Selasa, 20 Agustus 2013

Anda Hebat. Maka Perlakukan Semestinya!


Ingat dua hal ini sewaktu menghadapi orang: pertama, orang lain itu penting. Semua manusia penting. Akan tetapi ingat pula. Anda juga penting. Jadi, sewaktu berhadapan dengan orang lain, biasakanlah berfikir “kita adalah dua orang penting yang sedang duduk bersama untuk membicarakan sesuatu demi kepentingan dan keuntungan bersama.” - David  J Schwartz-. Sekali lagi ingatlah hal ini. Kita adalah dua orang yang sama-sama penting.

Ada hal menarik yang saya pelajari dari karya seorang David  J Schwartz. Simaklah apa yang dia tuturkan dalam buku the magic of thinking big.
Beberapa bulan yang lalu. Seorang usahawan menelepon saya untuk mengatakan kepada saya bahwa ia baru saja mengangkat seorang anak muda yang saya rekomendasikan kepadanya belum lama ini. “Anda tahu apa yang membuat saya menerima orang ini?” tanya kawan saya. “Apa?” saya bertanya. “caranya bersikap. Kebanyakan pelamar masuk ke kantor saya dengan setengah ketakutan. Mereka memberi saya semua jawaban yang mereka pikir ingin saya dengar. Sedikit banyak mereka bersikap seperti pengemis -mereka akan menerima apa saja-”.
           “Akan tetapi orang yang Anda rekomendasikan ini bersikap lain. Ia menghormati saya. Tetapi yang sama pentingnya, ia menghormati dirinya sendiri. Ia juga mengajukan pertanyaan sebanyak yang saya ajukan kepadanya. Ia tidak seperti kelinci yang ketakutan. Ia benar-benar manusia, dan ia akan bekerja dengan baik.”
Saya pernah bergaul dengan orang-orang yang “memaksa” saya berlaku jujur dalam mengerjakan soal ujian. Sewaktu SMA. Mereka mengajari saya bahwa apapun kondisinya, tetaplah berlaku jujur. Jangan mencontek. Lalu bagaimana dengan nilai jelek? Tetaplah tampil seolah-olah anda adalah pemegang nilai tertinggi. Jangan merisaukan hal itu. Karena anda telah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan orang lain.
Itulah yang mereka ajarkan pada saya. Tentang mengumpulkan seluruh kepercayaan saat datang sebuah permasalahan. Memang sepertinya, hal ini tidak begitu menyelesaikan masalah. Karena bagaimanapun, soal-soal di ujian selanjutnya mempunyai bobot kerumitan yang sama. Berbeda dengan teman-teman yang memilih untuk saling mencontek –walaupun tidak semua- untuk mendapatkan nilai tinggi, nlai kami mungkin akan tetap jelek.
Tapi setidaknya, saya telah membuat deklarasi untuk diri saya sendiri bahwa saya memiliki apa yang tidak mereka miliki. Otak saya pun merespon hal ini dengan memberikan persetujuan-persetujuan “Benar. Nilai anda mungkin jelek. Tapi anda jujur. Ingatlah bahwa Allah pun akan lebih memihak anda saat seleksi masuk universitas. Yakin lah. Semua perjuangan itu membutuhkan pengorbanan. Dan disini lah kesempatan anda untuk membuktikan bahwa anda telah berkorban. Lagipula, apakah masa depan anda akan berakhir hanya karena nilai jelek saat ini? Apakah anda tidak bisa menjadi dokter hanya karena nilai anda tidak 9?”.
Pada akhirnya, saya tetap bisa berjalan tegak di tengah-tengah mereka. Saya tidak beralih menjadi manusia penakut yang bahkan menatap mata orang lain saja tidak sanggup. Walaupun nilai saya sempat diumumkan di depan kelas dengan nilai terendah, but the show must go on. -Mungkin- karena kepercayaan diri yang saya bangun itu lah, mereka yang mendapat nilai-nilai tinggi justru sering meminta saya mengerjakan soal yang tidak bisa mereka selesaikan. Aneh memang, saat yang jelek mengajari yang bagus. Tapi itulah efek dari menara sikap yang kita bangun. Dia memancarkan keajaiban yang sama sekali tidak kita duga sebelumnya.
Tapi jangan pernah melihat cerita ini dari sudut pandang bahwa kita harus mencari pembenaran atas kesalahan yang kita buat. Jangan mengkambing hitamkan jujur sebagai penyebab jeleknya nilai kita. Tapi ketika anda memegang sebuah prinsip yang tidak banyak orang melakukannya, percayalah bahwa anda memerlukan ini.
Jika saat ini anda dalam posisi serba minder dan merasa banyak kekurangan, sudah saatnya anda menyadari akan sebuah fakta bahwa ternyata,  orang lain tidaklah se-menakutkan apa yang anda  fikirkan. Lebih dari itu, anda akan mengerti bahwa ternyata, anda mampu menjadi “orang penting” di hadapan diri anda sendiri dan lawan bicara anda. Ada cara menakjubkan yang harus segera anda kerjakan:
Ingatlah, ketika bertemu orang lain –baik yang anda kenal ataupun belum-, mendekatlah padanya beberapa langkah lebih cepat. Tunjukkan bahwa anda antusias dengannya. Lalu, lakukan hal ini bersamaan. Ulurkan tangan untuk mengajak dia bersalaman, rekahkan senyum, dan sapalah dia..“hei”. Sekali lagi, lakukan itu bersamaan.
Seperti yang saya sampaikan, bahwa sikap ini ibarat bangunan. Maka kita perlu aksi untuk membuatnya berdiri. Jangan berharap banyak jika kita masih menjadi penganut faham bahwa “diam adalah emas”. Kita sendiri yang harus bekerja keras untuk membangun bangunan sikap ini. Maka mulailah dengan aksi. Dan pastikan bahwa dunia melihat aksimu.
Saya sendiri terkadang menjadi orang yang kurang kerjaan –menurut sebagian orang-. Alasannya sederhana. Karena saya sering mengamati orang-orang yang beraktifitas di sekitar saya. Pakaiannya, rambutnya, mimik mukanya, cara berjalannya, cara bicaranya, cara dia tersenyum, dan semua yang mereka lakukan. Bukan sekedar melihat, tapi mengamati. Dan saya belajar banyak dari hal itu. Awalnya saya tidak menemukan alasan yang tepat kenapa menurut saya, pekerjaan sepele ini begitu penting. Saya hanya merasa bahwa saya perlu melestarikan kebiasaan ini. Namun pada akhirnya, saya menemukan alasan yang tepat terkait hal ini. Masih di buku the magic of thinking big, Shwartz mengatakan “kebanyakan orang mengerti begitu sedikit tentang mengapa orang bertindak sebagaimana yang mereka perbuat, walaupun mereka dikelilingi oleh banyak orang sepanjang hidup mereka. Alasannya adalah, kebanyakan orang bukan pengamat yang terlatih. ” Dia lalu melanjutkan bahwa kita sebenarnya sering mengajukan pertanyaan pada diri kita sendiri, mengapa si A punya lebih banyak teman dibanding si B. Mengapa si john begitu berhasil, dan tom hanya biasa-biasa saja. Kita sering mempertanyakan hal itu. Namun sekali lagi masalahnya, kita tidak –atau belum- bisa menjadi pengamat yang baik untuk “laboratorium” kehidupan kita. Laboratorium yang menempatkan kita sebagai peneliti dan orang-orang di sekitar kita sebagai objek yang kita teliti.
Termasuk saat saya mengamati seorang teman yang menurut saya, dimana pun dia berada, dia selalu mempunyai kenalan. Luar biasa memang. Di masjid, banyak yang dia kenal. Di tongkrongan anak-anak setengah beres, dia punya teman. Anak-anak yang kerjaannya belajar-pulang-belajar-pulang pun dia akrab. Ternyata ada hal menarik yang tidak dimiliki orang-orang seperti dia. Dan ini sederhana. Perhatikan. Dia selalu tersenyun –dengan senyuman lebar dan tulus- saat pertama kali kontak mata dengan orang  yang dia jumpai. Dan setelah itu, dia selalu menyapa. Entah “hei”,entah “boss..”. Apapun. Atau bahkan saat di jalan –yang tidak memungkinkan untuk teriak-teriak-, dia selalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sebuah hal yang menandakan bahwa dia antusias dengan lawan bicaranya. Dia mendeklarasikan bahwa dia menghargai orang lain di hadapannya. Dan kita sepakat bahwa, saat kita menghargai tinggi orang lain, mereka pun pasti melakukannya pada kita.
Pada akhirnya, ketika kita ingin bertransformasi menjadi orang yang percaya diri, kita memang diharuskan tampil mecolok. Setidaknya, kita harus “memaksa” orang lain menganggap keberadaan kita. Karena ketahuilah. Saat berbicaara kesuksesan, tidak ada yang tidak mencolok. Lihat saja Muhammad. Kalau tolak ukur kesuksesan kita adalah Rosulullah, adakah yang tidak kenal siapa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthollib?

Kamis, 15 Agustus 2013

Cara Mencintai dan Membenci Yang Benar

      Bicara masalah fakta dalam hidup kita akan banyak bicara tentang bagaimana logika bermain dan bertindak, tapi logika akan berjalan dengan kawan seperjuangannya dalam membuka pola pemikiran kita untuk bersikap di dunia nyata. Logika tak akan pernah bisa hidup tanpa kawan sejatinya, yakni perasaan. Logika tanpa perasaan bak manusia yang mentransformasikan dirinya sebagai robot, dan perasaan tanpa logika hanya bak hewan bernaluri tanpa berakal. Mereka bak koin logam bermuka dua, bergandengan, saling menindih, saling bertukar dalam saat-saat yang butuh penyesuaian. Terkadang kita harus tau kapan berlogika dan kapan berperasaan, namun logika adalah kumpulan mayoritas yang objektifitasnya berpengaruh padu pada pembentukan akal, beda dengan perasaan yang siatnya subjektif dan unstable jika dibandingkan logika. Tak heran dengan sifatnya subjektif dan unstable ini acap kali perasaan menggiring kita dalam jurang permasalahan, permasalahan dengan diri sendiri tentunya, atau mungkin berimbas ke orang lain pula. Kali ini saya akan sedikit berbicara tentang manajemen perasaan.
      Kutub bumi ini telah dibagi oleh Sang Prima Causa akan selalu bersudut pandang dalam dua hal, utara-selatan, kaya-miskin, baik-buruk, panjang-pendek, positif-negatif, dan berbaga macam lainnya. Namun bicara masalah perspektif perasaan kita akan banyak membahas masalah cinta-benci. Cinta bermanifestasi kepada kegiatan yang positif, jika dilakukan dengan benar, akan menumbuhkan suatu gairah hidup yang lebih baik. Berbeda dengan saudara jauhnya, atau bahkan mereka tak bersaudara, hanya hasil dikotomi perasaan saja. Benci adalah salah satu bentuk energi negatif yang akan berpenghujung dengan hal-hal  berpangkal buruk, pendapat awam saya berkata demikian.

Lalu bagaimana cara mencintai dan membenci yang benar? Apakah membenci itu boleh padahal itu buruk? Apakah mencintai selamanya akan mengarah pada hal positif?

Mencintai dan membenci karena Allah
“Tali iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. At-Tirmidzi).
“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna Imannya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
      Diantara hadits yang semakna dengan hadits di atas, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu’adz, bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang iman yang paling utama, maka beliau bersabda: “iman yang paling utama adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, engkau pekerjakan lisanmu dalam berzikir kepada Allah”. Mereka lantas bertanya : kemudian apa lagi wahai Rasulullah! , beliau menjawab: “engkau mencintai suatu kebaikan untuk manusia sebagaimana engkau mencintai kebaikan itu untuk dirimu sendiri dan engkau benci (sesuatu yang buruk terjadi) terhadapnya sebagaimana engkau membenci hal itu terjadi terhadap dirimu, dan engkau berkata dengan perkataan yang baik atau engkau diam”.
      Dari hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa kita harus memberikan kecintaan dan kesetiaan kita hanya kepada Allah semata. Kita harus mencintai terhadap sesuatu yang dicintai Allah, membenci terhadap segala yang dibenci Allah, ridho kepada apa yang diridhoi Allah, tidak ridho kepada yang tidak diridhoi Allah, memerintahkan kepada apa yang diperintahkan Allah, mencegah segala yang dicegah Allah, memberi kepada orang yang Allah cintai untuk memberikan dan tidak memberikan kepada orang yang Allah tidak suka jika ia diberi.
      Dalam pengertian menurut syariat, dimaksud dengan al-hubbu fillah (mencintai karena Allah) adalah mencurahkan kasih sayang dan kecintaan kepada orang-orang yang beriman dan taat kepada Allah ta’ala karena keimanan dan ketaatan yang mereka lakukan.Sedangkan yang dimaksud dengan al-bughdu fillah (benci karena Allah) adalah mencurahkan ketidaksukaan dan kebencian kepada orang-orang yang mempersekutukanNya dan kepada orang-orang yang keluar dari ketaatan kepadaNya dikarenakan mereka telah melakukan perbuatan yang mendatangkan kemarahan dan kebencian Allah, meskipun mereka itu adalah orang-orang yang dekat hubungan dengan kita.
      Sama dengan kasus ketika kita jatuh cinta pada seseorang, maka jatuh cintalah karena Allah, jatuh cintalah kepada orang yang senantiasa mendekatkan kita pada Allah, Jatuh cintalah pada orang yang akan membuat Allah semakin cinta kepada pribadi kita. Kalaupun ternyata jatuh cinta yang kita lakukan hanya semakin menghinakan diri kita, menjauhkan diri kita dari Allah, atau bahkan membuat cinta kita untuk Allah semakin berkurang maka cinta yang tak berdasar kepada Allah itu harus kita akhirkan. Sebesar apapun cinta itu dihadapan manusia, Allah tak akan pernah ridho jika cinta itu tidak berlandaskan cinta pada-Nya. Begitupun kita membenci seseorang, jangan sampai kita membenci orang yang salah. Jangan pernah membenci orang karena sifatnya, karena bisa jadi ia dekat dengan Allah meski kita tak suka dengan siatnya. Yang diperbolehkan untuk kita benci adalah orang dengan siat yang tak disukai Allah, bukan yang tidak kita sukai karena itu hanya berlandaskan perasaan kita. Ketika kita membenci seseorang karena jelas Allah membencinya, maka berarti cinta kita telah berdasar pada-Nya.

Mencintai dan membenci sekadarnya
      Nah setelah kita belajar untuk mencintai dan membenci karena Allah, poin keduanya adalah bagaimana kita mencintai dan membenci sekadarnya. Maksud sekadarnya disini adalah dengan cara yang biasa saja, tak boleh kurang juga tak boleh lebih. Karena sesuatu yang tak sesuai kadarnya ahanya akan menimbulkan permasalahan.
      Dari Abu Hurairah: Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cintailah kekasihmu secukupnya saja, jangan sampai suatu hari ia menjadi musuhmu, dan bencilah musuhmu secukupnya saja, jangan sampai suatu hari ia menjadi kekasihmu" . (HR. At-Tirmidzi)
Dari hadits diatas kita bisa belajar cara mencintai dan membenci yang sesuai kadarnya, pun Rasulullah telah memberikan tuntunan pula untuk kita. Ketika kita mencintai seseorang, tak layak jua andaikan kita mencurahkan semua perasaan untuk seseorang itu, mungkin suatu saat ada saat-saat dimana orang itu mengecewakan kita dan justru perasaan kita bisa membuncah menjadi benci yang luar biasa. Jangan pernah mencintai seseorang dengan seluruh perasaan kita, apalagi seseorang yang belum haknya untuk kita cinta, risiko untuk kecewa pasti akan jauh lebih besar. Justru dengan perasaan cinta yang ala kadarnya terkadang kita lebih bisa memaknai betapa indahnya memiliki perasaan cinta tersebut.
      Begitupun ketika kita membenci musuh kita, juga harus dengan kadar yang biasa saja, jangan membencinya terlalu berlebihan. Sama ketika dahulu Umar masih bercumbu dengan kekafiran yang melekati dirinya, siapa yang tak kenal ia sebagai salah satu dari musuh besar Islam yang luar biasa kemampuannya. Tapi sekalipun ia adalah musuh Islam yang memiliki kekuatan mengerikan, Rasulullah tak pernah membencinya dengan berlebihan, Belia membenci Umar karena kekafirannya terhadap Allah, dan rasa benci itu hanya sekadarnya. Mungkin akan beda cerita apabila Rasulullah membenci Umar dengan kadar yang luar biasa bencinya, bisa jadi Umar tak akan pernah diterima untuk masuk Islam oleh beliau. Tapi begitulah Rasulullah sebagai manusia dengan kemampuan manajemen perasaan yang luar biasa. Ketika Umar datang padanya dan memohonkan dirinya untuk berislam, Rasulullah menyambut dengan amat sangat ramah sekali, bahkan dengan senyum seakan Umar telah dipersaudarakan dengan Islam sejak lahir. Subhanallah sekali bukan kalau bicara tentang perasaan.
      Jadi ketika seseorang bisa mengekang perasaannya,mengontrol pikirannya,dan ketika dalam setiap masalah ia memperlakukan sesuai dengan kadar kebutuhannya maka ia akan melaju selangkah menuju kearifan dan pemahaman yang hakiki.


Kesimpulan yang dapat kita tarik dari diskusi kita diatas tadi yakni, kita diperbolehkan mencintai dan membenci seseorang, tapi jangan lupa bahwa rasa cinta dan benci itu bersyarat. Bersyarat hanya karena Allah dan bersyarat hanya boleh dilakukan sesuai kadarnya.

Selasa, 13 Agustus 2013

Wayang, dalam Budaya dan Tradisi Leluhur

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya juga tak terpisahkan dari tradisi. Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun  lisan.
Karya seni juga merupakan hubungan timbal balik yang tak terpisahkan dari budaya. Seni adalah sesuatu yang indah, diakui oleh masyarakat, dan dicintai oleh masyarakat. Sejak jaman dahulu, masyarakat suku Jawa sudah terkenal dengan keseniannya yang sangat indah nan adiluhung. Selain indah, kesenian jawa juga mengandung ajaran-ajaran hidup yang tersembunyi. Petuah-petuah kehidupan yang tersirat ini menjadikan kesenian jawa memiliki nilai lebih bagi penikmatnya. Produk-produk kesenian dan budaya jawa yang bisa kita temui sehari-hari adalah seni wayang, seni tari, gamelan, batik, dan keris.
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa menonjol di antara banyaknya khazanah budaya nusantara. Wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Wayang juga memiliki fungsi sebagai media penerangan, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, hiburan, serta dakwah.
Kemunculan wayang hingga berbentuk seperti sekarang ini erat akitannya dengan masuknya Islam ke tanah Jawa. Salah satu anggota Wali Songo (Sunan Kalijaga) menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa (manusia). Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.
Wayang berasal dari kata Ma Hyang artinya menuju kepada yang maha esa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang. Dalang diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok niyaga (pemain gamelan) dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden (penyayi). Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang aslinya berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Versi lain mengatakan kalau wayang berasal dari kata awang awang lan ayang ayang yang berarti harapan dan keinginan manusia yang terlukis dalam bayangan di kelir. Sedangkan dalang berasal dari kata ngudal-udal piwulang yang berarti yang menyampaikan ilmu tersebut. Ilmu tentang kehidupan.
Selain sebagai karya seni, wayang adalah suatu karya kerajinan yang indah. Wayang kulit terbuat dari bahan kulit kerbau/ sapi/ kambing/ domba yang telah dikeringkan dan ditipiskan menurut kebutuhan, dan dipahat/ditatah secara halus dengan motif-motif yang khas, untuk selanjutnya diwarnai/disungging dengan paduan warna yang indah dan khas pula. Selanjutnya diberi tangkai (gapit/ cempurit) dan penyangga tangan (dhudhing) yang dibuat dari tanduk (sungu) kerbau atau cangkang penyu yang dikerjakan sangat halus.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan).
Tak ada bukti yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu menyebar di Asia Selatan. Diperkirakan seni pertunjukkan ini dibawa masuk oleh pedagang India. Namun demikian, berkat kearifan lokal, kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu disatukan dengan perkembangan seni pertunjukkan yang masuk sehingga memberi warna tersendiri pada seni pertunjukkan di Indonesia. Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukkan wayang berasal dari Prasasti Balitung di Abad ke 4 yang berbunyi “si Galigi mawayang”.
Akhirnya dunia pun mengakui keindahan wayang. UNESCO pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia.

Kamis, 08 Agustus 2013

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

Allahuakbar.. Allahuakbar.. Allahuakbar..
Laa ilaha illallahu allahuakbar.. Allahuakbar walillahilkhamd..
Tiada gemuruh paling agung untuk menjunjung keagungan-Nya selain takbir
Tiada kata pengesaan paling indah untuk menunggalkan-Nya selain tahlil


Taqobalallahu Minna wa Minkum
Shiyamana wa Shiyamakum
Minal 'Aidin wal Faizin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H

Selasa, 06 Agustus 2013

Terlalu Banyak Polemik di Negeri, Mahasiswa Wajib Ambil Satu Peran

Sedikit angkat bicara dengan berbagai polemik masa kini, nampaknya permasalahan dalam negeri masih terlalu banyak yang belum kita jamah. Berbagai macam masalah silih berganti datang dan pergi, dan saya yakin masalah-masalah ini tak akan pernah ada habisnya. Selesai satu lalu tumbuh lagi sekian ribu. Namun sekali lagi kegelisahan atas bangsa ini hanya milik segelintir orang saja yang saya rasakan, masih terlalu banyak yang leyeh-leyeh tak peduli. Tak lain dan tak bukan karena sejak mudanya mereka tak diajarkan untuk berinisiatif, sederhana, cuma butuh inisiatif. Kalau tak ada hubungannya dengan pribadi, yasudah buat apa ikut campur, malah nambah-nambahin masalah. Ini mindset yang terpaku pada saraf-saraf otak pemuda saat ini. Padahal satu jengkal di kanan-kiri mereka masalah tak pernah ada habisnya.


Sebagai iron stock masa depan, menurut saya tak layak sekali disebut mahasiswa kalau tak punya peran. Bukan hanya iron stock yang kini diam dan 20 tahun lagi baru berjuang menjadi negarawan, tapi harusnya sejak sekarang mahasiswa harus bisa menempa dirinya masing-masing. Guys, iron stock disini bukan hanya dijadikan stok saja yang berarti disimpan dan hanya dikeluarkan ketika saatnya tiba, bukankah lebih ganas menebas ketika besi-besi ini mulai ditempa sejak kini dengan berbagai macam polemik yang lebih sederhana saja, tak usah muluk-muluk bicara masalah negara dulu, di kampusmu pasti banyak masalah tak terjamah. Kenapa harus ditempa sejak kini? Agar 20 tahun lagi mahasiswa ini tak hanya menjadi seonggok besi, tapi telah ditempa jutaan kali dan siap menjadi pedang tajam.
Dimana mahasiswa ini ditempa? Di kampus tentunya. Namun sayang, tak banyak yang sadar bahwa kampus ini tempat tempaan. Yang banyak disadari adalah kampus ini tempat belajar, tak salah memang jika kita mengakatakan kampus ini tempat belajar. Tapi mbok yo ojo belajar buku tok, terlalu merugi menurut saya, karena disini terlalu banyak pelajaran yang bisa kita ambil.
Organisasi mahasiwa atau unit kegiatan mahasiswa adalah pendidikan informal yang paling saya rekomendasikan untuk belajar mengambil peran kehidupan kedepannya. Kalau saya katakan seperti ini pasti berbagai jawaban muncul. Pasti saya yakin bahwa kebanyakan mahasiswa saat ini sudah turut andil di berbagai organisasi mahasiswa dan unit kegiatan mahasiswa. Pertanyannya adalah, apakah kalian sudah mengambil peran? Apakah kalian sudah mendapat peran krusial untuk melakukan perubahan?
Yang saya lihat saat ini adalah satu orang mahasiswa bisa aktif di berbagai organisasi/unit kegiatan, bisa sampai 3 organisasi, 5 organisasi, atau bahkan lebih. Pasti pernah ketemu yang kayak gini, atau mungkin juga yang sedang baca sekarang. Herannya adalah mereka bangga dengan berjuta amanah yang tak satupun mereka punya kontribusi, “Gue di UKM A jadi staf bidang keuangan, gue di organisasi B jadi anggota divisi PSDM, gue di lembaga dakwah C jadi staf kajian islam, gue di mapala D jadi anggota bidang kesehatan, gue di lembaga kesenian E bagian ngeroll kabel, gue di acara seminar  jadi anggota PU”, terus saya jawab,”Bro elu udah tahun ketiga bro, masih aja jabatan staf nempel dimana-dimana, mending elu pilih satu tapi beneran laku”.
Inilah realitanya, banyak sekali mahasiswa yang ikut banyak organisasi tapi statusnya adalah anggota semi-aktif atau bahkan anggota non-aktif. Cuma ikut-ikutan doank, atau kalau anak kecil bilang ikut pupuk bawang. Gak usah muluk-muluk nanya AD/ART organisasinya, nanya prokernya aja saya jamin gak semuanya dia tahu. Atau bahkan anggota sebidangnya aja dia gak tahu. Datang rapat juga kalau pengen, ikut persiapan acara kalau acara gedhe doank, kalaupun dia gak ada juga gak ngaruh. Ada to yang kayak gini? Bejibun guys! Banyakkkk!!! Mending pilih satu organisasi tapi kamu dianggap memang “ada”.
Ayolah guys, terlalu banyak polemik dalam negeri ini, terlalu banyak lini yang perlu diperbaiki. Kalau masih bangga dengan banyak jabatanmu, itu semua cua omong kosong kalau kau tak punya sumbangsih peran. Lihat orang-orang besar disana, mereka adalah orang-orang yang punya inisiatif untuk mengambil satu peran nyata. Istilahnya kalau orang jawa bilang penggaweane rupo. Tentukan satu hal besar yang ingin kau ubah, dan buktikan dengan perubahan. Peran apapun kalau itu menghasilkan kontribusi nyata, nampaknya tak ada dunia yang akan menolakmu. 

Manusia tak lebih dari seonggok cairan berjalan, bedanya adalah yang benar-benar hidup adalah mereka yang menghidupkan. Jangan jadi mahasiswa yang hidup segan mati enggan, tapi jadilah mahasiswa yang punya peran!!!

Jangan Sampai Masa Tuanya Berakhir Di Panti Jompo

 Kulihat dari garis kelopak matanya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu memperhatikanku di waktu kecil hingga kini
Kulihat dari raut wajahnya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu menasehatiku di waktu kecil hingga kini
Ku lihat dari mahkota di atas kepalanya yang mulai memutih
dan aku tahu bahwa dia selalu memikirkan keadaanku di waktu kecil hingga kini

      Tak sengaja melirik berita infotainment salah satu channel TV swasta bersama keluarga dirumah yang menayangkan kunjungan beberapa selebriti ke Panti Werdha Budi Mulia Jakarta tiba-tiba saya teringat ketika Rapat Koordinasi Nasional ISMKI di Jakarta dulu saya juga pernah berkunjung kesini bersama mahasiswa kedokteran seluruh Indonesia. Saya tak akan bercerita banyak tentang Rakornas ataupun  tentang berita gosipnya, tapi saya akan mengajak anda berpikir tentang orang tua anda.

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al-Mu’minun : 14)

        Karena saya tau pembaca blog ini adalah rata-rata pemuda yang belum pernah merasakan jadi orang tua, jadi saya ingin anda merasakan perasaan orang tua. Guys, sejak kita masih berupa sepasang spermatozoid dan ovum, emak kita udah rela merelakan tubuhnya untuk tempat kita bersemayam, sejenak sebelum dunia yang keras ini menerima kita dengan syarat. Segagah dan seanggun apapun engkau sekarang tak lain adalah hasil konversi air hina dina dan telur dari bapak-ibumu, yang kemudian selama 9 bulan tubuhnya, mengkonversikanmu menjadi manusia seutuhnya seperti pada ayat diatas.
        Pun setelah kita lahir dan menatap ganasnya dunia, beliau berdua masih dan terus rela mempertaruhkan waktu, harta, kehormatan, atau bahkan nyawa untuk anaknya yang bahkan ladang lupa menyebut namanya dalam tiap doa. Tapi lihatlah realitanya saat ini, realita yang saya hadapi di panti jompo ini. Hampir 200-300 mbah-mbah ini hidup disini, ada yang baru saja ada yang sudah puluhan tahun. Kemudian saya menuju salah satu bed dan mengobrol dengan pemilik bed tersebut.
        Mbah Wakinah namanya, usianya sudah hampir 70 tahun kalau saya tidak salah ingat. Beliau lahir di Nganjuk, dan wah saya berasa ketemu sesama orang Jawa Timur di Jakarta yang sangat crowded ini. Kemudian saya lumayan banyak mengobrol dengan beliau, dan menanyakan kenapa bisa sampai di Panti Jompo ini. Kemudian beliau menceritakan kisahnya ketika jauh negeri ini baru saja merdeka tahun 50an beliau dari Nganjuk merantau ke Surabaya sebagai seorang pembantu rumah tangga, kemudian ketika majikannya ke Jakarta pun beliau juga mengikuti kepindahan sang juragan ke ibukota pula. Hingga akhirnya pergolakan orde baru, majikannya kembali ke Hongkong. Dan tak mungkin juga kan beliau mau ikut ke Hongkong, akhirnya terdamparlah beliau di panti jompo yang dikelola pemerintahan Ibukota ini.

(Foto saya dan Mbah Wakinah)

        Yang saya tanyakan adalah dimana anaknya? Kemudian beliau bercerita bahwa anaknya ternyata juga ada di Jakarta, kalau tidak salah bekerja sebagai tentara cetus beliau, entahlah pangkatnya apa di kemiliteran. Pertanyaan terbesar kedua di benak saya adalah kenapa beliau tak hidup bersama anak dan cucunya, pun di almari beliau juga tercantum kontak nomor handphone anaknya yang kalau ingin dijenguk beliau bisa menghubungi putranya lewat pihak panti. Ini anaknya mikir apa sih bisa-bisanya beliau ditinggalin disini, bukankah lebih enak kalau diajak tinggal serumah saja? Inilah yang ingin saya renungkan bersama.
        Guys orang tua kita sudah merawat kita sejak kecil, mempertaruhkan nyawa pula. Jangan sampai lah kita menjadi anak yang tak peduli pada orang tuanya. Ketika di masa tua harusnya beliau menikmati sisa-sisa hidupnya namun malah harus hidup di panti jompo dengan keadaan apa adanya. Seharusnya sebagai anak kita punya tanggung jawab besar merawat beliau dengan setulus hati, pun ketika kita sudah merasa melakukan apaun yang terbaik untuk orang tua kita. Kita tak akan pernah bisa membalas segala budi baiknya pada kita. Dalam hati sebenarnya saya ingin bertanya kenapa tidak tinggal sama anaknya saja mbah? Ah tapi saya tak tega. Toh beliau menuturkan bahwa beliau senang hidup disini, merasa lebih dekat dengan pencipta. Meski sudah berumur beliau tetap rajin sholat tahajud dan puasa sunnah, itu pun yang beliau wasiatkan pula pada saya. Beliau juga berpesan,”Sekolah yang pinter, cepet lulus jadi dokter. Kalau nyari istri yang baik sifatnya, gak usah cantik gak apa-apa le. Tetep ingat sama Yang Diatas, dan semoga hidupmu sukses kelak”. Ya itulah penutup pertemuan singkat saya dengan mbah Wakinah yang benar-benar membuat batin saya terenyuh.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.” (Al-Isra’ : 23)

Jangan sampai kau kehilangan satu pahala surga yang besar, hanya karena membuang kesempatan untuk tak merawat orang tuamu!

Senin, 05 Agustus 2013

Dan Tak Kan Pernah Terlahir Yang Serupa Dengannya

Benarlah apa yang dikatakan orang-orang itu tentang pahlawan. Bahwa mereka tak akan pernah mati. Meski tak pernah kita jumpai sesosok raga yang mampu berdiri sendiri, tapi namanya kan tetap hidup. Dia berlari menyusuri pelosok negeri. Mengabarkan bahwa dirinya pernah terlahir, dan melakukan kerja besar untk memakmurkan bumi ini. Dan benar pula kata mereka tentang orang sombong dan kesombongannya. Mereka tak kan pernah hidup, bahkan saat kaki masih mampu berlari. Karena nama mereka telah mati. Atau setidaknya, membusuk sebelum raganya benar-benar hancur tak terbentuk.


Lihatlah kesombongan yang keluar dari mulut besar panglima romawi. Saat dua pasukan itu berhadapan dengan jumlah yang tak sepadan. 240ribu kaki-kaki angkuh itu berdiri. Siap menebas kerongkongan pasukan muslim. Mencari kemenangan untuk menyebarluaskan perbudakan. Dada yang telah sesak dengan kesombongan itu membusung tinggi. Seolah mereka lah tuhan yang memang berhak menyombongkan diri. Dan orang-orang mulia yang mereka hadapi, hanya 46ribu! Mereka pun siap. Bukan hanya untuk menebas budak-budak romawi. Tapi mereka siap ditebas. Jiwa raga telah mereka siapkan. Bukan untuk menang, tapi untuk mati. Mati di jalan Allah.
Menjelang pertempuran dimulai, saat dua pasukan telah berhadapan, keangkuhan panglima romawi memuncak. Dia panggil panglima besar kaum muslimin. Dia ingin berbicara dengannya. Khalid pun maju. Kuda mereka berhadapan. Banyaknya pasukan romawi sedikitpun tak mampu menggetarkan khalid, bahkan kuda perang yang ia tunggangi.
Panglima dengan kesombongan itu bernama mahan. Dia katakan pada khalid “kami tahu bahwa yang menyebabkan kalian keluar dari negeri kalian adalah kelaparan dan kesulitan hidup. Jika kalian setuju, saya beri setiap orang dari kalian sepuluh dinar, pakaian, dan makanan, asalkan kalian pulang ke negeri kalian. Tahun depan saya juga kirimkan pemberian yang sama.”
Lihatlah. Betapa mulut besar itu telah membuat khalid geram. Khalid menggertakkan gigi-giginya. Inilah pemuda terbaik quraisy yang sedang mengajarkan kita tentang keberanian. Inilah pria yang bahkan lebih memilih menerjang malam bersama pasukan muslim daripada malam pertama dengan seorang gadis, akan mengajari kita bahwa sudah seharusnya kita tidak terima dengan segala bentuk penghinaan. Sekecil apapun. Inilah dia pemuda yang tidak tidur, dan tidak membiarkan orang lain tidur, mengajari kita bagaimana membungkan mulut-mulut besar tak berpendidikan. “kami ini satu kaum yang meminum darah manusia. Yang kami tahu, darah yang paling nikmat adalah darah orang-orang romawi. Kami datang untuk itu”.
Ia tarik tali kekang kudanya, kembali ke pasukannya dan mengangkat bendera tanda pintu syurga telah terbuka.
Berkahilah mereka, ya rob.. Hembuskan angin kencang pertanda kemenangan. Sebagai peneguh di dada mereka yang penuh dengan iman.
Khalid dan panglima-panglimanya tak terbendung. Gelora keimanan mereka mengobrak-abrik kekuatan lawan yang hanya terletak pada lengkapnya persenjataan. Tapi sekali lagi keimanan itu bicara. Bahwa kebenaran akan selamanya mendapat kemenangan. (Saya benar-benar menginginkan berada disana. Bersama khalid, abu ‘ubaidah bin jarrah dan para pasukannya).
Perang yarmuk adalah prasasti sejarah yang telah bersaksi bahwa banyaknya jumlah tak akan berarti apapun tanpa ada kekuatan lain yang membentenginya.
Tentu anda ingat tentang achilles dengan pasukan myrmidonnya? Yang kemudian menjadi inspirasi akan pentingnya sebuah pasukan khusus yang memang berjumlah terbatas.
Jauh sebelum pasukan berbendera hitam di sejarah mitologi yunani itu terbentuk, khalid sudah memiliki pasukan serupa. Dan kali ini, pasukan yang langsung berada dibawah komandonya itu harus berhadapan dengan 40ribu prajurit di sayap kiri romawi! Ya, 40ribu prajurit. Lalu berapa pasukan khusus khalid? 100 orang.
Anda pun tahu. Satu orang kopassus, yang merupakan pasukan terbaik ketiga di dunia saat ini, “hanya” mampu melawan 5 orang. Iya, pasukan elite terbaik ketiga setelah SAS dan MOSSAD itu setara dengan 5 orang pasukan. Dan saat itu, satu pasukan khalid harus bisa berhadapan dengan 400 pasukan lawan. 400! Dan ini bukan jackie chan atau jet li. Ini perang sungguhan,men. Kalian heran? Saya pun juga. Tapi itulah iman.
Anda tak perlu memiliki iman untuk menjadi prajurit hebat. Tapi anda tak akan menjad besar jika tak memiliki iman. Atau setidaknya, anda tak bisa sebesar khalid. Seperti yang sering saya katakan pada adik-adik mentoring saya. Jika ingin menjadi pemimpin hebat, apalagi untuk taraf uns, cukup pelajari teori-teori kepemimpinan. Baca buku-buku leadership dan belajar dari pemimpin yang telah diakui kepemimpinannya, lalu kalian pasti akan menjadi hebat. Setidaknya, anda akan mendapat pengakuan untuk itu. Tapi untuk menjadi besar dan mendunia, kalian perlu rumus lain. Dan itulah iman. Karena dengan iman, Allah lah yang akan menjadi mentormu. Yang akan menunjukkanmu cara-cara yang tak pernah tertulis di buku ciptaan manusia.
Khalid dan pasukan khususnya benar-benar membuat romawi kelabakan. Mata-mata para budak dunia itu terbelalak. Terpukau dengan kepahlawanan kaum muslim, terutama khalid. Dan sekali lagi, sejarah merekam percakapan khalid. Kali ini dengan jurjah, panglima romawi yang didadanya masih tersisa seidikit keimanan.
“khalid, apakah Allah telah menurunkan sebilah pedang kepada nabimu dari langit, lalu pedang itu diberikannya kepadamu, sehingga setiap kau hunuskan terhadap siapapun, pedang itu pasti membinasakannya?”
Khalid menjawab “tidak”
“lalu mengapa engkau dijuluki ‘si pedang Allah’?”
Khalid berucap “sesungguhnya, Allah mengutus Rasul-Nya kepada kami. Diantara kami ada yang percaya dan ada yang mendustakannya. Dahulu, aku termasuk yang mendustakannya. Lalu, Allah menjadikan hati kami menerima islam, dan memberi petunjuk kepada kami melalui rasul-Nya. Kami berjanji setia kepadanya. Rosul mendoakanku, dan beliau berkata kepadaku, ‘engkau adalah Pedang llah diantara sekian banyak pedang-pedang-Nya. Demikianlah aku diberi julukan ‘Pedang Allah’.”
“apa yang kalian serukan?”
“mengesakan Allah dan kebenaran Islam”
Jurjah memastikan “apakah orang-orang yang masuk islam sekarang akan mendapat pahala dan ganjaran seperti kalian?”
“ya.. bahkan lebih” khalid mantap.
“bagaimana mungkin, padahal kalian lebih dahulu masuk islam?”
Khalid berucap “kami hidup bersama Rasulullah, kami melihat tanda-tanda kerasulan dan mukjizatnya. Orang-orang yang melihat tanda-tanda dan mukjizat yang kami lihat dan mendengar ayat-ayat Allah serta sabda Rasul yang kami dengar, sudah sewajarnya masuk Islam dengan mudah. Sedangkan kalian yang tidak melihat dan mendengarnya, lalu kalian beriman kepada perkara-perkara yang ghaib, maka pahala kalian lebih besar jika kalian benar-benar ikhlas.”
Sejurus kemudian, jurjah mendekatkan kudanya kearah khalid, lalu dia berkata “ajarkan padaku tentang islam, wahai khalid”
Lalu dia sholat dua rokaat. Sebagai tanda bahwa iman telah memenuhi hatinya dengan segera. Dan bahwa Allah telah menggugurkan dosa-dosa yang telah dia perbuat. Panglima romawi itu kini telah ber-islam. Dan saat kedua pasukan kembali bertemu setelah masa istirahat, panglima gagah itu berperang di barisan kaum muslimin. Dia kejar cita-citanya yang baru dia temukan. Dan dia mendapatkannya. Gugur sebagai syuhada.


*Simak episode selanjutnya dari "serial kesempurnaan peperangan khalid"  yang insyaallah akan segera terbit di blog kesayangan anda. dokterberpeci.blogspot.com :)



Sabtu, 03 Agustus 2013

Pak Presiden Harus Bisa Ngaji

Negeri ini akan segera bangkit. Karena sejauh ini, wanita-wanita mulia di negeri ini terus melahirkan pemuda-pemuda penerus nafas perjuangan bangsa. Mereka tak terpengaruh dengan isu murahan bahwa jumlah manusia harus dibatasi. Dan tunas-tunas baru itu terlahir dengan membawa harapan. Harapan bahwa mereka lah yang akan menjadi permata zamannya. Dan saat ini, biarlah generasi kami yang mempersiapkan mereka. Biarlah kami -mungkin- tak merasakan nikmatnya kejayaan karena kami harus berjuang. Tapi kami ingin tersenyum di liang kubur kami. Karena kami menjadi bagian dari keberhasilan bangsa ini. Jika negeri ini mau berubah, memang ada sekian banyak sektor yang harus dibenahi. Dan di sektor pemuda, biarlah kami yang akan membenahinya.


UNS dan dinamika didalamnya memang selalu menyajikan warna berbeda dalam kehidupan saya. Termasuk akhir ramadhan ini. Di masjid yang berdiri megah itu, pemuda-pemuda UNS yang -lima sampai sepuluh tahun kedepan- akan memegang kendali  negeri ini, berkumpul dan melakukan kerja-kerja menakjubkan, saat orang-orang diluar mereka sibuk dengan dengkuran dan buaian mimpi.
Pemandangan yang saya jamin anda tak akan bisa menemukannya di tempat lain. Perhatikan pada sekumpulan  pemuda itu. Mereka berjalan kaki, satu barisan. Menyusuri tepian dengan kemerlip kedip lampu-lampu jalanan. Ada canda. Ada tawa. Ada bibir yang tersungging. Ada dagu yang mengernyit. Dan ada pukulan ringan menghantam jidat mereka. Bergantian. Berbalas-balasan. Hari itu, dunia milik mereka.
Lewatlah mereka, pada satu dua tiga komunitas yang berbeda. Komunitas yang mengumbar canda, tawa dan bahagia –yang sebenarnya mereka pun mempunyainya-. Dan mereka menjadi pusat perhatian. Aneh mungkin. Melihat sekumpulan pemuda bersarung, berpeci, menyusuri jalanan yang telah sarat dengan hedonisme. Melewati sekumpulan komunitas “anak gaul” dengan pedenya, tanpa peduli apa kata mereka. Walau sekarang mereka telah dicap sebagai “orang asing” bahkan di negeri yang membesarkan dirinya sejak bayi. Dan di moment-moment seperti itulah, saya rengkuh bahu saudara saya, dan saya katakan padanya “kita lihat saja. 5 tahun kedepan, siapa yang bakal memimpin negeri ini. Kita apa mereka”.
Sejurus kemudian, mereka sampai pada tempat yang sama. Bangunan kokoh megah tinggi besar itu, orang-orang menyebutnya sebagai masjid.
Ada yang lebih mempesona. Saat anda sempatkan untuk melirik ke dalamnya. Masjid yang berdiri megah itu tak ada apa-apanya dibanding megahnya pemandangan yang tersaji di dalamnya. Mereka masih muda. Hampir sama usianya. Hidup ditengah-tengah masyarakat yang semakin hari semakin kehilangan jati diri. Berbaur dengan lingkungan yang semakin memaksanya untuk masuk kedalamnya. Tapi saat ini, mereka berkumpul. Melakukan aktifitas yang sama. Mereka bertasbih, memuji tuhannya. Mereka bertakbir, rukuk dan sujud dengan gerakan sama. Senada, seirama. Hati mereka bertaut. Fikiran mereka selaras. Coba bayangkan, andai satu diantara mereka, satu saja dari mereka dilukai, berapa orang yang akan maju membelanya?
Semakin merangkaknya bulan ke tengah peraduan, keadaan semakin menakjubkan. Mereka sama berdiri. Berjajar dalam shaf-shaf yang tersusun rapi. Tangan mereka terangkat. Takbir. Memuji penciptanya. Menggetarkan bangunan kokoh di sekelilingnya.  Mereka larut, dalam indahnya kalimat-kalimat tuhannya. Ada isakan pelan mewarnai malam itu. Indah. Sungguh indah. Lalu dengarkan gemuruh rukuk mereka. Adakah mereka menyembah tuhan yang berbeda? Lalu serempak mereka tersungkur. Mengikrarkan bahwa tak akan ada ceritanya mereka menyembah sesamanya. Mendeklarasikan bahwa kedudukan mereka sama. Tak kan pernah terulang perbudakan, tak kan bisa hidup yang namanya kesewenang-wenangan. Karena tak mungkin mereka menginjak saudaranya smentara mereka sama-sama bersujud.
Di shaf paling depan, hanya seorang yang berdiri. Suaranya merdu mendayu. Menggetarkan sekian banyak hati. Hati yang memang terdesain untuk menerima kalimat-kalimat ini. Mempesona. Suaranya membuat orang-orang di belakangnya menangis. Kelopak matanya bengkak. Tak tertahankan, air mata itu mengucur pelan mebasahi kedua pipinya. Apakah karena suara itu, lalu mereka menangis? Bukan. Karena apa yang dia baca. Tapi, suara merdu itu menjadi faktor.
Sungguh indah saya bayangkan. Lima sampai sepuluh tahun kedepan, istana kepresidenan itu benar-benar telah menjadi mushola. Di sepuluh malam terakhir bulan ramadhan, para pemimpin negeri ini telah siap dengan shaf-shaf yang berjajar rapi. Pak presiden yang selama ini belum terkenal dengan kemampuannya menjadi imam, saat itu benar-benar membuat orang-orang dibelakangnya menangis mengingat dosa-dosanya. Malam itu, beliau benar-benar menunjukkan bahwa tak perlu waktu lama bagi negeri ini untuk keluar dari krisis yang selama ini menimpanya. Dan jalan keluar itu, dia lah yang pertama kali membukanya. Lhoh, sombong berarti? Memamerkan kesholehan? Gak ada urusan. Saya hanya ingin negeri ini tahu, bahwa dia punya pemimpin yang memang pantas untuk memimpinnya. Apakah hanya itu tolak ukurnya? Mungkin bukan. Tapi setidaknya, untuk syarat tersebut dia telah lulus. Presiden memang harus pinter ngaji. Lha kenapa? Oke, lihatlah pemimpin kita saat ini. Kalau urusan mereka dengan tuhannya saja nggak beres, bagaiamana mungkin mereka mengurus rakyat ini? Pantesan aja.. hehe. ups. :o
Adakah yang lebih indah selain mengetahui bahwa negeri ini mempunyai calon pemimpin yang bisa diandalkan?  Walaupun saat ini mereka belum tampil, saya pastikan bahwa masa-masa itu akan datang. Dan sekarang, kami sedang merintisnya. Mau ikut bersama kami?