Minggu, 20 April 2014

Elektabilitas : Pertaruhan Antara Kredibilitas dan Popularitas

      Menjelang pemilu tahun 2014 ini nampaknya internet menjadi salah satu senjata ampuh yang digunakan untuk perang media. Perkembangan teknologi komunikasi makin tahun dirasakan semakin pesat. Terutama  dengan  munculnya  media  sosial  yang memfasilitasi  masyarakat  dalam  mengakses informasi dan jejaring sosial. Jejaring sosial inilah yang  kemudian  dimanfaatkan oleh  para kandidat politik  untuk  mendapatkan  dukungan  dari masyarakat  yang  sudah  melek  media  dan  sering bersikap kritis terhadap sebuah permasalahan. Pada praktiknya hal tersebut tidak akan mudah karena muncul isu ataupun wacana baru yang lebih dikenal dengan seduksi politik yakni kecenderungan politik di dunia virtual
      Akhir-akhir ini kita melihat banyak sekali rilis tentang data indeks korupsi partai peserta pemilu yang bertujuan memberikan gambaran profil partai kepada masyarakat luas melalui media online. Salah satu lembaga yang melakukan kajian dan rilis data yang paling sering muncul adalah @KPKwatch_RI. Lembaga ini memaparkan indekskorupsi partai mulai tahun 2002-2014 yang datanya diperoleh dari Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui website antikorupsi.org, serta beberapa website online lain seperti, polri.go.id, mahkamahagung.go.id, inokorupsi.com, kpk.go.id, korupedia.org, dan kejaksaan.go.id. Beberapa kali rilis data yang dilakukan @KPKwatch_RI mencantumkan logo ICW, tentu saja ini menimbulkan banyak sekali pertentangan. Bahkan ICW sendiri melalui akun twitternya @SahabatICW membantah rilis berita itu dilakukan oleh ICW, namun ternyata memang itu adalah data-data yang dikumpulkan @KPKwatch_RI dan dibuat hasil analisis, etika yang kurang pas adalah ketika @KPKwatch_RI mencantumkan logo ICW yang otomotis menimbulkan banyak opini publik. Masyarakat menilai bahwa data tersebut dikaji dan dirilis oleh ICW, namun ternyata ICW hanya menjadi rujukan data mentah yang digunakan @KPKwatch_RI. Setelah klarifikasi ulang ternyata @KPKwatch_RI melakukan kajian data dengan cara seperti ini:
  1. Buka website ICW antikorupsi.org, di situ ada “Search” dan “Dokumen”.
  2. Kemudian Download data ICW yang ada di menu “Dokumen”.
  3. Ada menu “Search” yang bisa kita isi dengan 2 suku kata, maka siapkan kata pencarian 2 suku kata tersebut untuk mencari kasus korupsi pada periode tersebut. Contoh: kita search dengan kata “Bupati Korupsi”, maka akan didapat puluhan berita bupati korupsi. Coba search dengan kata “Korupsi APBD” akan muncul puluhan link berita korupsi.
  4. Kemudian catat Nama, Jabatan, Kerugian negara, Kasus, Partai, Status yang ada di link hasil pencarian tersebut.
  5. Kemudian pisahkan berdasarkan partai, sehingga jelas hasilnya, seperti grafik dan tabel di sini.
  6. Ricek kembali nama-nama tersebut di website berita online lain untuk keakuratan data.
  7. Dari ribuan berita kasus korupsi, di dapatkan 300an nama kader parpol tersangkut. Setelah dipisahkan didapatkan hasilnya seperti ini.
  8. Selanjutnya dikembangkan dalam bentuk tabel atau grafik.
  9. Kelemahan, ada sekitar 1-2% data yang mungkin tidak masuk, atau seharusnya tidak masuk. Sangat mungkin ada nama misal: A mendapat vonis/status tersangka. Dalam prosesnya dibebaskan hakim, namun tidak diberitakan media. Jika terjadi hal demikian, mereka segera melakukan klarifikasi pemulihan.
      Demikianlah cara @KPKwatch_RI melakukan kajian data dan rilis kepada publik mengenai indeks korupsi partai. Saya belum tahu pasti siapa pemilik akun @KPKwatch_RI tersebut. Yang pasti itu bukan lembaga pemerintah resmi dan juga bukan lembaga nirlaba yang memang diakui kredibilitasnya seperti ICW.
Beberapa opini publik mengatakan bahwa @KPKwatch_RI adalah akun komersil buatan salah satu partai tertentu yang bertujuan mendongkrak nama baik partai-partai tertentu dan menjatuhkan nama baik beberapa partai yang lain
      Opini publik yang lain memaparkan mungkin hasil rilis data tersebut memang hampir mirip dengan fakta dilapangan. Karena memang secara logika awam cara kajian yang dilakukan oleh @KPKwatch_RI bisa dipertanggungjawabkan prosedurnya, namun untuk validitas data saya rasa kita belum bisa mempercayai sepenuhnya. Kalaupun memang data-data tersebut otentik dan valid tentu saja itu menjadi salah satu cara mencerdaskan masyarakat untuk menentukan pilihan pada pemilu 2014 melalui media masa online.
      Permasalahan yang perlu dijawab selanjutnya, andaikan memang data-data tersebut valid mengapa bisa terjadi partai-partai dengan indeks korupsi tinggi tetap memiliki tingkat elektabilitas tinggi di mata calon pemilih. Bukan malah turun elektabilitasnya, bahkan beberapa partai malah naik prosentase elektabilitasnya. Kira-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi elektabilitas partai, mungkin akan saya coba bahas beberapa.
Penyebab yang pertama adalah prosentase jumlah kader partai yang duduk di kursi wakil rakyat linear dengan jumlah kader yang terlibat korupsi. Itulah yang menyebabkan partai-partai besar jauh lebih banyak terlibat kasus korupsi. Kader-kader partai besar banyak sekali yang duduk di kursi DPR, DPD, dan DPR-D. Bahkan terkadang partai besar bias menguasai kurang lebih 15-20% kursi wakil rakyat, bahkan kadang lebih dari 20% kursi, otomatis dengan jumlah yang besar probabilitas kasus korupsinya pun juga meningkat. Begitu juga sebaliknya, apabila sebuah partai kecil dimana hanya sedikit kader partai yang duduk di kursi wakil rakyat otomatis probabilitas kejadian korupsinya juga makin kecil. Tentunya ini juga menjadi tanggungjawab partai besar untuk tidak hanya bersaing dalam perebutan kursi namun juga harus bersaing dalam tanggungjawab moral kader partainya.
      Penyebab yang kedua adalah, bahwa ternyata elektabilitas tidak berkorelasi dengan kredibilitas, dan malah justru jauh terpengaruh oleh popularitas. Iklan politik melalui televise sebagai sarana untuk mempromosikan figure dan performa baik partai politik maupun capres/cawapres. Partai dengan capres/cawapres populis cenderung memiliki elektabilitas tinggi. Secara tidak langsung menawarkan program kerja, misi, visi, dan janji politik lainnya yang berimbas pada perbaikan citra, popularitas, dan elektabilitas. Hal ini merupakan bagian dinamika politik yang layak untuk dibahas/dikaji. Hasilnya, menunjukkan bahwa iklan politik bias berdampak positif atau negative terhadap masyarakat,  tergantung dari frekuensi penayangan atau terpaan medianya, kualitas dan kuantitas iklan dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya,  serta sikap dan apresiasi politik.  Iklan politik berpengaruh terhadap efek kognitif.  Jika popularitas bias diraih lewat iklan politik,  maka dengan bermodalkan popularitas akan memperoleh elektabilitas, anggapan seperti ini dapat dibenarkan karena memang peluangnya besar tapi tidak mutlak.
       Penyebab yang ketiga menurut saya adalah masalah kekuatan partai yang dipengaruhi oleh sokongan dana. Semakin besar modal partai mereka jadi lebih bias membeli media dan menanamkan opini positif tentang partainya. Saat ini partai politik melalui media  massa dalam menghadapi Pemilu telah melakukan berbagai kegiatan baik secara terselubung atau terang-terangan.  Pesan politik dikemas dan ditayangkan dalam berbagai  media elektronik seperti di televise baik berupa iklan atau acara talk  show,  yang  dipandu langsung oleh host/penyiar dari stasiun televise penyelenggara. Penayangan iklan dan acara  talk show di televisi dianggap lebih efektif oleh partai politik dalam menyebarkan pesan kemasyarakat. Selain itu beberapa partai politik usut punya usut juga aktif memberdayakan simpatisan partainya untuk mendapatkan survey elektabilitas yang juga nanti berimbas untuk membentuk opini masyarakat. Dengan kata lain survey elektabilitas disini juga bias dibeli dengan tujuan mengarahkan opini publik untuk memilih partainya yang punya elektabilitas tinggi.
      Dan semua terjawab dengan hasil quick count pasca pemilu legislatif 9 April 2014 kemarin, dengan beragam "EFFECT" yang dibuat partai politik melalui figur populis ternyata terbukti sangat efektif meningkatkan perolehan suara. Dan sekali lagi terbukti bahwa popularitas bertengger lebih tinggi diatas kredibilitas untuk menuai elektabilitas.

Jumat, 18 April 2014

Anda. Titik.

Bercerita itu butuh teknik. Setidaknya agar cerita anda enak didengar. Setidaknya pula, agar orang tidak mengira bahwa anda sedang mengigau. Intonasinya harus pas. Tepat, mantap. Gesture tubuhnya harus menarik. Tangannya bergerak-gerak, dan kalau perlu, tubuhnya meliuk-liuk lincah. Sorot matanya tajam, tatapannya berganti-ganti. Raut mukanya harus sesuai. Jangan sampai saat cerita sedih, anda malah nyengar-nyengir sendiri. Aneh jadinya. Kata orang solo, wagu tenan.  Tapi itu semua, susah. Saya akui saya paling tidak bisa bercerita dengan gaya atraktif seperti itu. Saya penah mencobanya. Dan itu gagal. Total. Walaupun saya punya teman dekat juara mendongeng se-surakarta, tapi rasanya itu tak berarti banyak dalam masalah yang satu ini. Haha.
Kata stephen covey, sesuatu yang tidak bisa anda kendalikan, lupakan saja. Nah ini. Dalam beberapa hal , saya tidak terlalu sepakat dengan apa yang dia katakan. Tapi untuk masalah ini, sepertinya dia cukup benar. Saya mulai pusing memikirkan bagaimana saya bisa mengembangkan kemampuan saya dalam bercerita. Saya ingin menjadi pembicara hebat. Tentu kemampuan bercerita yang mumpuni menjadi sangat penting, right?
Selalu ada seribu jalan untuk melamar anak pak lurah! Asal anda tidak menyerah, saya yakin pak lurah bakal bilang “terserah”! hahaha. Saya baru menyadari sebuah fakta yang paling umum diantara kita. Orang cantik itu banyak. Ya kan? Itu fakta pertama. Fakta kedua, dua orang yang sama-sama cantik, dia tidak harus memiliki paras yang benar-benar sama persis. Bahkan berbeda sekali pun tidaklah mengapa. Ibunda aisyah cantik, fatimah putri rosul pun cantik juga. Paras mereka berbeda, tapi mereka sama-sama cantik. Jadi intinya, nggak penting mau ukuran hidung kita semancung apa, warna kulit kita seputih apa, mata kita sebulat apa. Yang penting, cantik. Iya kan? Lihat saja saya. Lihat baik-baik foto dibawah ini. Sudah? Nah sekarang, bandingkan dengan brad pitt. Bagaimana? Walaupun bentuk mata dan dagu berbeda, tapi tetap sama kan? Iya, sama kok. Serius nih? iya, serius. Yak, terimakasih banyak, kawan-kawan. Kejujuran anda memang tak perlu disangsikan lagi.

Dari fakta sederhana itu saya belajar sebuah kaidah: metode seperti apapun, cara penyampaian bagaimanapun, asal anda bisa menunjukkan bahwa yang anda sampaikan itu sesuatu yang besar dan hebat, anda akan dihargai. Titik. Tidak harus sama dengan gaya orang yang sudah kondang. Cukup jadi diri anda, dan tunjukkan bahwa anda pantas menerima hal yang sama.
Saya pernah satu panggung dengan motivator kawakan kampus. Beliau sudah malang melintang untuk urusan mengisi acara-acara kepemimpinan. Tentu karena sudah senior, peralatannya lengkap abis dah. Penampilan macho, cara berjalannya ”sangar”, instrumen penunjang materinya pun lengkap. Ada back soundnya segala. Sedangkan saya –karena waktu itu masih amatiran -, tanpa slide, tanpa back sound, tanpa apa-apa. Modal kertas contekan, kaos polo hitam, topi hitam, plus ditunjang dengan kulit saya yang tidak bisa dibilang putih. Pas, kan? Sempurna! Atas sampek bawah, item semua. Cuman imannya aja yang keliatan bening. Haha. Grogi awalanya. Apalagi beliau menyampaikan materi terlebih dulu. Situasi seperti ini cukup rumit untuk motivator baru seperti saya –waktu itu-. Kalau anda tampil setelah pembicara pertama, dan ternyata anda gagal membuat kesan baik, orang akan memberikan cap “pemateri kedua nya jelek. Mending yang pertama”. Cap itu ditujukan pada anda. Sekali lagi, cap itu dialamatkan kepada anda. Masih lebih mending jika anda yang tampil pertama, lalu gagal, dan pemateri berikutnya tampil cemerlang. Cap yang diberikan bukan untuk anda, tapi untuk keberhasilan pemateri kedua. “pemateri kedua bagus tuh”. Aman, kan? Masih mending tidak diingat, daripada diingat keburukannya. Hehe.
Saya amati dari awal bagaimana cara beliau menyajikan materi. Cukup menarik. Kan senior. Wajar saja lah. Lalu mata saya beralih ke audiens. Menerawang jauh ke arah mereka. Awalnya mereka semangat, namun lama-lama situasinya agak berbeda. Mereka mulai jenuh. Konsentrasi mereka menurun. Peserta putri yang memegang catatan dan bulpoin mulai menaruhnya satu persatu. Tentu ini bukan keadaan yang baik. Sayangnya beliau tidak merubah ritme dan cara penyampaian. Terus saja seperti itu. Menjelang akhir penyampaian,yang tersisa hanyalah beberapa anak, dengan serpihan-serpihan semangat yang masih tertinggal. Yang lainnya? Mereka terlalu sibuk mengurusi mata mereka yang merota-ronta untuk menutup . Apa yang salah? Konten. Itu dia. Beliau terlalu bergantung dengan “perlengkapan pendukung”, sedang koten yang disampaikan, sudah terlalu sering diulang-ulang.
“Kalian tahu apa itu mahasiswa? Maha. Besar. Lebih dari sekedar siswa. Kalian mendapat predikat maha. Hebat, bukan?”
Mungkin kalau kalimat itu disampaikan saat ospek, mereka akan manggut-manggut. Iya, benar. Kami dapet predikat maha. Ini pasti akan seru. Tapi forum ini sudah sangat jauh dari masa-masa ospek. Dan pasti mereka telah sering mendengar kata-kata doktrin seperti itu. Jelas bukan hal menarik lagi bagi mereka. Celakanya, beliau tidak mempertimbangkan hal-hal kecil seperti ini. Jadilah forum itu terasa kurang. Kurang spesial. Mereka ingin yang baru. Itu yang mereka cari, dan harus segera kita berikan –sebagai pemateri-.
Tibalah giliran saya. Belajar dari pengalaman kecil itu, saya membuat kesimpulan sederhana: membuat orang tertarik itu bisa dengan dua hal. Pertama penampilan. Kedua, isi pembicaraan. Jika tak bisa yang pertama, lakukan yang kedua.
Oke, beraksi! Ini panggungmu. Ini bagianmu. jadilah dirimu! Jangan jadi orang lain. Siapapun. bahkan yang terbaik sekalipun. Jangan jadi mereka. Audiens menunggumu tampil untuk berbicara, bukan menunggumu tampil untuk menirukan gaya orang. Yang ditunggu kau, bukan orang lain yang kau selipkan dibelakang dirimu!            
Kepercayaan diri saya meningkat. Seratus koma lima persen. Yah, nol koma lima itu tetaplah keragu-raguan, kawan. Wajar saja lah.  
Saya mulai tanpa salam. Saya minta mereka semua tutup mata. Saya bikin survey dadakan.
“siapa yang pacaran angkat tangan?” lantang saya teriakkan
 “selanjutnya. Yang ngerokok angkat tangan?“
“woi bro, yang buka mata kita doain jadi jomblo abadi. Bilang amiin”
“amiiinn” mereka serempak, lantas terkekeh.
“yang pernah berzina angkat tangan?”
 “yang pengen poligami angkat tangan?”
“yang udah punya rencana mau mati usia berapa dan kayak gimana angkat tangan”
“oke, yang mau melek, melek aja. Yang nggak mau, ya udah terserah elu”
“berdasarkan hasil survey, pria-pria di fakultas ini adalah penggemar berat poligami”
Hahaha. Semua tertawa.
“mau saya tunjukkan siap saja orangnya?” Sebagian anak beringsut
“kalian nih ya. Ngerjain soal ujian aja belum tentu bener, udah mikir poligami. Mau dikasih makan soal ujian tuh bini?” tawa mereka pecah kembali
“Tapi sayangnya, saat sebagian dari kalian berfikir jauh tentang poligami, kalian tidak ada yang memikirkan tentang bagaimana kalian akan mati. Mau mati seperti apa, kalian tak pernah merenungkannya.” Suara saya semakin tegas. Poin terakhir itulah yang saya jadikan awalan sebelum memulai salam. Mikrofon di tangan saya turunkan perlahan, lalu saya tatap mata meraka tajam tajam, sambil memanggut-manggut yakin. Entah karena setuju atau karena mengikuti gerakan saya, yang mereka juga ikut manggut-manggut. Lalu saya contohkan kisah sahabat yang memilih sendiri mau mati dengan cara apa. Lagi-lagi mereka mengangguk setuju. Oke, tugas pertama dan paling penting telah selesai: membuat mereka terpesona pada pandangan pertama. Entahlah, kata cermin yang setiap hari saya temui, saya memang mempesona. Kata dia sih, begitu. Entahlah.
Ah, inilah kelemahan saya. Entah berbicara, entah menulis, bahasan saya sering melebar. Jadi lupa kan, tadi kita mau bahas apa? Yak, itu dia. Bercerita. Intinya, saya tidak bisa menyajikan cerita dengan cara yang cetar membahana. Dan saya terlalu meributkan hal itu. Sampai akhirnya saya menyadari kaidah lain yang sama sederhananya: anda lebih mempesona dengan karakter kuat yang anda miliki, daripada anda harus menjejalkan karakter orang lain agar anda terlihat hebat. Saya tidak bisa bercerita dengan penuh kehebohan. Gerakan saya mungkin biasa biasa saja. Tidak bisa melenggak lenggok layaknya pemeran teater. Fine, tapi sepertinya saya bisa bercerita dengan diksi yang menarik, pilihan kata yang tepat, dan semangat yang berapi-api. Itulah karakter saya. Dan saya akan hidup dengan itu, besar dengan itu, membuat orang terpesona juga dengan itu. Kata orang, saya terlalu keras. Tapi bagi saya, itulah gunanya saya terlahir. Untuk melindungi orang-orang lemah dengan kerasnya karakter yang saya punya. Hahaha. Intinya saya bangga dengan karakter saya.
Jadi iti pembicaraan kita kali ini, jangan pernah menyamakan diri anda dengan orang lain. Eit, tapi bukan berarti anda tidak boleh meniru orang lain. Anda salah besar jika berfikir bahwa saya melarang itu. Hobi saya dari dulu adalah, mengamati orang berbicara. Mulutnya, gerak bibirnya, sorot matanya, gesture tubuhnya, bahkan sampai cara dia menundukkan kepalanya. Lihatlah  mata najwa edisi habibie hari ini. Lihatlah cara najwa shihab menghormati habibie. Dia tundukkan kepalanya untuk menunjukkan rasa hormatnya yang paling dalam. Hei, bukankah menundukkan kepala sedikit lebih rendah itu pekerjaan gampang? Ternyata tidak. Tanyakan saja pada anda, pernahkah anda sengaja melakukannya untuk menghormati lawan bicara anda? Itulah gunanya belajar. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mengamati pembicara yang baik, kita jadi tahu apa saja yang harus kita lakukan. Mengamati pembicara yang kacau, kita jadi mengerti apa saja yagn harus kita hindari. Sepakat?
Meniru boleh, namun jangan pernah menyamakan. Apalagi membandingkan. Diri anda terlalu istimewa untuk dibandingkan dengan orang lain. Siapapun dia. Bahkan yang terbaik sekalipun. Anda selalu punya sisi istimewa yang tidak dimiliki siapa saja. Itu punya anda. Ya, hanya anda yang mempunyainya. Maka, jadilah diri anda, tanpa pernah malu untuk mengatakan “inilah saya”.

    

Selasa, 01 April 2014

Sekuntum Mawar dan Sebuah Katarsis

      Sehari kita punya 24 jam yang boleh kita pilih mau apa kita hari ini dan apa yang akan kita lakukan untuk menghabiskan waktu tersebut. Mengutip sebuah pepatah Arab “Jika kita tidak disibukkan dengan kebaikan niscahya kita akan disibukkan dengan keburukan”. Maka kita punya pilihan yang pertama, memilih diam atau menyibukkan diri. Setelah itu kita punya pilihan yang kedua, memilih sibuk dengan kebaikan atau keburukan. Masing-masing membutuhkan persiapan dan mengandung konsekuensi. Tapi pribadi saya mengatakan untuk apa kita membuang waktu melakukan keburukan?
      Ada satu hal pula yang perlu kita pahami, sebanyak apapun pekerjaan baik yang kita lakukan pasti kita akan mengalami satu titik jenuh yang entah kapan mau tak mau harus kita hadapi. Dan inilah yang sering aku alami, terlalu sibuk dengan pekerjaan duniawi yang sangat menyibukkan dan terkadang kita lupa bahwa kita juga juga butuh melepaskan energi negatif dari dalam diri kita. Inilah yang sering kita sebut dengan katarsis, atau melakukan sebuah kegiatan untuk melepaskan dan membuang jauh kejenuhan batin yang kita alami.
      Setiap orang memiliki cara untuk melakukan katarsis, ada yang melakukannya dengan bercengkrama bersama alam, menikmati game, menyibukkan diri dengan social media, berkumpul dengan keluarga, menikmati kuliner, dan masih banyak lagi bentuk katarsis yang orang lakukan. Tentu saja sebagai seorang muslim kita juga tak boleh lupa bahwa kita punya sholat dan quran yang juga bisa kita gunakan sebagai media melepaskan energi negatif.
      Sedikit bercerita tentang kegiatan mengkatarsis emosi yang sering saya lakukan. Sedikit unik memang, bakan tak akan pernah terpikirkan oleh kebanyakan orang, apalagi pikiran seorang pria.











      Ya inilah memang kegiatan yang benar-benar bisa menjadi katarsis emosi saya ketika kegiatan akademik maupun non akademik yang sangat menyibukkan. Kuntum-kuntum mawar yang mekar, dedaunan yang menghijau subur, air-air yang menggericiknya seakan tak pernah bosan saya saksikan.
      Bahkan saya banyak belajar dari filosofi bunga mawar. Pernah suatu kali pohon mawar merah itu berbunga, sungguh benar-benar sesuatu hal yang saya nantikan. Mulai dari corollanya yang masih membentuk kuncup diujung tangkai, hingga coronanya mekar sempurna, saya tak pernah luput mendokumentasikan proses tumbuh dan kembangnya.
      Hingga di suatu masa ketika mawar itu sudah mekar sempurna dan mahkota manisnya mulai berguguran satu-persatu, begitupun hati yang mengiringi setiap helai yang jatuh. Kemudian hari demi hari, minggu demi minggu penantian saya atas bunga mekar yang kedua tak kunjung tiba. Hingga akhirnya dengan rasa tak tega saya potong tangkai bunga yang mulai kering tinggal tulang itu. Namun 2 hari kemudian tumbuh 3 tunas baru yang sangat cepat sekali. Sungguh tentu saja ini menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi saya pribadi.
      Saya belajar dari bunga mawar. Ia tak pernah sombong dan memamerkan baunya, tak seperti bunga-bunga lain. Ia cantik, tapi ia beduri, tak sembarang orang bisa menyentuhnya. Dan yang terakhir ketika ia disakiti ia justru makin tumbuh dan berkembang, tidak mati namun semakin mekar.


Kalau kelak batangmu patah dan daunmu layu
Jangan salahkan aku
Karena aku masih menunggu tunasmu
-menanti mawar