Selasa, 31 Desember 2013

Gonjang-ganjing Dokter Layanan Primer, Masihkah Kita Tetap Diam?

      Rancangan undang-undang tentang pendidikan dokter yang dikaji di tahun 2012 akhirnya pada tanggal 11 Juli 2013 kemarin telah disetujui oleh DPR-RI dan telah diketok palu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi UU No. 20 tahun 2013. Akan tetapi UU ini dirasa masih mengundang kontroversi disana-sini, utamanya tentang kebijakan mengenai dokter layanan primer (DLP).


      Ada beberapa hal yang mungkin harus kita pahami terlebih dahulu tentang latar belakang dibuatnya UU No. 20 tahun 2013 ini, yang pertama adalah akibat pelayanan kedokteran yang belum  merata dan masih terpusat pada kota-kota besar. Berdasarkan  data  Kementerian  Kesehatan  (Kemenkes)  2012,  terungkap  bahwa  dari 9.510  puskesmas  yang  ada  di  Indonesia,  14,7%  di  antaranya  tidak  memiliki  tenaga dokter. Yang kedua, program dokter layanan primer adalah salah satu program kebijakan pemerintah yang disiapkan untuk menyongsong era baru sistem kesehatan di Indonesia, yakni Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang wacananya akan diberlakukan mulai 1 Januari 2014 besok.
      Namun banyak dari kita yang berkecimpung di dunia kedokteran ataupun masyarakat yang belum tahu tentang apa itu dokter layanan primer. Mari coba kita tilik sejenak pasal 8 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2013 yang berbunyi,”Program dokter layanan primer  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  merupakan  kelanjutan  dari  program profesi  Dokter  dan  program  internsip  yang  setara  dengan  program  dokter  spesialis.” Jadi dapat kita simpulkan bahwa dokter  layanan  primer  adalah  sebuah  cabang spesialisasi  baru setingkat dokter spesialis dan subspesialis  dalam  dunia  kedokteran  Indonesia yang ditujukan  untuk  memenuhi kualifikasi  sebagai  pelaku  pada  layanan  kesehatan  tingkat  pertama,  melakukan penapisan  rujukan  tingkat  pertama  ke  tingkat  kedua,  dan  melakukan  kendali  mutu serta kendali biaya sesuai  dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan  nasional.
      Jadi sudah jelas bahwa nantinya dokter layanan primer dan dokter umum sangatlah berbeda, dokter layanan primer jelas memiliki strata yang lebih tinggi setingkat spesialis dan subspesialis karena profesi dokter umum diharuskan menempuh pendidikan dokter layanan primer selama 2 tahun terlebih dahulu sebelum bisa masuk dalam sistem SJSN yang diharapkan pemerintah dapat menutup celah-celah sistem kesehatan yang ada selama ini. Lalu bagaimana nasib dokter umum nantinya? Dokter  umum  masih  bisa  berpraktek  seperti biasa  di  klinik  dan  rumah  sakit  swasta  yang  tidak  tergabung  dalam  SJSN  selama mereka memiliki izin untuk berpraktek. Namun ini akan menjadi tugas besar pemerintah untuk mengkonversikan para dokter umum yang sudah tergabung dalam sistem lama untuk menyiapkan dokter layanan primer di era SJSN nanti.
      Selain masalah dokter layanan primer, muncul lagi masalah kedua yang sudah saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Instutusi pendidikan yang berhak mengkonversikan dokter umum menjadi dokter layanan primer hanya dapat dilakukan oleh institusi pendidikan kedokteran berakreditasi A, atau institusi pendidikan kedokteran berakreditasi B yang bekerjasama dengan institusi pendidikan kedokteran berakreditasi A, seperti yang tertuang pada pasal 8 ayat 1 yang berbunyi,”Program pendidikan dokter layanan primer,  dokter spesialis, subspesialis, dan dokter  gigi  spesialis-subspesialis  hanya  dapat  diselenggarakan  oleh  Fakultas Kedokteran  dan  Fakultas  Kedokteran  Gigi  yang  memiliki  akreditasi  kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi”. Dan kemudian dijelaskan lebih lanjut di pasal 8 ayat 2,”Dalam  hal  mempercepat  terpenuhinya  kebutuhan  dokter  layanan  primer, Fakultas Kedokteran dengan akreditasi kategori tertinggi  sebagaimana dimaksud pada  ayat  (1)  dapat  bekerja  sama  dengan  Fakultas  Kedokteran  yang akreditasinya  setingkat  lebih  rendah  dalam  menjalankan  program  dokter layanan primer.”
      Kenapa ini menjadi masalah besar yang kedua? Karena pada kenyataannya dari 74 institusi pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia saat ini, hanya ada 17 institusi terakreditasi A, 21 institusi terakreditasi B, dan sisanya masih terakreditasi C atau bahkan belum terakreditasi. Otomatis sistem konversi dokter layanan primer ini hanya dapat dilakukan oleh 38 institusi, padahal jumlah dokter umum saat ini kurang lebih 85 ribu. Bisa kita bayangkan sendiri bagaimana ruwetnya sistem kesehatan di negara ini beberapa tahun kedepan. Ironis memang ketika pemerintah menyiapkan suatu kebijakan yang tujuannya memang baik namun beberapa lini yang ada saat ini masih perlu disiapkan lagi. Bagaimana mungkin para dokter umum yang ada saat ini dikonversi untuk menjadi dokter layanan primer namun institusi pendidikan kedokteran yang berfungsi sebagai alat konversi jumlahnya seakan-akan dibatasi.
      Penerawangan awam saya berkata, nampaknya SJSN di tahun 2014 nanti akan belum bisa berjalan maksimal, kemudian agenda MDG’s dan Indonesia Sehat 2015 juga akan mengalami banyak kendala dengan sistem kita yang masih belum stabil saat ini. Paling cepat sistem ini dapat mulai berjalan stabil sekitar tahun 2016. Beberapa minggu lalu DIKTI dan Kementerian Kesehatan melalui sosialisasi teleconfrence juga menyampaikan bahwa UU No. 20 tahun 2013 akan terus dikaji lebih lanjut dan akan dibuat Peraturan Pemerintah serta Peraturan Menteri untuk lebih menegaskan keberjalanannya nanti.
      Sebagai insan manusia yang sudah terlanjur masuk dunia kedokteran dan kesehatan, tentu isu yang ada saat ini akan berdampak besar bagi kita kini maupun nanti. Hal ini dikarenakan undang-undang ini mengatur kegiatan kedokteran dimulai dari pendidikan kedokteran itu sendiri hingga bentuk pelayanan kedokteran di masyarakat. Sangat memprihatinkan apabila masih banyak mahasiswa kedokteran yang masih kurang aware atau bahkan tidak tahu-menahu tentang isu ini. Padahal apabila isu ini dapat dikawal dengan baik, bukan hanya kita yang mendapatkan sisi positifnya, masyarakat, dan negara pun juga akan ikut merasakan dampaknya.
      Dari sini sebuah pertanyaan besar muncul di hadapan kita semua, apakah kita akan berdiam diri saja menanggapi isu yang secara efek global dapat berdampak pada diri kita? Mari kita bersama-sama mengkaji dan mengkawal isu ini. Harapannya agar proses pengawasan dari mahasiswa ke pemerintah dapat berjalan secara maksimal dan hasil yang menjadi tujuan dari UU No 20 tahun 2013 ini dapat tercapai. Salam hangat dari saya, HIDUP MAHASISWA!!!

Sabtu, 28 Desember 2013

Karena Kita Hanyalah Pemimpin Manusia


-..Mereka tidak akan sedikitpun menaruh respek kepada anda saat yang anda berikan kepadanya hanyalah kata “salah”. Seseorang hanya akan memberi respek kepada pribadi yang menarik bagi dirinya. Dan mengatakan “salah” pada orang lain, tidak akan membuat anda menarik dihadapan mereka..-


Tepat beberapa jam yang lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat. Saya duduk di depannya sambil mebolak-balik buku motivasi ber-label national best seller. Saya tertarik pada halaman awal buku ini. Di lembar ucapan terimakasih, sepertinya penulis lupa mengucapkan terimaksih kepada istri tercintanya. Justru di baris paling awal, beliau menuliskan terimakasih pada para kliennya. Ah, bukanlah masalah besar saya fikir. Tapi saya tertarik untuk menceritakan hal ini pada orang di depan saya. Lucu juga sepertinya.

Diluar dugaan, sahabat saya malah mengajak saya untuk mendiskusikan sebuah hal. Kata dia “di satu sisi, orang-orang seperti itu terkadang tidak jauh beda dengan penjilat, bro. Dia ngomong hebat di depan orang banyak, tapi kesehariannya sendiri? Aku yakin dia tak sehebat omongannya”. Pupil saya melebar “maksudnya bro?”.

Lalu dia menceritakan sebuah kejadian. Kami punya seorang kakak tingkat yang sudah pantas disebut sebagai motivator. Jam terbangnya cukup tinggi. Mengisi disana-sini. Suatu saat, sahabat saya ini berada dalam sebuah forum bersama sang motivator. Ada masalah teknis, dimana forum tersebut memerlukan layar LCD. Dan sampai waktu dimulainya acara, layar LCD yang dicari belum ketemu. Ada usulan untuk memakai punggung almari. Karena warnanya coklat, sang motivator ini mengatakan bahwa tampilannya tidak akan terlihat dengan baik. Benar memang. Namun dia hanya usul. Dia hanya bicara, tanpa inisiatif untuk membantu. Itu dia masalahnya. Dan sahabat saya menyimpulkan “kebanyakan orang seperti itu, pribadi mereka tak semenarik omongannya.”

Hmm.. seru juga kata-katanya. Lalu saya mencoba menyampaikan pendapat saya terkait hal ini.

Ada sebuah kekeliruan yang seharusnya tidak dimiliki oleh para pemimpin. Saya katakan bahwa saat anda memilih menjadi orang biasa-biasa saja, hal ini mungkin tidaklah terlalu penting bagi anda. Namun saat anda memilih untuk menjadi pemimpin, perhatikanlah dengan baik satu hal ini. Bahwa anda tidak bisa -atau tidak boleh- mengharapkan kesempurnaan pada orang lain.
Mungkin anda bermasalah dengan cara berdandan sahabat anda yang kurang rapi. Mungkin anda jengkel dengan gaya bicara teman anda yang terlalu kasar. Anda tidak suka dengan sahabat anda yang terlalu banyak bercanda. Anda risih dengan cara berjalan teman anda yang terlalu lembek. Anda emosi dengan hal-hal kecil yang dilakukan orang lain yang tidak sesuai dengan “standart” hidup anda.

Sebagai pemimpin, anda tidak bisa –atau tidak boleh- berlaku demikian. Terimalah fakta bahwa sifat yang paling manusiawi dalam diri manusia adalah berbuat kesalahan. Kesalahan dalam bentuk apapun.

Itu pertama. Kedua, Jangan pernah membenci orang lain karena kebiasaan mereka yang tidak sama dengan kebiasaan kita. Terimalah kenyataan bahwa orang lain punya hak untuk berbeda. Kita boleh tidak sepakat dengan apa yang dilakukan orang lain. Namun kita tidak boleh membenci mereka karena hal itu.

Ketiga, anda harus memahami bahwa, saat anda tidak suka jika orang lain mengatakan “salah” kepada anda, orang lain pun demikian. Mereka tidak akan sedikitpun menaruh respek kepada anda saat yang anda berikan kepadanya hanyalah kata “salah”. Seseorang hanya akan memberi respek kepada pribadi yang menarik bagi dirinya. Dan mengatakan “salah” pada orang lain, tidak akan membuat anda menarik dihadapan mereka.

Begitulah. Jika kita membiarkan fikiran kita menilai orang lain dengan standart kesempurnaan kita sendiri, kita pasti akan menemukan keburukan pada semua orang yang kita temui. Pun sebaliknya, saat kita mengatur fikiran kita untuk berfikir baik tentang orang lain, kita akan menemukan sekian banyak hal menarik dari orang lain, dan itu akan membuat kita semakin dekat dengan mereka. Apa sih yang dibutuhkan pemimpin selain kedekatan dengan orang-orang yang dia pimpin?
Saya fikir, tidak ada. Karena kita bisa mencintai seseorang tanpa memimpinnya. Namun kita tidak bisa memimpin orang lain tanpa mendapatkan cintanya.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk sahabat saya di pesantren. Saya belajar banyak dari anda, bro! mari sama-sama belajar

Kamis, 26 Desember 2013

Merangkai Kata Bahagia


Setengah 6 pagi. Saat tiba-tiba saya terjaga karena berisiknya teriakan seorang kawan. Masih sangat lelah saya rasakan. Semalaman saya melembur pekerjaan yang baru ditugaskan untuk periode setahun kedepan. Namun bagi saya, secapek apapun, harus ada tempat untuk seorang kawan. Karena ketika kita memberikan tempat untuk mereka, artinya kita memberi tempat untuk kebahagiaan.

Setengah sadar saya beranjak dari mushola. Tempat ini memang paling nyaman untuk tidur selepas subuh. Bagaimana dengan hotel berbintang 5? Saya fikir tak lebih nikmat daripada tidur di mushola. Di satu sisi, itu yang saya yakini. Di sisi lain, saya memang belum pernah tidur di hotel berbintang 5. Haha.

Agenda pagi itu adalah main bola. Hampir dua kali seminggu saya main bola. Pertama karena hobi, kedua karena berdasarkan ilmu yang saya pelajari, olahraga itu meningkatkan hormon endorphin, hormon kebahagiaan. Lihat saja yang tidak pernah olahraga, wajah nya pasti tak secerah pecinta olahraga.

Seperti biasa, pekerjaan memeras keringat selalu menghabiskan banyak waktu. Satu setengah jam sudah cukup membuat kami kehabisan nafas. Selesai satu pekerjaan, maksimalkan pekerjaan berikutnya. Begitu kata Allah dalam kitabNya. Maka selepas di lapangan, pertandingan kami lanjutkan ke warung makan. Dan ini tak kalah seru. Karena yang pertama, kami pasti akan mengobral tawa. Kedua, kami akan menjadi guru yang baik bagi si empunya warung. Dan materi yang kami ajarkan adalah tentang kesabaran. “mas, teh anget 1, air putih 1”. Mas-mas yang ramah ini pasti bilang “oke mas”. Tak lupa dia tersenyum, semanis mungkin. Satu jam kemudian, masih dengan senyuman, mas-mas ini pasti bilang “sudah mas?”. Namun bedanya, senyuman kedua ini tidak dicampur gula.

Tak jelas siapa yang memulai, tema pembicaraan kami pagi itu adalah kebahagiaan. Dimulai dari mensyukuri keberadaan kami di pondok, bercerita tentang kekonyolan-kekonyolan yang kami lakukan bersama, dan tentunya, rasa kasihan kami kepada saudara-saudara kami yang tidak pernah merasakan keadaan ‘senikmat’ kami. Kami memang tidak punya banyak mobil untuk dipakai bergantian ke kampus tiap hari, bahkan ada sahabat kami yang tak punya kendaraan lain kecuali kedua kakinya. Ada pula yang harus naik angkot ke kampus karena jarak memang cukup jauh. Kami memang tak punya gadget mahal dengan Operating System yang selalu baru.

Untuk saat ini, kami memang tak punya itu semua. Tapi kami tahu bagaimana cara membuat teman kami tersenyum. Kami tahu apa yang harus kami lakukan saat sahabat kami bersedih. Pun kami tahu bagaimana cara tersenyum saat kami sedang bersedih. Kami tahu apa itu bahagia. Kami tahu bagaimana mendapatkannya, dan bagaimana memberikannya pada sahabat-sahabat kami.
Sampai akhirnya, kami sampai pada sebuah kesimpulan.

Kebahagiaan, adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kebutuhan lain. Kita punya banyak sekali kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan akan pujian, kasih sayang, harta, kekayaan, dan kebutuhan duniawi lainnya. Semua harus terpenuhi. Dan sesuai fitrah manusia, setelah terpenuhi, mereka akan menambah. Setelah bertambah, mereka akan menumpuk. Begitu seterusnya. Kadar kepuasan mereka akan bertambah seiring dengan banyaknya harta yang berhasil mereka kumpulkan.

Namun ketika semua ruang untuk kebutuhan dunia dalam dirinya telah terpenuhi, dan mereka tersadar bahwa ruang kebahagiaan itu ternyata masih kosong, mereka hanya akan mencari cara bagaimana menukar semua yang dia miliki untuk mengisi ruang kosong dalam kehidupannya.     
Kebahagiaan adalah nilai tukar yang harus ada untuk menikmati kebutuhan lain yang telah terpenuhi. Dalam hal harta misalnya. Saat uang kita banyak, hanya kebahagiaan yang bisa membuat kita mengerti bahwa uang banyak itu adalah nikmat. Pun sebaliknya, hanya kebahagiaan yang bisa membuat kita menyadari bahwa uang sedikit itu bukanlah kiamat.

Suatu saat ketika kami juga punya ‘dunia’ semewah itu, kami tak perlu lagi mencari cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Karena saat ini, kami tahu bagaimana caranya.





Selasa, 24 Desember 2013

Pemimpin Dalam Sudut Pandang Pemimpin

      Beberapa minggu lalu saya mendapat undangan dialog bersama tokoh-tokoh nasional, oke saya akan sedikit bercerita tentang hasil dialog tersebut dan cara pandang saya terhadap para pembiacara yang notabene para pemimpin di Negara ini, pun mungkin tak menutup peluang beliau-beliau ini yang akan menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dialog Kebangsaan ini adalah salah satu event yang digagas oleh Pol-Tracking Institute yang diketuai oleh bapak Hanta Yuda MA dan bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS), yang pada kali ini juga menjadi moderator pada Dialog Kebangsaan hari ini.


      Bicara masalah dialog kita pasti bertanya siapa pembicaranya. Pembicara pertama adalah mantan sempalan salah satu pentolan partai kuning yang kini Menjadi Ketua Umum partai Hanura, mantan Menko Polkam tahun 1999-2003. Seorang Jenderal Besar yang mendampingi runtuhnya orde Baru era Soeharto, dan juga orang yang turut serta membangun orde Reformasi di zaman Habibie dan Abdurrahman Wahid, tak lain dan tak bukan adalah Jenderal purnawirawan Dr. Wiranto, SH., MH.
      Pembicara kedua adalah salah satu dari tiga kepala daerah teladan, dimana dua diantaranya  adalah Gubernur Jakarta Joko Widodo dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia periode 2010-2015, dan saat ini juga menjabat di periode keduanya sebagai Gubernur Sulawesi Selatan dengan segudang prestasi yang telah disematkan padanya. Doktor yang menempun semua jenjang pendidikan tingginya di Universitas Hasanuddin ini adalah Dr. Syahrul Yasin Limpo, SH., Msi., MH. Dan pembicara ketiga adalah mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke-2 yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menggantikan Amien Rais di tahun 2004. Pria kelahiran Klaten 8 April 1960 ini adalah Dr. Hidayat Nur Wahid, MA.

      Entah apa yang mendasari Pol-Tracking Institute mengundang ketiga pembicara tersebut, namun logika dangkal saya mengatakan cepat atau lambat orang-orang ini yang juga akan masuk bursa calon manusia nomor satu di negara ini untuk beberapa tahun kedepan.
      Oke setelah ini saya akan cantumkan beberapa poin yang saya catat dari ketiga pembicara tersebut. Yang pertama bapak Wiranto beliau pada awal presentasinya membahas tentang makna perubahan dari berbagai versi mulai definisi menurut beiau sendiri dan menurut buku-buku yang beliau rujuk, nah suatu kebanggan probadi ketika beliau menyebutkan beberapa buku karya Rhenal Kasali PhD, karena 2 diantaranya adalah buka yang saat ini sedang saya baca, yakni Change! dan DNA Recode. Beliau juga merujuk salah satu ayat Quran, surat Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka”. Kemudian beliau memaknai bahwa perubahan itu adalah sebuah keniscahyaan dari Tuhan yang pasti akan selalu ada, namun Tuhan pun tak akan melakukan perubahan karena Dia hanya berlaku sebagai wasit atau penengah, dan yang bertindak mengubah ini semua tak lain dan tak bukan adalah manusianya sendiri. Perubahan adalah keadaan berbeda dengan yang ada saat ini, entah itu lebih baik ataupun lebih buruk, tentunya kita selalu menginginkan perubahan yang lebih baik. Kita tak bisa terus-menerus mengandalkan aset negara yang bisa habis, yang perlu diperbaiki dan diandalkan adalah manusia-manusianya. Yang diubah bukan sistem, tapi manusianya. Negara ini butuh orang yang punya integritas, kompetensi, moralitas, pengetahuan dan, spiritual yang baik untuk menciptakan manusia-manusia luar biasa tersebut. Satu hal terpenting yang harus dikuasai seorang pemimpin adalah berpikir dengan cepat, dan memutuskan dengan tepat.
      Yang kedua saya juga mengutip beberapa kata-kata dari Bapak Gubernur Sulawesi Selatan saat ini, Bapak Syarul Yasin Limpo. Beliau berbicara bahwa tak ada seorangpun yang bisa menjamin perubahan di tahun-tahun mendatang, tapi setiap rakyat harus bisa membawa eksistensi negara ini, bukan hanya presiden tapi semua pihak bertanggung jawab atas kemajuan negara ini. Presiden harus cerdas, tidak spekulati dalam mengambil keputusan dan kapabilitasnya harus sudah teruji serta punya pengalaman memerintah yang baik. Dia harus tau konflik di tataran pemerintahan yang lebih rendah, bukan hanya di tingkat negara.
      Kemudian di paragraf ini saya akan menuliskan beberapa kutipan dari Bapak Hidayat Nurwahid. Beliau berbicara bahwa pemimpin itu bukan tiban, bukan orang yang tiba-tiba jatuh dari langit, tapi pemimpin adalah orang yang benar-benar dicetak, digembleng, dididik puluhan tahun sehingga benar-benar teruji pengalamnnya. Sejarah selalu memberikan bukti bahwa kita berjuang untuk negara ini sendirian, banyak pahlawan-pahlawan yang telah gugur mendahului kita, dan sudah sepantasnya kita melanjutkan semangatnya dalam bentuk perbuatan. Siapapun yang akan memimpin negeri ini demokrasi akan tetap terus berjalan, tapi rakyat juga harus punya visi untuk negara ini, jadi jangan hanya salahkan pemimpin kalau negara ini tak maju. Oleh karena itu kita semua punya kesempatan emas untuk menentukan pemimpin yang lebih baik. Oh ya satu hal lagi pesan beliau yang masih terngiang di benak saya,”Kalau mau jadi pemimpin besar, nikah sama orang Solo seperti Pak Amien Rais, Pak Akbar Tandjung, Pak Tifatul Sembiring, Presiden Soeharto, dan masih banyak lagi yang lain.” Benar-benar ini lelucon sesat yang merasuki pikiran saya.
      Siapapun mereka, apapun yang mereka katakan, setiap dari kita bertanggungjawab untuk menyajikan keadaan negara yang lebih baik. Mari kita bergerak serentak dan mengepakkan sayap Garuda agar ia mampu terbang tinggi kembali!!! Hidup Mahasiswa!!!

Sikap Terbuka Dan Toleran Di Tengah Pluralisme Dakwah Kampus

      Islam adalah satu-satunya agama yang memandang bahwa setiap individunya terlahir sebagai seorang da’i, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Namun demikian, jelas diterangkan di Al-Quran bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin yang berarti Islam adalah agama yang universal dan ditujukan kepada seluruh umat manusia, dan kita sebagai manusia berstatus Muslimin wajib memastikan setiap orang menghirup nafas dakwah yang kita hembuskan.

      Menjadi problematika besar ketika kita harus menegakkan dakwah kampus  di tengah masyarakat mahasiswa yang amat sangat heterogen, heterogenitas disini tidak hanya terbatas pada hubungan interaksi dengan sahabat kita yang beragama lain, namun juga dengan penganut Islam yang lain dimana setiap dari kita memiliki pemahaman yang berbeda dalam beragama. Di sisi lain kita dituntut agar orang lain mengerti dan menganut seruan kita kepada kebaikan, padahal dakwah harus melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijakan, perhatian, dan kesabaran. Dengan kata lain meski kita memiliki pemahaman yang berbeda, dakwah tetap harus dicapai melalui pengertian dan kasih sayang.
Beberapa ayat dalam Al-Quran mengajarkan bahwa Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan, menghendaki adanya versi dakwah yang luas cakupannya, antara lain:
1.      Dakwah harus memecahkan kebutuhan mendasar orang akan jaminan kesejahteraan, karena hal itu sesuai dengan norma-norma keadilan sosial dan kerjasama persaudaraan.
2.      Dakwah harus ditujukan untuk menghidupkan kembali semangat Islam melalui pendidikan yang layak yang menjadikan setiap Muslim duta yang potensial bagi Islam.
3.      Dakwah harus memberi tuntunan bagi umat manusia, menawarkan makna bagi hidup, memajukan solidaritas manusia dan mendorong perubahan sosial.
4.      Dakwah harus dilakukan dalam semangat kebersamaan dan dengan cara bersama-sama, ini yang paling penting.
      Hal pertama yang harus kita sikapi ketika akan berdakwah di masyarakat mahasiswa luas adalah menjauhkan diri dari ekstremisme. Karena ekstremisme (qulluw) secara empatik membahayakan posisi Islam itu sendiri, atau bahkan boleh dibilang bertentangan. Indikasi pertama ekstremisme adalah fanatisme dan sikap tidak toleran terhadap cara beragama mahasiswa lain. Ekstremisme tampak pada mahasiswa yang menolak untuk mengubah pendapatnya dan berpegang teguh pada prasangka serta kekakuan. Keadaan ini terkadang diperparah dengan statement keras yang mengembangkan kecenderungan untuk menuduh orang lain sebagai bid’ah kufur dan sesat. Boleh jadi keberagaman cara beragama yang dilakukan mahasiwa lain disebabkan karena mereka belum paham, mungkin juga mereka sudah paham namun memiliki mazhab atau prinsip yang berbeda. Disini kita harus bisa menyikapinya dengan cara yang terbuka dan fleksibel, komunikasikan dengan cara yang baik.
      Mengutip salah satu kata-kata Abu Ishaq Al-Syatibi di salah satu bukunya Al-I’tisam,”Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring ke arah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-lahan.” Untuk mencegah hal-hal seperti itu, dan untuk menanamkan keseimbangan dalam beragama, penerimaan dan toleransi dalam umat Islam, hal utama yang diperlukan adalah kefektifan dakwah kepada kaum Muslimin sendiri. Karena bagaimana mungkin bisa kita mengajak orang lain untuk mengikuti ideal-ideal Islam seperti tasammuh (toleransi), i’tidal (moderasi) dan ‘adl (keadilan), jika kita sendiri sebagai Muslim tak bisa melakukannya secarah holistik dalam hubungan internal kita.
      Nomor dua yang perlu kita bicarakan ketika berdakwah adalah bagaimana kita bisa berkomunikasi dan berbicara sesuai bahasa kaum yang sedang kita dakwahi, perintah itu jelas sekali tertuang pada Al-Quran. Makna tekstual “sesuai bahasa kaum” disini amatlah luas, disini kita harus bisa paham siapa yang kita ajak bicara, bagaimana karakternya, bagaimana pola pikirnya, serta berbagai hal-hal lain yang kiranya bisa memberikan kita jawaban dan cara agar kita bisa sefrekuensi dengan lawan bicara kita. Karena dakwah yang efektif membutuhkan pendekatan yang berubah-ubah dan metodologi dakwah yang sesuai dengan objek dakwah itu sendiri.
      Memahami arus mendasar pemikiran mahasiswa yang cenderung idealis merupakan modal awal dalam mengkomunikasikan pesan-pesan Islam. Sering kali kurangnya atau tidak memadainya informasi tentang penerima dakwah membuat hasil kerja dakwah masih amat sangat jauh dari kata memuaskan. Itulah sebabnya kita disini harus biasa menyikapi dan tetap menghargai berbagai macam pola pikir tiap individu mahasiswa lain.
      Inilah kiranya beberapa point penting yang bisa saya sampaikan, semoga bisa menjadi titik terang perjalanan dakwah kampus yang kita emban saat ini. Sikap terbuka dan toleran adalah hal mendasar dari semua point-point besar disini. Terus semangat untuk berdakwah dan sajikan perubahan besar untuk diri kita sendiri dan orang-orang disekitar kita. Allahuakbar!!! Hidup Mahasiswa!!!

Kamis, 14 November 2013

Kriteria Seorang Pemimpin Yang Layak Dipilih

      Pemilu maupun musyawarah untuk menentukan pemimpin bukanlah lagi hal yang jarang kita temui di era demokrasi seperti sekarang ini, termasuk kemarin ketika kita harus menetukan pilihan untuk Presiden BEM UNS, kemudian Presiden BEM FK UNS, dan tentunya Presiden RI april tahun depan. Terlepas dari masalah kepresidenan nampaknya pemilihan ketua organisasi mahasiswa juga akan santer isunya di beberapa hari kedepan di Fakultas Kedokteran UNS tercinta ini. Masyarakat maupun mahasiswa luas diberikan kesempatan untuk menilai siapa diantara mereka yang paling wajar dipilih. Al-Quran memberi petunjuk dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam upaya menjawab “Siapakah yang layak kita pilih?”


     Dari celah-celah ayat Al-Quran ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal itu hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.
      “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”, demikian ucapan putri Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam Al-Quran surah Al-Qashash ayat 26.
      Konsideran pengangkatan Yusuf sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir yang disampaikan oleh rajanya dan diabadikan pula oleh Al-Quran adalah: “Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami” (Yusuf:54)
      Ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai Ketua Panitia Pengumpulan Mushaf alasannya pun tidak jauh berbeda: “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasul menulis wahyu”. Bahkan Allah SWT memilih Jibril sebagai pembawa wahyunya, antara lain, karena malaikat ini memiliki sifat kuat lagi terpercaya. “Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati disana (di alam malaikat) lagi dipercaya”. (At-Takwir:19-21)
      Salah satu arti amanat menurut Rasulullah adalah kemampuan atau keahlian dalam jabatan yang akan dipangku: “Amanat terabaikan dan kehancuran akan tiba, bila jabatan diserahkan pada yang tidak mampu”, demikian lebih kurang sabda Nabi. Sahabat Abu Dzar, pernah dinasihati oleh Nabi SAW: “Wahai Abu Dzar, aku melihat engkau lemah. Aku suka untukmu apa aku suka untuk diriku. Karena itu, jangan memimpin (walau) dua orang dan jangan pula menjadi wali bagi harta anak yatim”.
      “Apabila amanat diabaikan, maka nantikanlah kiamat (kehancuran). Mengabaikannya adalah menyerahkan tanggung jawab kepada seseorang yang tidak wajar memikulnya”, demikian salah satu jabaran arti amanat.
      Tidak mudah terhimpun dalam diri seseorang kedua sifat tersebut secara sempurna, tetapi kalaupun harus memilih, maka pilihlah yang paling sedikit kekurangannya, dan lakukan pilihan setelah upaya bersungguh-sungguh untuk mendapatkan yang terbaik. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang dua orang yang dicalonkan untuk memimpin satu pasukan –yang pertama kuat tapi bergelimang dalam dosa dan yang kedua baik keberagamaannya namun lemah– beliau menjawab: “Orang pertama, dosanya dipilkunya sendiri sedangkan kekuatannya mendukung kepentingan umat, dan orang kedua keberagamaannya untuk dirinya, sedangkan kelemahannya menjadi petaka bagi yang dimimpin”. Inilah pertimbangan dalam menetapkan pilihan.
      Anda boleh menetapkan pertimbangan Anda, tapi ingatlah selalu sabda Rasul: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk satu jabatan yang berkaitan dengan urusan masyarakat sedangkan ia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnyaia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan kaum Muslim”

Jabatan Adalah Amanah

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat” (An-Nisa’:58)


      Dalam Al-Quran, ada perintah menunaikan amanat kepada pemiliknya, disusul dengan perintah menetapkan putusan yang adil, kemudian dilanjutkan dengan perintah taat kepada Allah, rasul, dan ulil amr. Ulil amr disini adalah mereka yang memiliki wewenang mengelola urusan masyarakat, atau dalam kata lain kita sering sebut dengan pemerintah.
      Perurutan uraian ayat seperti ini menjadi petunjuk bahwa jabatan serta wewenang kebijakan dan pengelolaan, merupakan amanat yang bersumber dari Allah. Melalui orang banyak atau masyarakat, dan bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih sendiri siapa yang mereka inginkan untuk maksud tersebut. Dan mau tidak mau urusan amanat itu harus bisa kita lakukan dengan sebaik-baiknya, karena sedikit saja kesalahan yang dibuat maka jangan heran itu akan mencelakai banyak orang. Pun pertanggung jawabannya langsung antara kita sebagai orang yang dititipi amanat dengan Sang Pemberi amanat itu sendiri.
      Ketenteraman dan stabilitas adalah harga mati kebutuhan mendasar akan kehidupan bermasyarakat, dan itu semua tidak akan terwujud tanpa ada satu arahan pasti. Disinilah undang-undang dan peraturan bermain peran sehingga setiap seluk beluk kehidupan ini tidak ada yang tidak diatur. Undang-undang konstitusional untuk Islam sendiri tentulah Al-Quran, dimana sifatnya yang boleh saya bilang amat sangat rigid dan tidak mungkin dilakukan tinjauan kembali dan revisi. Di negara ini UUD 1945 menjadi poros utama pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun setiap orang yang mendapat amanat, berarti berhak mengelola undang-undang yang ada agar stabilitas dan ketenteraman itu tercapai. Dari sini, semua masyarakat betapapun kecil dan bersahaja, sadar ataupun tidak, mengangkat penguasanya masing-masing. Dengan demikianlah terlihat kesejalanan ayat diatas dengan logika dan kenyataan masyarakat manusia secara luas.
      Jabatan bukan hak pribadi ataupun turunan, mesi kita sempat melihat handover tahta dari bapak ke anak pada sistem hierarki raja-raja terdahulu. Karena itu jangankan sogok, “hadiah” sekecil apapun yang diterima pemegang amanat yang ada kaitannya dengan jabatan maka itu terlarang untuk diterima. Ketika seorang pejabat pada masa Nabi menerima hadiah dan enggan menyerahkannya pada kas negara, maka Nabi bersabda, “Cobalah dia duduk di rumah ibunya, apakah ia diberi hadiah?”
      Wewenang mengelola adalah sesuatu yang berharga dan bukan sekedar memainkan peran agar skenario terus berjalan sambil dibayar, pun banyak orang yang bilang jabatan adalah hal yang “empuk”, sehingga boleh jadi ada yang salah langkah guna mendapatkannya. Dalam hal ini, Nabi bersabda: “Demi Allah, kami tidak mengangkat sebagai pejabat yang (kasak-kusuk) memintanya”. Beliau juga berpesan: “Jangan kasak-kusuk mencari jabatan karena apabila engkau memperolehnya tanpa kusak-kusuk, engkau akan dibantu Tuhan. Allah menurunkan malaikat mendukung langkahmu”.
     “...... jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang menyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya degan baik”. Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifariyang meinta jabatan kepada beliau.
     Nabi juga bersabda: “Apabila amanat disia-siakan, maka nantikanlah kehancuran”, ketika ditanya: “Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Beliau menjawab: “Apabila wewenang pengelolaan diserahkan kepada yang tidak mampu”.

Rabu, 16 Oktober 2013

Wanita Sederhana


Siapa yang tidak mengenal Bung Tomo. Sekian ratus pasukan kompeni bersenjata lengkap porak poranda karena pria ini. Dialah yang mengharumkan tanah Surabaya dengan darah para mujahid. Dialah yang pertama kali menanamkan image bahwa arek-arek suroboyo adalah pemuda nekat tak takut mati. Hingga munculah istilah bonek. Hingga diperingatilah 10 november sebagai hari pahlawan. Semua atas sumbangsihnya.  Maka jadilah dia besar. Dan dunia menyejarahkan namanya.
Siapa yang tak mengenal Umar bin Khattab. Namanya telah begitu besar sebelum dia masuk islam. Jagoan gulat dari klan bani ‘Adi ini telah memiliki segalanya untuk disebut pria. Gagah, terhormat, kaya, disegani. Dan setelah memeluk islam, lengkaplah semuanya. Lebih dari seperempat dunia tercerahkan oleh islam dibawah kepemimpinannya. Maka jadilah dia menyejarah. Berbondong-bondong orang mempelajari karakternya. Beramai-ramai orang menulis tentang dirinya.
Siapa pula yang tak mengenal Slamet Riyadi. Dua pekan lebih Surakarta bertahan dari kepungan pasukan belanda di bawah komandonya. Tinggal sejengkal mereka masuk, namun selalu gagal. Hingga akhirnya belanda menyerah. Maka dipanggillah Slamet Riyadi, untuk bertemu dengan komandan senior pasukan belanda. Kagetlah bule tua ini. Dan dia menangis. Menangis karena malu. Dia harus menyerah kepada pasukan yang hanya memakai bambu runcing untuk berperang. Dan lebih menyakitkan, dia menyerah pada pemuda ingusan yang baru berusia 22 tahun. Maka harumlah nama Slamet Riyadi. Hingga di tengah kota Surakarta berdiri gagah patung seorang pemuda, dengan pistol di tangan kanan menghadap ke langit luas. Itulah Slamet Riyadi! Dan hingga detik ini, patung itu seolah menularkan semangatnya pada kami, rekan-rekan mahasiswa, untuk turun ke jalan dengan membawa seonggok kebenaran dari sudut pandang kami sebagai pemuda.
Mereka semua melegenda karena jasa-jasanya. Mereka terkenang karena pengorbanannya. Namun adakah yang mengenal wanita dibalik orang-orang hebat itu? Siapa yang mengenal istri Bung Tomo sebaik mereka mengenal suaminya? Siapa yang tahu tentang sosok istri Umar bin Khattab sebesar pengetahuannya pada sosok sang khalifah? Bahkan, siapa yang mengenal dengan jelas istri-istri Rosulullah selain Aisyah dan Khadijah?
Lalu apakah berarti wanita-wanita mulia itu tidak mempunyai peran atas kesuksesan suaminya? Tentu terlalu naïf jika kita berfikir demikian. Namun dari sini kita belajar sebuah kaidah sederhana bahwa: tidak semua orang hebat memerlukan orang yang sehebat dirinya untuk menemaninya dalam berjuang.
Kebanyakan dari mereka justru mempunyai istri yang sangat sederhana dan bersahaja.
Karena biasanya, orang-orang yang sederhana itu mampu menerima orang lain (suaminya) sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Sekali lagi, dia mampu menerima orang lain sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya.  Mereka tidak banyak menuntut. Maka jadilah orang-orang yang mempunyai istri seperti ini, kapasitas mereka akan cepat berkembang. Setahu saya, orang-orang hebat itu pasti pernah melalui perjalanan panjang yang sarat dengan kegagalan. Ketika dia “menyimpan” orang-orang sederhana dibalik perjuangannya dalam menghadapi permasalahan, dia pun akan sangat cepat menemukan berbagai penyelesaian.
Coba kita fikirkan. Ketika pria-pria hebat itu berkutat dengan kegagalan  dan berusaha mencari sebuah solusi, istri yang sederhana ini hadir untuk mengatakan bahwa dia tidak menuntut suaminya menjadi apapun, dia akan selalu setia dengan kondisi sang suami. Maka hadirlah ketenangan itu. Dan dibalik ketenangan inilah, solusi-solusi itu akan datang beriringan. Setelah solusi datang berhamburan, jadilah dia yang paling cemerlang di zamannya. Dia melejit, lalu menjadi pahlawan.
Di sisi yang berbeda, walaupun tidak selamanya, orang-orang yang mempunyai kapasitas tinggi terkadang melihat orang lain dengan cara pandang bahwa mereka harus menjadi seperti apa yang dia inginkan. Atau setidaknya, tidak terlalu jauh dengan kapasitas dirinya. Dan seringkali potensi alamiah seseorang tidak akan berkembang dengan baik saat dia hidup dengan orang seperti ini. Maka orang-orang besar itu biasanya, dia tidak memerlukan istri yang seunggul dirinya. Namun mereka memerlukan istri yang tepat dengan bingkai kepribadiannya. Sekali lagi, mereka tidak butuh yang paling unggul, namun yang paling tepat.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, mari belajar banyak dari istri seorang Buya Hamka. Pernah suatu saat buya hamka diundang untuk mengisi ceramah. Sebelum beliau naik mimbar, sang pembawa acara tiba-tiba mempersilakan istri beliau untuk memberikan ceramah pembuka. Niat yang baik memang. Dia berfikir “kalau suaminya aja penceramah besar, tentu istrinya juga jago ceramah dong”. Tidak ada yang salah dari pemikiran itu. Maka majulah istri buya Hamka. Beliau mengucapkan salam, lalu berkata “Saya tidak bisa ceramah. Saya hanyalah tukang masak dari sang penceramah.”, lalu beliau turun. Sederhana. Dan kesederhanaan itulah yang membuat Hamka menjadi besar.
Tulisan ini hanya melihat dari sudut pandang laki-laki. Sangat memungkinkan untuk dilihat dari sudut pandang sebaliknya. Silakan setuju, sialakan tidak. Semua kesalahan dalam tulisan ini hanyalah karena sempitnya pemahaman saya.

Jumat, 04 Oktober 2013

Pendidikan Afektif Dalam “Lingkaran”

Artikel ini adalah artikel lanjutan dari "Apakah Pendidikan Afektif Memang Sudah Tak Lagi Penting?", yang belum baca silahkan klik disini
Kenapa saya membuat artikel lanjutannya? Karena disini saya tak hanya memaparkan masalah, namun juga menawarkan solusi agar mahasiswa juga turut peran serta mengubahnya. Solusi yang memang benar-benar saya lakukan dan bukan sebuah ide belaka.


Nurani Yang Terketuk
Kalau ditanya solusi apa untuk sistem pendidikan yang ideal untuk menciptakan sumber daya manusia tak hanya pintar dan terampil bekerja namun juga bermoral dan beretika, tentunya kementrian pendidikan lebih meningkatkan upaya perbaikan moral melalui pendidikan formal. Konkretnya seperti apa saya yakin para profesor, pakar, dan ahli di kementrian pendidikan sudah digaji oleh negara memakai uang rakyat untuk memikirkan sistem yang paling pas nantinya. Tugas mahasiswa cuma bisa mengingatakan. Semoga kajian kurikulum yang senantiasa burubah-ubah saat ini adalah bagian proses untuk menuju sistem yang ideal tersebut. Tapi apa saya tinggal diam dengan sistem yang ada sekarang ini? Tentu tidak. Karena saya juga punya porsi untuk andil dalam perubahan ini.
Karena saya cuma mahasiswa dan bukan profesor, maka porsi yang bisa saya ubah pun tak sebesar para profesor, pakar, dan ahli di kementrian pendidikan. Berbekal nurani yang terketuk melihat demoralisasi para pemuda negeri ini saya mau tak mau juga harus turut serta dalam merubah ini semua, tentu saja sesua porsi dan kemampuan saya.

Lingkaran Kos Binaan
Kos Binaan atau yang lebih sering disebut “Kosbin” adalah salah satu program Intelectual Moslem Community (IMC) yang dimanajerisasi oleh Nurul Huda Islamic Center UNS. Sistem ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membentuk karakter mahasiswa. Jadi didalam Kosbin ini ada dua tingkatan mahasiswa yang terlibat, kakak pembina dan adik binaan. Kakak pembina disini memiliki otonomi dan bertanggung jawab terhadap keadaan Kosbin, mulai dari menciptakan sistem didalam Kosbin, menjaga kekeluargaan antar penghuninya, membentuk karakter yang bermoral, membimbing agar adik-adik memiliki academic power yang mumpuni, dan menyiapkan generasi pemimpin dari adik binaannya.
Disinilah nurani saya yang merasa gelisah turut andil untuk mengelola Kosbin, karena sebelumnya saya juga hasil didikan Kosbin. Bermodal soft skills sebagai Presiden BEM FK UNS saya mengajak sejawat saya yang juga Ketua UKM CIMSA UNS untuk menyewa sebuah rumah dengan 11 kamar didalamnya, 2 untuk kami sebagai pembina dan 9 kamar lain untuk adik-adik binaan kami. Khusus untuk kos kami ini hanya diperuntukkan bagi mahasiswa kedokteran bergender laki-laki. Untuk yang perempuan juga ada pengelolanya sendiri, pun untuk tiap fakultas juga memiliki Kosbin masing-masing.
Di lingkaran Kosbin ini pendidikan afektif kami tularkan untuk adik-adik melalui kegiatan kerohanian sehari-hari, mulai dari sholat 5 waktu berjamaah, sholat tahajud, sholat dhuha, mengaji bersama, puasa sunnah, kajian ilmu islam, dan berbagai macam kegiatan rohani lainnya. Selain itu pendidikan afektif tentang manajemen perasaan juga kami tularkan lewat diskusi dan obrolan ringan sehari-hari, menularkan bagaimana bersikap dan beretika, menularkan bagaimana  manajemen diri dan emosi, dan bagaimana cara bermasyarakat yang baik. Tak lupa juga kami juga menularkan soft skills untuk bekal kehidupan mereka sehari-hari mulai dari time management, academic power, team building, leadership, dan berbagai macam bekal lain yang tak mereka dapat di bangku kuliah. Pada dasarnya kami mengkompensasi sistem pendidikan afektif yang tak mereka dapat dari pendidikan formal di kampus melalui pendidikan informal di lingkungan Kosbin. Sayangnya Kosbin seperti ini tak banyak, semoga dalam waktu dekat ini akan lebih banyak mahasiswa-mahasiswa super yang terinspirasi untuk mengelola Kosbin-kosbin yang lain.
Lingkaran Mentoring
Selain memfasilitasi pendidikan afektif adik-adik melalui Kosbin, saya juga berusaha mengkompensasi kebutuhan afektif mereka melalui mentoring. Sistem mentoring yang saya lakukan ini ada dua macam, yang dikelola oleh Biro Asistensi Agama Islam (AAI) UNS dan yang saya kelola dengan inisiatif sendiri dalam bentuk grup diskusi kecil. Mungkin program mentoring ini sudah sering kita temui dibanyak tempat, namun sangat disayangkan kalau mentoring ini hanya sebagai sarana transfer ilmu satu arah dari mentor ke binaannya. Justru mentoring ini apabila dikelola dengan benar bisa menjadi diskusi banyak arah dan sebagai sarana “percepatan kedewasaan”. Kedewasaan ini, sangatlah luas, bisa jadi, kedewasaan dalam keyakinan beragama, kedewasaan dalam berorganisasi dan bermasyarakat, kedewasaan dalam berilmu sesuai pilihan kompetensinya, kedewasaan dalam menyikapi masalah, kedewasaan dalam mengambil keputusan, bahkan kedewasaan dalam bergaul dan mengenal karakter manusia. Disinilah kita bisa mengkompensasi kerongkongan pemuda negeri ini yang haus akan pendidikan afektif.
Didalam lingkaran ini patutnya seorang mentor tak hanya mengajarkan kedewasaan dalam berislam saja, namun juga kedewasaan-kedawasaan lain seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya diatas. Saya coba pahami satu-persatu karakter adik-adik binaan saya, dan mencoba mengembangkan sesuai minat, bakat, dan potensi mereka. Yang memiliki potensi belajar Islam  kita arahkan untuk mengikuti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang cakap berorganisasi kita arahkan terjun di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), yang meiliki bakat menulis kita arakan ke UKM kepenulisan dan peneltian, dll. Namun untuk menjadi mentor yang ideal juga tidaklah mudah, kita sebagai mentor juga harus senantiasa mengupgrade ilmu kita sendiri, tapi yang pasti kita sebagai mahasiswa tak boleh hanya diam dan menunggu perubahan, harus ada peran serta untuk mendidik negeri ini.
Indonesia Masa Depan
Terkadang timbul sedikit penyesalan ketika saya hanya menjadi bagian dari sebuah sistem kecil ini, tapi saya percaya suatu saat nanti saya ataupun adik-adik binaan saya akan punya kesempatan untuk ikut andil dalam perubahan sistem yang lebih besar unuk mewujudkan mimpi besar mebangkitkan gairah negeri ini. Saya terus berharap dan masih yakin bahwa negeri ini tak lama lagi akan bangkit. Tak lain dan tak bukan bangkit karena pemuda-pemudanya yang luar biasa. Pemuda-pemuda yang tak hanya memiliki otak yang cemerlang dan memiliki etos kerja nyata yang baik, namun juga pemuda-pemuda yang berbudi pekerti luhur, bermoral tinggi, berperangai santun, lagi beretika mulia.

Jika Soekarno punya mimpi untuk mengguncangkan dunia dengan 10 pemuda, saya juga punya satu hal yang terus saya tanamkan pada adik-adik ketika kami duduk melingkar bersama “Lingkaran kecil yang kita buat saat ini suatu saat akan melingkari dunia, kita adalah pemuda dan kitalah pemilik masa depan dunia”.

Rabu, 25 September 2013

Kenapa Harus AAI?

Kemarin adalah hari pertama saya bertemu dengan adik-adik binaan AAI, pasti banyak yang berbenak dalam hati. Apaan sih AAI? AAI itu Asistensi Agama Islam, namanya khususon di kampus UNS. Di tempat-tempat lain juga pasti ada pembinaan yang semacam ini, hanya saja dikenal dengan nama yang berbeda-beda, atau lebih umum dikenal dengan mentoring. Nah sebelum kita mulai AAI untuk beberapa waktu kedepan, ada beberapa hal mendasar yang perlu kita pahami bersama, untuk adik-adik yang akan ikut AAI dan juga untuk asisten AAI yang bersangkutan juga. Beberapa contoh kasus saya pelajari dari tulisan orang-orang yang menginspirasi saya selama ini.

Kenapa mahasiswa harus AAI?
AAI adalah salah satu sarana akselerator belajar untuk para mahasiswa, bukan hanya mahasiswa baru, tapi juga mahasiswa yang senantiasa ingin terus belajar menjadi lebih luar biasa. Belajar disini sangatlah luas sekali, pada dasarnya tidak hanya terkungkung belajar tentang agama, namun juga percepatan belajar segala macam ilmu yang disesuaikan dengan kompetensinya. Utamanya juga adalah percepatan kedewasaan, kedewasaan berpikir, bertindak, dan bertanggungjawab.

Kenapa bisa belajar lebih cepat kalau kita AAI?
Pada dasarnya AAI adalah bentuk diskusi terfokus yang didalamnya terdapat inrteraksi-interaksi antar orang-orang yang ada didalamnya. Orang-orang disini tentu saja asisten dan adik mahasiswa yang saling melengkapi keilmuan satu sama lain dengan cara diskusi dan sharing. Melalui diskusi terbuka berbagai arah ini kita akan lebih bisa belajar dan meningkatkan tentang kapasitas berkomunitas. Dan komunitas terbuka inilah yang membuat kita belajar social cognitive melalui pengalaman-pengalaman orang lain dengan lebih cepat. Sudah jelas kan kenapa lebih cepat, karena disini kita memadukan pengetahuan pribadi kita dengan pengetahuan orang lain.

Apa AAI selalu dengan materi?
Pada dasarnya pula kita bisa mengemas bentuk pembelajaran serta muatan yang akan kita ajarkan kepada para adik binaan. Ranah belajar AAI ini ada aspek kognitif dimana kita belajar tentang keilmuan dan segala tentang kegiatan yang berhubungan dengan akademik. Kemudian belajar pula aspek afektif tentang bagaimana memanaje perasaan, bertindak sesuai etika, dan berinteraksi dengan orang lain. Lalu kita juga belajar aspek psikomotor melalui kegiatan olahraga atau rihlah bersama. Dan sebenarnya tidak hanya materi agama saja yang bisa kita tanamkan disini, tapi segala macam disiplin ilmu bisa kita selipkan sebagai suplemen tambahan. Bahkan jauh lebih penting kita bisa mengajarkan bagaimana pula cara belajar untuk adik-adik binaan, karena memberi materi saja ibarat kita hanya memberikan ikan yang kemudian mereka olah dan langsung disantap. Berbeda ketika kita bisa memberikan mereka kail dan mengajarkan cara memancing, itu jauh lebih mujarab menurut saya. Disinilah peran asisten sangat krusial agar keberjalanan AAI senantiasa dinamis dan tidak membosankan.

Emang AAI bisa bikin kita sukses?
Diskusi yang tersegmentasi mengajarkan kita fokus untuk mempelajari akan suatu disiplin ilmu dan otomatis akan saling melengkapi. Berbeda dengan kita belajar otodidak dengan kemampuan pribadi, karena hakikatnya dari interaksi-interaksi inilah kita belajar lebih cepat. Dengan belajar lebih cepat otomatis kita sampai pada titik kesuksesan lebih cepat pula. Apalagi di usia yang masih tergolong muda ini, diskusi kecil saja bisa membuat sejarah besar. Masih tidak percaya? Coba kita tengok masa muda orang-orang yang menyejarah.
HOS Cokroaminoto adalah salah satu asisten AAI tersukses pada zamannya dulu, dia mempunyai 5 orang binaan yang memang sangat luar biasa. Siapa tak kenal tokoh Partai Komunis Indonesia atas nama Semaoen, Alimin, dan Muso? Mereka bertiga adalah pelopor berdirinya PKI, Semaoen dengan basis masa besarnya di Madiun, Alimin dengan konsep-konsep besarnya sebagai project manager PKI, dan Muso sebagai proklamator “Republik Soviet Indonesia”. Kemudian Kartosuwiryo dengan pemikiran Negara Islam Indonesia (NII) yang bahkan sampai saat ini masih beberapa kali kita dengar kasusnya. Meski akhirnya mereka berempat tewas atas hukuman yang diperintahkan oleh kawannya sendiri Soekarno, sang nasionalis. Tak banyak tahu bahwa mereka berlima dahulu adalah binaan yang sekaligus tinggal di kost milik HOS Cokroaminoto. Meski akhirnya mereka memilih jalannya masing-masing, tapi paling tidak pendiri Sarikat Islam (SI) ini, telah menjadi asisten AAI yang baik dengan melahirkan pemikir-pemikir besar kala itu.
Bediuzzaman Said Nursi, pemimpin Harokah Islamiyah dari Turki yang dengan keras menentang sekulerisme Kemal Pasha, dengan jamaahnya, Jamaah Nur, dan risalahnya, Risalah Nuriyah, punya kader yang masih dalam mentoringnya langsung, yaitu Prof. Dr. Necmettin Erbakan. Erbakan adalah Perdana Menteri Turki tahun 1996-1997 dengan mobil politik Partai Refah. Namun dalam pertengahan masa emasnya di Pemerintahan ia harus digulingkan dan digantikan oleh Tanshu Ciller, dan hingga akhir hayatnya Erbakan dilarang terjun ke politik oleh mahkamah konstitusi. Namun, Erbakan ini punya 11 binaan yang dipersiapkan untuk terjun ke politik praktis untuk mengemban rencana strategisnya yang belum terwujud, dan 2 diantaranya adalah Abdullah Gul yang sejak tahun 2007 hingga sekarang menjabat sebagai Presiden Turki dan Recep Thayyip Erdogan yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Turki. Mereka berdualah yang membesarkan Partai Refah pasca Erbakan tak berdaya didunia politik. Kemudian beberapa tahun setelah Refah dibubarkan mereka burdua pula yang membentuk partai baru, Partai Keadilan dan Pembangunan yang kini merajai kursi parlemen Turki.
Lalu kita coba melompat ke kabinet ketujuh Presiden Soeharto, mungkin kita sudah tak asing lagi mendengar nama Faisal Tanjung (Menko Polkam), Haryono Suyono (Menko Kesra), Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin/ Ketua Bappenas), dan Hartarto (Menko Pengawasan Pembangunan dan Penertiban Aparatur Negara). Mereka semua adalah kader-kader Golkar binaan Soeharto. Lalu coba kita tilik para binaan Ginandjar Kartasasmita yang lebih sering kita dengar “The Ginandjar Boys”, yang terdiri dari Pengusaha kaya raya Aburizal Bakrie, Pendiri Liga Premier Indonesia Arifin Panigoro, Pengusaha kaya serta pemrakarsa stasiun TV swasta Lativi atas nama Abdul Latief, dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, serta beberapa nama besar yang amat sangat banyak sekali. Mereka adalah kader-kader partai Golkar yang memang sejak dari ITB telah digadang-gadang oleh Ginandjar bakal dipetakan di beberapa sektor riil Republik ini.
Itu tadi baru beberapa contoh interaksi dari kakak pembina dan adik binaan yang notabene mereka semua bukan orang-orang biasa. Sudah paham dengan yang saya maksud belajar lebih cepat disini? Atau mau contoh yang lebih konkret lagi kenapa AAI bisa bikin kita sukses?

Percepatan belajar yang lebih konkret dan kuantitatif ada gak?
Percepatan belajar “ilmu”. Disini kita bisa sharing dengan orang lain tentang bagaimana cara belajar, atau mungkin bagaimana membahas tentang problem-problem dunia akademik dan perkuliahan. Bisa mungkin kita berkunjung kerumah seorang dosen lalu mengajaknya berdiskusi, atau paling tidak ngobrol dengan senior kita yang sudah lebih jauh berpengalaman. Ambil dan curi semua ilmunya, disitulah kita belajar lebih cepat untuk berilmu.
Percepatan belajar “psikologis”. Melalui forum yang berisi banyak orang kita bisa belajar bagaimana untuk dewasa menyikapi heterogenitas siat-sifat orang lain, ada yang egois, agresi, introvert, dan berbagai macam sifat-sifat lainnya, kemudian belajar pula bagaimana menyikapi keberagaman karakter tiap orang tesebut. Dengan banyak berinteraksi pula relasi dan kedekatan kita dengan orang lain akan semakin luas, kesempatan berkembang pun juga akan semakin luas lagi.
Percepatan belajar “bisnis”. Kita juga bisa berdisksi tentang bisnis dilingkaran ini, berdiskusi bagaimana bermarketing, bagaimana mencari mangsa pasar, bagaimana mengelola manajemen. Tak jauh beda dengan yang saya ceritakan diatas tentang The Ginandjar Boys, mereka membangun percepatan bisnis juga melalui forum informal ini.
Percepatan belajar “Islam”. Tentu saja dalam AAI ini kita akan lebih paham dan mengerti tentang agama yang kita anut ini. Diskusi dan interaksi terbuka akan lebih mengajarkan kita betapa generalnya agama kita yang sangat luar bisa ini, jadi kita tidak terkungkung dalam kefanatikan. Islam adalah agama yang progresif dan selalu bisa menyesuaikan diri di berbagai zaman, untuk itulah kita juga dituntut belajar terus tentang perkembangan Islam.
Masih belum berminat ikut AAI? Sini boleh kok dateng dan diskusi sama saya, mari belajar bersama.

Rabu, 18 September 2013

Lebih Dari Sekedar Berkurangnya Usia

Hari ini bukan hari senin yang berbeda bagiku, masih dengan hari senin yang seperti biasanya dimana Skills Lab dan diskusi tutorial telah menanti beberapa jam lagi. Masih berkutat dengan BRK dan blog tutorial bekas pastinya. Mungkit ada sedikit pembeda karena sejak pukul 00.00 beberapa SMS bersahutan berebut masuk kedalam ponselku, dan juga tadi pagi sekitar pukul 03.40 keluargaku dirumah menelpon, beberapa ucap kata dari orang tuaku yang begitu mengharukan. Orang tua dimana-mana sama, sayang sekali terhadap anaknya dan berharap anaknya bisa memberikan yang terbaik untuk mereka kelak, begitupun orang tuaku dengan berjuta ekspektasi hidup yang menggantung dipundakku. Maklum, aku tahu aku satu-satunya harapan mereka, semua beban pembuktian ada di aku jadi tak heran beliau berdua begitu menyayangiku.
Sampai dikampus masih dengan ponsel yang terus bergetar, kadang bingung mau membalas seperti apa, bagitu mengharukan membaca puluhan SMS yang masuk pagi ini. Tak mau kalah ramai di media kicau 140 karakter burung-burung milik kawanku pun berkicau merdu di kolom mention, momen-momen seperi ini selalu membuatku haru. Belum lagi ucapan-ucapan langsung dari setiap orang yang lewat, dari para calon sejawatku di kampus. Ya pagi ini dimulai dengan Skills Lab pemeriksaan THT dan dilanjutkan dengan diskusi tutorial di ruang 7, seusai sesi diskusi aku diboyong keruang sebelah, ruang 6. Sejawat tutorialku tahun kedua sudah berbaris rapi menyusun semua kisah ini, Diva, Gaby, Desy, Sheila, Dina, Naila, dan Ata yang sudah menyiapkan hal baru hari ini untukku, Arifa, dan Sani. Kue tart coklat penuh krim dan kepingan coklat yang siap menggagalkan program dietku hari ini. Ditambah dengan angka 60 yang berarti penjumlahan usia kami bertiga. Mereka begitu baik, rela mengingat hari ini meski masih banyak materi akademik yang juga harus mereka ingat, padahal aku sendiri terkadang lupa hari jadi mereka kalau tak ditandai dengan brownies Amanda di meja tutorial mungkin aku tak pernah ingat hari itu hari bahagianya.

Sholat dhuhur siang ini di kampus pun terasa sedikit berbeda, masih dengan jabat tangan dan ucap doa ditempat wudhu, bahkan beberapa dari mereka aku tak tahu, namun tetap haru masih menyelimuti dan bertanya dalam hati, apakah sebegitu banyak orang yang menyayangiku?
Selain pengulangan ucap selamat dan doa hari ini banyak yang bertanya pula padaku,”eh ‘dia’ udah ngucapin belum?”. Pertanyaan yang sulit dijawab, bukan berarti aku tak mau menjawab hanya saja bingung siapa yang mereka maksud dengan ‘dia’. Begitulah namanya hari jadi, pasti ada saja momen yang dikaitkan dengan jodoh, itu yang kupahami. Pertanyaan yang muncul disekitar hari jadi juga tak pernah jauh dari masalah asmara, dulu waktu SMA selalu dengan pertanyaan ”Ciee yang lagi ultah, kapan punya pacar baru?” dan sekarang kuliahpun masih dengan pertanyaan yang hampir sama “Ciee yang lagi ultah, kapan nikah?”. Pertanyaan sesat di hari paling menyesatkan bagiku, selalu mikir kalau ditanya yang kayak begini. Ya boleh jadi mungkin aku menanti beberapa ucapan dari beberapa orang, tapi bagiku tak ada pun tak masalah sebenarnya.
Sore ini ada dua rapat besar, rapat besar baksos Scalleni dan rapat besar Osmaru Fakultas. Sejenak aku bergabung dengan kawan-kawan sejawat satu angkatan lalu berlanjut menuju kampus mesen untuk bergabung dengan keluargaku yang lain di BEM. Rapat sore ini sedikit tegang dengan posisi acara yang kurang dari 1 minggu lagi, sedikit tegang namun so far so good, BEM bagiku memang benar-benar super team organisasi disini. Eh tiba ada momen-momen aku maju kedepan di suguhi kue-kue unyil dengan lilin yang susah sekali dimatikan. Entah lilin apa yang dipakai ini, setelah mati nyala apinya bisa hidup lagi, ah jadi ingat kawan-kawan di BEM, padam sejenak namun selalu membara kembali, semangat juang mahasiswa yang tak pernah padam. Disini aku benar-benar dipaksa untuk menahan semua air mata tumpah, speechless dengan semua kejadia di ruang serba guna kampus mesen ini. Beberapa patah kata untuk keluarga harmonisku nampaknya hanya secuil ungkapan yang keluar dari hati, masih banyak yang mengganjal dan tak terungkapkan.

Masih belum puas membuatku menahan air mata yang akan keluar, ternyata mereka masih membedakiku dengan tepung dn air. Kulitku yang sudah putih ini jadi semakin putih yang tak berarti membuatku semakin terlihat cakep, terlihat tak karuan lebih tepatnya. Tapi bagiku ini adalah tepung cinta dan air kasih sayang dari mereka.

Malam ini aku ingin tidur sejenak menikmati segala lelah hari ini, senang sekali rasanya melihat momen-momen yang berarti dalam hidupku.
Pagi menjelang, seperti rutinitas biasanya hari selasa ini ada kuliah. Dan seperti biasanya di kamar mandi aku harus menghabiskan satu album lagu Afgan. Baru sempat menyanyikan dua lagu, terdengar ketuk pintu yang suaranya tak asing lagi bagiku, Bima, cowok paling macho nomor dua dikelompok tutorial setelah aku. Benar-benar menganggu sesi rekamanku pagi ini. Demi menuruti permintannya aku segera berganti pakaian dan keluar, sedikit curiga. Nah ternyata kecurigaanku benar, aku telah membuat kejutan untuk orang-orang yang akan mengejutkanku, tak lain dan tak bukan Bima sendiri lah otak dari semua skenario ini. Tapi bagiku mereka tetap manis dengan skenario miris pagi ini. Ingin menangis haru namun hanya bisa mringis melihat kekocakan pagi ini. Ah tapi terima kasih banyak untuk semua momen dan tumpeng nasi kuning yang telah kalian persiapkan, para rekan sejawat. Bima dengan skenario gagalnya, Indah dengan omelan-omelannya ke Bima pagi ini, Medita yang dengan polosnya, Omi yang paling kayak ibu-ibu, Dyon yang udah merelakan dateng kuliah telat, Ais dengan kesesatan obrolannya, Vici yang gak bisa berhenti ngomong kecuali udah ada nasi dimulutnya, Azah yang gak mau minum es teh pagi ini, Ayu yang udah makan banyak tapi tetap kurang gizi, dan Fika yang pagi ini masih ada kesibukan lain. Yang pasti kalian semua luar biasa, manis banget.

Terima kasih untuk orang-orang yang telah menyayangiku, bahkan aku disini tak pernah peduli dengan tanggal 9 September ini. Tapi kalian masih peduli, masih mau mengingat. Meski usia yang berkurang dan kematian yang makin dekat menghampiri, tapi kasih sayang kalian akan tetap terasa sampai aku mati.