Ini
kisah tentang sebuah kampung, di jajaran bukit barisan. Kampung kecil
nan indah. Sepenggal surga ditengah-tengah hamparan surga, indonesia.
Kampung
ini akan segera memilih pemimpinnya, seorang kepala kampung yang akan
memimpin warganya beberapa tahun kedepan. Hanya saja, tak ada yang
berminat memegang jabatan itu. Tak ada yang mau, tak ada yang
tertarik. Itu satu masalah, yang harus segera diselesaikan.
Belum
selesai satu masalah, timbul masalah baru yang membuatnya semakin
seru. Namanya Haji Sohar, seorang juragan dari kota. Baru enam bulan
jadi warga baru di kampung itu, dia sudah berani mencalonkan diri
sebagai kepala kampung. Apakah itu dilarang? Tidak. Hanya saja, itu
tidak etis. Terlebih saat akhirnya warga kampung tahu bahwa Sohar
membayar seseorang untuk menjadi tim suksesnya. Namanya lihan. Tak
ada yang tahu berapa uang yang dia terima dari shoar, yang jelas
semenjak itu, wak Lihan benar-benar menjadi garda terdepan untuk
mempromosikan Haji Sohar. Bahkan dia yang menjadi kurir untuk
menyalurkan uang-uang sogok haji Sohar ke warga kampung agar mau
memilihnya.
Pecahlah
“keributan” di kampung itu. Warga kampung ramai menggunjingkan
Wak Lihan dan Haji Sohar. Membuka aib-aib Haji Sohar yang belum tentu
benar, mengatakan Wak Lihan orang yang harga dirinya bisa dibeli, dan
aneka rupa gunjingan-gunjingan yang sungguh tidak enak dimasukkan ke
telinga kita.
Ada
yang tidak nyaman dengan keadaan ini. Namanya syahdan, mantan kepala
kampung yang sangat bijak. Ayah dari seorang bocah yang bernama
Burlian Pasai.
Malam
itu warga kampung duduk ramai di depan rumah panggung pak syahdan,
melihat televisi milik pak syahdan yang sengaja diletakkan di depan
rumahnya agar warga kampung juga bisa ikut meilhat. Seperti biasa,
sambil melihat TV, mulut mereka juga tidak berhenti menggunjingkan
Haji Sohar dan Wak Lihan.
Mendengar
itu semua, telinga pak syahdan panas. Dia tidak tinggal diam.
Untaian-untaian bijak keluar dari mulutnya, menyadarkan orang-orang
yang masih picik memandang kepemimpinan.
Dan
kini, simaklah penuturan seorang bocah bernama Burlian Pasai, tentang
apa yang malam itu dia dengar dari sang ayah.
“Dibandingkan
kalian, setidaknya Lihan telah ‘memilih’... Astaga. Jangan-jangan
kalian benar-benar tidak mengerti prinsip mendasar setiap kali kita
memilih pemimpin?” Bapak balik menatap mereka dengan wajah
berkerut.
“Bukankah
kalian tahu, bahkan untuk urusan perjalanan dua hari mengumpulkan
damar di hutan kita diwajibkan memilih pemimpin. Pilihlah salah satu
diantara kalian, pilihlah pemimpin yang kalian percayai.. Apalagi
urusan kampung yang lebih penting.”
“Aku
paham, kita tidak selalu punya pilihan yang baik... Dalam kasus
mengumpulkan damar tadi misalnya, katakanlah dari lima orang yang
berangkat, tidak satupun yang pantas menjadi pemimpin; satu orang
matanya rabun, jadi mudah tersesat di hutan; satu orang lagi egois,
jadi dengan mudah bisa meninggalkan temannya; dua orang malah tidak
pernah pergi ke hutan itu, jadi apa pula yang bisa dia lakukan kalau
terjadi sesuatu; orang terakhir bahkan penakut dan mudah sekali
panik, sungguh tidak memenuhi syarat.
“Tapi
meski tidak ada satupun yang pantas, tetap harus diputuskan siapa
yang akan menjadi pemimpin rombongan. Itu teladan agama kita.
Pilihlah yang paling sedikit keburukannya, yang paling sedikit
membawa masalah diantara banyak masalah.”
“Dan
tidak hanya cukup sampai disitu. Setelah pilihan dilakukan, maka
adalah kewajiban kita untuk mendukung yang terpilih, bantu dia dengan
segala cara agar keburukannya tidak keluar, sehingga rombongan bukan
hanya kembali dari hutan dengan selamat tanpa kurang satu apapun,
tapi pulang dengan hasil damar yang berkeranjang-keranjang.”
Orang-orang
berseru mendengar pejelasan Bapak. Beberapa mengangguk setuju, lebih
banyak yang membantah dan bilang kalau urusan kepala kampung tidak
sesederhana pergi ke hutan mengumpulkan damar.
“Aku
tahu kalian tidak suka dengan sohar. Jujur saja aku juga tidak suka
dengannya. Terlalu tinggi hati dan menganggap rendah orang lain. Baru
menjadi warga enam bulan sudah blak-blakan mencalonkan diri. Tetapi
mau dibilang apa? Dia resmi mencalonkan diri. Kalau kalian benci,
kenapa kalian tidak mencalonkan diri? Kenapa kalian tidak menunjuk
salah seorang diantara kalian untuk melawannya dalam pemilihan? Itu
lebih baik dibandingkan hanya sibuk menggunjingkan Sohar, dan
sekarang mengolok-olok Lihan... Oi, aku pikir, dalam urusan ini Lihan
lebih bermartabat dibandingkan kalian.”
Kawan-kawan..
Ini prinsip yang jauh lebih mendasar dari sekedar “kamu pilih yang
mana”. Ini prinsip tentang “aku memilih atau tidak”. Tak ada
satupun orang yang sempurna. Tapi apakah kaidah kepemimpinan
mengharuskan kesempurnaan? Saya fikir itulah guna kontribusi kita.
Kita memilih pemimpin yang punya lubang kekurangan, agar kita bisa
hadir dan menutup lubang itu dengan kelebihan yang kita punya.
Saya
bukan orang yang tepat untuk berbicara tentang kepemimpinan. Siapalah
saya. Orang yang ilmunya terbatas macam saya rasanya tak pantas
bertutur tentang hal-hal besar. Kalian jauh lebih mengerti tentang
perkara ini. Perkara bahwa ketika kita memilih, sama saja kita
memutuskan menjadi orang yang bermartabat. Terlebih lagi, kita
memutuskan untuk tidak menjadi pengecut, yaitu mereka yang hanya bisa
mengkritik pemimpinnya, lalu ketika ditanya “kamu memilih siapa”
dia hanya bisa berkata “saya tidak milih”, dan ketika ditanya
“lalu kenapa tidak kamu saja yang mencalonkan diri?”, dia hanya
bisa termenung menyesali kesalahannya.
Kalau
kita tidak suka dengan urusan birokrasi seperti ini, bukankah lebih
bijak jika kita menyerahkannya kepada mereka yang mau mengurusinya?
Kalau tidak mau mengurusi dan tidak mau menyerahkan kepada mereka
yang mau mengurusi, lantas apa mau kita?
Yok,
sama-sama kita belajar. Perkara memilih dan dipilih ini lebih dari
sekedar siapa yang akhirnya benar-benar terpilih, tapi siapa yang
akhirnya benar-benar memutuskan untuk tidak menjadi pengecut. Dan
pada akhirnya, buktikan semuanya disini:
Pemira BEM UNS.
Tanggal 17-18 Desember 2014. Silakan pilih nomor berapa saja. Sing
penting nyoblos, cah. Ben sangarrr..
Jadi pertanyaannya,
ngapain milih? Jawabannya, karena kita masih bermartabat. hehehe
Muhammad
Syukri Kurnia Rahman
Baktinusa 4 UNS.
*percakapan
diambil dari buku tere liye, Burlian
0 komentar:
Posting Komentar