Senin, 15 Desember 2014

Panelis Senior Itu Mengajak Kita Memilih Mereka



Mengapa tulisan pertama saya yang berjudul “belajar dari panelis senior” itu saya buat?

Tulisan itu saya buat sebagai tanggapan atas berita yang muncul sebelumnya. Anda tahu lah berita yang mana. Berita itu terlalu menggiring pembaca untuk tidak memilih capres-cawapres kita bersama, karena –menurut pesan tersirat dari berita itu-, berdasarkan debat kemarin, pasangan capres-cawapres itu  terlihat sebagai calon yang tidak layak untuk dipilih. Terbukti dari jawaban yang “tidak keren” atas “pertanyaan keren” yang diajukan salah satu panelis.

Boleh nggak berita kayak gitu? Ya itu mah terserah yang menulis, kan? Semua orang mempunyai hak untuk ber-opini dan menggiring orang untuk mengamini opininya. Maka sekali lagi, itu urusan mereka.

Nah sama juga, tulisan itu saya buat sebagai penyeimbang. Agar pembaca menyadari, bahwa poin-poin yang digunakan dalam berita tersebut untuk menggiring pembacanya agar tidak memilih, sebenarnya tidak layak kita amini bersama-sama. Ada beberapa potongan berita yang sengaja tidak dimasukkan kedalamnya, sehingga berita menjadi tidak lengkap, dan imajinasi publik juga ikut-ikutan terkorup. Dan itulah cara untuk menggiring opini para pembaca, dengan berita yang tidak penuh serta terpotong-potong.

Lalu kenapa di tulisan pertama saya, saya juga tidak melengkapi kontennya? Diawal tulisan tersebut saya sudah mengatakan bahwa, tulisan itu dibuat sebagai respon atas berita yang muncul sebelumnya. Maka, saya hanya membahas hal-hal yang juga dibahas di berita sebelumnya. Lebih tepatnya, membandingkan. Agar pembaca mempunyai sudut pandang yang lebih luas, dan tidak serta merta mengamini apa yang ditulis si pembuat berita.

Dan di tulisan ini, saya akan melengkapinya. Singkat saja. Tapi ini penting.

Setelah “menghajar” habis-habisan sang capres-cawapres dengan pertanyaan unik dan mematikan, mas bowo, sang panelis senior yang menjadi aktor di perbincangan kita, memberikan konklusi yang membuat panggung debat riuh dengan tepuk tangan. Beliau mengatakan:

“dari sekian banyak yang nonton, yang punya nyali, yang siap dan berani ya kedua capres-cawapres yang di depan.”

Di akhir debat itu beliau juga menyadarkan kepada kita pentingnya memilih. Terlepas dari apa yang beliau sampaikan sebelumnya bahwa andai beliau jadi mahasiswa UNS beliau tidak akan memilih –ini yang dijadikan jurus bagi si penulis berita agar kita tidak memilih-, beliau tetap mengajak kepada kita untuk menghormati keberanian empat rekan kita yang mau memperjuangkan nasib kita bersama. Caranya? Ya dengan memilih mereka! Hebat!

Jadi inti dari tiga tulisan yang saya sampaikan selama hiruk pikuk pemira kali ini adalah:

Mereka berempat itu adalah orang yang dengan rela mewakafkan diri mereka, waktu mereka, harta mereka dan bahkan mungkin jiwa mereka untuk kebaikan kita bersama, dan untuk kebaikan UNS kita tercinta. Maka hargailah mereka, dengan mendukung mereka disaat ini (pemira) dan mengawal kerja-kerja mereka disaat nanti (setelah terpilih). Yok, kalau semua urusan digarap bareng-bareng, kan dadi gayeng to cah? Hehe.

Selamat mencoblos ya.. Ingat, 17-18 desember 2014. #rockyourvote

Muhammad Syukri Kurnia Rahman
Baktinusa 4 UNS

*Tulisan ketiga saya: Ya yang kita baca ini. Hehe


NGAPAIN MILIH?!!

Ini kisah tentang sebuah kampung, di jajaran bukit barisan. Kampung kecil nan indah. Sepenggal surga ditengah-tengah hamparan surga, indonesia.

Kampung ini akan segera memilih pemimpinnya, seorang kepala kampung yang akan memimpin warganya beberapa tahun kedepan. Hanya saja, tak ada yang berminat memegang jabatan itu. Tak ada yang mau, tak ada yang tertarik. Itu satu masalah, yang harus segera diselesaikan.

Belum selesai satu masalah, timbul masalah baru yang membuatnya semakin seru. Namanya Haji Sohar, seorang juragan dari kota. Baru enam bulan jadi warga baru di kampung itu, dia sudah berani mencalonkan diri sebagai kepala kampung. Apakah itu dilarang? Tidak. Hanya saja, itu tidak etis. Terlebih saat akhirnya warga kampung tahu bahwa Sohar membayar seseorang untuk menjadi tim suksesnya. Namanya lihan. Tak ada yang tahu berapa uang yang dia terima dari shoar, yang jelas semenjak itu, wak Lihan benar-benar menjadi garda terdepan untuk mempromosikan Haji Sohar. Bahkan dia yang menjadi kurir untuk menyalurkan uang-uang sogok haji Sohar ke warga kampung agar mau memilihnya.

Pecahlah “keributan” di kampung itu. Warga kampung ramai menggunjingkan Wak Lihan dan Haji Sohar. Membuka aib-aib Haji Sohar yang belum tentu benar, mengatakan Wak Lihan orang yang harga dirinya bisa dibeli, dan aneka rupa gunjingan-gunjingan yang sungguh tidak enak dimasukkan ke telinga kita.
Ada yang tidak nyaman dengan keadaan ini. Namanya syahdan, mantan kepala kampung yang sangat bijak. Ayah dari seorang bocah yang bernama Burlian Pasai.

Malam itu warga kampung duduk ramai di depan rumah panggung pak syahdan, melihat televisi milik pak syahdan yang sengaja diletakkan di depan rumahnya agar warga kampung juga bisa ikut meilhat. Seperti biasa, sambil melihat TV, mulut mereka juga tidak berhenti menggunjingkan Haji Sohar dan Wak Lihan.
Mendengar itu semua, telinga pak syahdan panas. Dia tidak tinggal diam. Untaian-untaian bijak keluar dari mulutnya, menyadarkan orang-orang yang masih picik memandang kepemimpinan.

Dan kini, simaklah penuturan seorang bocah bernama Burlian Pasai, tentang apa yang malam itu dia dengar dari sang ayah.

Dibandingkan kalian, setidaknya Lihan telah ‘memilih’... Astaga. Jangan-jangan kalian benar-benar tidak mengerti prinsip mendasar setiap kali kita memilih pemimpin?” Bapak balik menatap mereka dengan wajah berkerut.

Bukankah kalian tahu, bahkan untuk urusan perjalanan dua hari mengumpulkan damar di hutan kita diwajibkan memilih pemimpin. Pilihlah salah satu diantara kalian, pilihlah pemimpin yang kalian percayai.. Apalagi urusan kampung yang lebih penting.”

Aku paham, kita tidak selalu punya pilihan yang baik... Dalam kasus mengumpulkan damar tadi misalnya, katakanlah dari lima orang yang berangkat, tidak satupun yang pantas menjadi pemimpin; satu orang matanya rabun, jadi mudah tersesat di hutan; satu orang lagi egois, jadi dengan mudah bisa meninggalkan temannya; dua orang malah tidak pernah pergi ke hutan itu, jadi apa pula yang bisa dia lakukan kalau terjadi sesuatu; orang terakhir bahkan penakut dan mudah sekali panik, sungguh tidak memenuhi syarat.

Tapi meski tidak ada satupun yang pantas, tetap harus diputuskan siapa yang akan menjadi pemimpin rombongan. Itu teladan agama kita. Pilihlah yang paling sedikit keburukannya, yang paling sedikit membawa masalah diantara banyak masalah.”

Dan tidak hanya cukup sampai disitu. Setelah pilihan dilakukan, maka adalah kewajiban kita untuk mendukung yang terpilih, bantu dia dengan segala cara agar keburukannya tidak keluar, sehingga rombongan bukan hanya kembali dari hutan dengan selamat tanpa kurang satu apapun, tapi pulang dengan hasil damar yang berkeranjang-keranjang.”

Orang-orang berseru mendengar pejelasan Bapak. Beberapa mengangguk setuju, lebih banyak yang membantah dan bilang kalau urusan kepala kampung tidak sesederhana pergi ke hutan mengumpulkan damar.

Aku tahu kalian tidak suka dengan sohar. Jujur saja aku juga tidak suka dengannya. Terlalu tinggi hati dan menganggap rendah orang lain. Baru menjadi warga enam bulan sudah blak-blakan mencalonkan diri. Tetapi mau dibilang apa? Dia resmi mencalonkan diri. Kalau kalian benci, kenapa kalian tidak mencalonkan diri? Kenapa kalian tidak menunjuk salah seorang diantara kalian untuk melawannya dalam pemilihan? Itu lebih baik dibandingkan hanya sibuk menggunjingkan Sohar, dan sekarang mengolok-olok Lihan... Oi, aku pikir, dalam urusan ini Lihan lebih bermartabat dibandingkan kalian.”

Kawan-kawan.. Ini prinsip yang jauh lebih mendasar dari sekedar “kamu pilih yang mana”. Ini prinsip tentang “aku memilih atau tidak”. Tak ada satupun orang yang sempurna. Tapi apakah kaidah kepemimpinan mengharuskan kesempurnaan? Saya fikir itulah guna kontribusi kita. Kita memilih pemimpin yang punya lubang kekurangan, agar kita bisa hadir dan menutup lubang itu dengan kelebihan yang kita punya.

Saya bukan orang yang tepat untuk berbicara tentang kepemimpinan. Siapalah saya. Orang yang ilmunya terbatas macam saya rasanya tak pantas bertutur tentang hal-hal besar. Kalian jauh lebih mengerti tentang perkara ini. Perkara bahwa ketika kita memilih, sama saja kita memutuskan menjadi orang yang bermartabat. Terlebih lagi, kita memutuskan untuk tidak menjadi pengecut, yaitu mereka yang hanya bisa mengkritik pemimpinnya, lalu ketika ditanya “kamu memilih siapa” dia hanya bisa berkata “saya tidak milih”, dan ketika ditanya “lalu kenapa tidak kamu saja yang mencalonkan diri?”, dia hanya bisa termenung menyesali kesalahannya.

Kalau kita tidak suka dengan urusan birokrasi seperti ini, bukankah lebih bijak jika kita menyerahkannya kepada mereka yang mau mengurusinya? Kalau tidak mau mengurusi dan tidak mau menyerahkan kepada mereka yang mau mengurusi, lantas apa mau kita?

Yok, sama-sama kita belajar. Perkara memilih dan dipilih ini lebih dari sekedar siapa yang akhirnya benar-benar terpilih, tapi siapa yang akhirnya benar-benar memutuskan untuk tidak menjadi pengecut. Dan pada akhirnya, buktikan semuanya disini:

Pemira BEM UNS. Tanggal 17-18 Desember 2014. Silakan pilih nomor berapa saja. Sing penting nyoblos, cah. Ben sangarrr..

Jadi pertanyaannya, ngapain milih? Jawabannya, karena kita masih bermartabat. hehehe

Muhammad Syukri Kurnia Rahman
Baktinusa 4 UNS.

*percakapan diambil dari buku tere liye, Burlian