Selasa, 06 Agustus 2013

Jangan Sampai Masa Tuanya Berakhir Di Panti Jompo

 Kulihat dari garis kelopak matanya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu memperhatikanku di waktu kecil hingga kini
Kulihat dari raut wajahnya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu menasehatiku di waktu kecil hingga kini
Ku lihat dari mahkota di atas kepalanya yang mulai memutih
dan aku tahu bahwa dia selalu memikirkan keadaanku di waktu kecil hingga kini

      Tak sengaja melirik berita infotainment salah satu channel TV swasta bersama keluarga dirumah yang menayangkan kunjungan beberapa selebriti ke Panti Werdha Budi Mulia Jakarta tiba-tiba saya teringat ketika Rapat Koordinasi Nasional ISMKI di Jakarta dulu saya juga pernah berkunjung kesini bersama mahasiswa kedokteran seluruh Indonesia. Saya tak akan bercerita banyak tentang Rakornas ataupun  tentang berita gosipnya, tapi saya akan mengajak anda berpikir tentang orang tua anda.

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al-Mu’minun : 14)

        Karena saya tau pembaca blog ini adalah rata-rata pemuda yang belum pernah merasakan jadi orang tua, jadi saya ingin anda merasakan perasaan orang tua. Guys, sejak kita masih berupa sepasang spermatozoid dan ovum, emak kita udah rela merelakan tubuhnya untuk tempat kita bersemayam, sejenak sebelum dunia yang keras ini menerima kita dengan syarat. Segagah dan seanggun apapun engkau sekarang tak lain adalah hasil konversi air hina dina dan telur dari bapak-ibumu, yang kemudian selama 9 bulan tubuhnya, mengkonversikanmu menjadi manusia seutuhnya seperti pada ayat diatas.
        Pun setelah kita lahir dan menatap ganasnya dunia, beliau berdua masih dan terus rela mempertaruhkan waktu, harta, kehormatan, atau bahkan nyawa untuk anaknya yang bahkan ladang lupa menyebut namanya dalam tiap doa. Tapi lihatlah realitanya saat ini, realita yang saya hadapi di panti jompo ini. Hampir 200-300 mbah-mbah ini hidup disini, ada yang baru saja ada yang sudah puluhan tahun. Kemudian saya menuju salah satu bed dan mengobrol dengan pemilik bed tersebut.
        Mbah Wakinah namanya, usianya sudah hampir 70 tahun kalau saya tidak salah ingat. Beliau lahir di Nganjuk, dan wah saya berasa ketemu sesama orang Jawa Timur di Jakarta yang sangat crowded ini. Kemudian saya lumayan banyak mengobrol dengan beliau, dan menanyakan kenapa bisa sampai di Panti Jompo ini. Kemudian beliau menceritakan kisahnya ketika jauh negeri ini baru saja merdeka tahun 50an beliau dari Nganjuk merantau ke Surabaya sebagai seorang pembantu rumah tangga, kemudian ketika majikannya ke Jakarta pun beliau juga mengikuti kepindahan sang juragan ke ibukota pula. Hingga akhirnya pergolakan orde baru, majikannya kembali ke Hongkong. Dan tak mungkin juga kan beliau mau ikut ke Hongkong, akhirnya terdamparlah beliau di panti jompo yang dikelola pemerintahan Ibukota ini.

(Foto saya dan Mbah Wakinah)

        Yang saya tanyakan adalah dimana anaknya? Kemudian beliau bercerita bahwa anaknya ternyata juga ada di Jakarta, kalau tidak salah bekerja sebagai tentara cetus beliau, entahlah pangkatnya apa di kemiliteran. Pertanyaan terbesar kedua di benak saya adalah kenapa beliau tak hidup bersama anak dan cucunya, pun di almari beliau juga tercantum kontak nomor handphone anaknya yang kalau ingin dijenguk beliau bisa menghubungi putranya lewat pihak panti. Ini anaknya mikir apa sih bisa-bisanya beliau ditinggalin disini, bukankah lebih enak kalau diajak tinggal serumah saja? Inilah yang ingin saya renungkan bersama.
        Guys orang tua kita sudah merawat kita sejak kecil, mempertaruhkan nyawa pula. Jangan sampai lah kita menjadi anak yang tak peduli pada orang tuanya. Ketika di masa tua harusnya beliau menikmati sisa-sisa hidupnya namun malah harus hidup di panti jompo dengan keadaan apa adanya. Seharusnya sebagai anak kita punya tanggung jawab besar merawat beliau dengan setulus hati, pun ketika kita sudah merasa melakukan apaun yang terbaik untuk orang tua kita. Kita tak akan pernah bisa membalas segala budi baiknya pada kita. Dalam hati sebenarnya saya ingin bertanya kenapa tidak tinggal sama anaknya saja mbah? Ah tapi saya tak tega. Toh beliau menuturkan bahwa beliau senang hidup disini, merasa lebih dekat dengan pencipta. Meski sudah berumur beliau tetap rajin sholat tahajud dan puasa sunnah, itu pun yang beliau wasiatkan pula pada saya. Beliau juga berpesan,”Sekolah yang pinter, cepet lulus jadi dokter. Kalau nyari istri yang baik sifatnya, gak usah cantik gak apa-apa le. Tetep ingat sama Yang Diatas, dan semoga hidupmu sukses kelak”. Ya itulah penutup pertemuan singkat saya dengan mbah Wakinah yang benar-benar membuat batin saya terenyuh.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.” (Al-Isra’ : 23)

Jangan sampai kau kehilangan satu pahala surga yang besar, hanya karena membuang kesempatan untuk tak merawat orang tuamu!

1 komentar:

  1. mengapa harus bercerita tentang mbah orang lain, sedangkan mbahmu menanti kau buatkan kisahnya :) salam rindu, mas. minal aidin wal faidzin :D


    -ur lil' sista-

    BalasHapus