusia seharusnya punya etika dan perasaan. Pilihannya adalah mau tetap seperti ini atau mau diubah?

1 komentar: