Sabtu, 03 Agustus 2013

Pak Presiden Harus Bisa Ngaji

Negeri ini akan segera bangkit. Karena sejauh ini, wanita-wanita mulia di negeri ini terus melahirkan pemuda-pemuda penerus nafas perjuangan bangsa. Mereka tak terpengaruh dengan isu murahan bahwa jumlah manusia harus dibatasi. Dan tunas-tunas baru itu terlahir dengan membawa harapan. Harapan bahwa mereka lah yang akan menjadi permata zamannya. Dan saat ini, biarlah generasi kami yang mempersiapkan mereka. Biarlah kami -mungkin- tak merasakan nikmatnya kejayaan karena kami harus berjuang. Tapi kami ingin tersenyum di liang kubur kami. Karena kami menjadi bagian dari keberhasilan bangsa ini. Jika negeri ini mau berubah, memang ada sekian banyak sektor yang harus dibenahi. Dan di sektor pemuda, biarlah kami yang akan membenahinya.


UNS dan dinamika didalamnya memang selalu menyajikan warna berbeda dalam kehidupan saya. Termasuk akhir ramadhan ini. Di masjid yang berdiri megah itu, pemuda-pemuda UNS yang -lima sampai sepuluh tahun kedepan- akan memegang kendali  negeri ini, berkumpul dan melakukan kerja-kerja menakjubkan, saat orang-orang diluar mereka sibuk dengan dengkuran dan buaian mimpi.
Pemandangan yang saya jamin anda tak akan bisa menemukannya di tempat lain. Perhatikan pada sekumpulan  pemuda itu. Mereka berjalan kaki, satu barisan. Menyusuri tepian dengan kemerlip kedip lampu-lampu jalanan. Ada canda. Ada tawa. Ada bibir yang tersungging. Ada dagu yang mengernyit. Dan ada pukulan ringan menghantam jidat mereka. Bergantian. Berbalas-balasan. Hari itu, dunia milik mereka.
Lewatlah mereka, pada satu dua tiga komunitas yang berbeda. Komunitas yang mengumbar canda, tawa dan bahagia –yang sebenarnya mereka pun mempunyainya-. Dan mereka menjadi pusat perhatian. Aneh mungkin. Melihat sekumpulan pemuda bersarung, berpeci, menyusuri jalanan yang telah sarat dengan hedonisme. Melewati sekumpulan komunitas “anak gaul” dengan pedenya, tanpa peduli apa kata mereka. Walau sekarang mereka telah dicap sebagai “orang asing” bahkan di negeri yang membesarkan dirinya sejak bayi. Dan di moment-moment seperti itulah, saya rengkuh bahu saudara saya, dan saya katakan padanya “kita lihat saja. 5 tahun kedepan, siapa yang bakal memimpin negeri ini. Kita apa mereka”.
Sejurus kemudian, mereka sampai pada tempat yang sama. Bangunan kokoh megah tinggi besar itu, orang-orang menyebutnya sebagai masjid.
Ada yang lebih mempesona. Saat anda sempatkan untuk melirik ke dalamnya. Masjid yang berdiri megah itu tak ada apa-apanya dibanding megahnya pemandangan yang tersaji di dalamnya. Mereka masih muda. Hampir sama usianya. Hidup ditengah-tengah masyarakat yang semakin hari semakin kehilangan jati diri. Berbaur dengan lingkungan yang semakin memaksanya untuk masuk kedalamnya. Tapi saat ini, mereka berkumpul. Melakukan aktifitas yang sama. Mereka bertasbih, memuji tuhannya. Mereka bertakbir, rukuk dan sujud dengan gerakan sama. Senada, seirama. Hati mereka bertaut. Fikiran mereka selaras. Coba bayangkan, andai satu diantara mereka, satu saja dari mereka dilukai, berapa orang yang akan maju membelanya?
Semakin merangkaknya bulan ke tengah peraduan, keadaan semakin menakjubkan. Mereka sama berdiri. Berjajar dalam shaf-shaf yang tersusun rapi. Tangan mereka terangkat. Takbir. Memuji penciptanya. Menggetarkan bangunan kokoh di sekelilingnya.  Mereka larut, dalam indahnya kalimat-kalimat tuhannya. Ada isakan pelan mewarnai malam itu. Indah. Sungguh indah. Lalu dengarkan gemuruh rukuk mereka. Adakah mereka menyembah tuhan yang berbeda? Lalu serempak mereka tersungkur. Mengikrarkan bahwa tak akan ada ceritanya mereka menyembah sesamanya. Mendeklarasikan bahwa kedudukan mereka sama. Tak kan pernah terulang perbudakan, tak kan bisa hidup yang namanya kesewenang-wenangan. Karena tak mungkin mereka menginjak saudaranya smentara mereka sama-sama bersujud.
Di shaf paling depan, hanya seorang yang berdiri. Suaranya merdu mendayu. Menggetarkan sekian banyak hati. Hati yang memang terdesain untuk menerima kalimat-kalimat ini. Mempesona. Suaranya membuat orang-orang di belakangnya menangis. Kelopak matanya bengkak. Tak tertahankan, air mata itu mengucur pelan mebasahi kedua pipinya. Apakah karena suara itu, lalu mereka menangis? Bukan. Karena apa yang dia baca. Tapi, suara merdu itu menjadi faktor.
Sungguh indah saya bayangkan. Lima sampai sepuluh tahun kedepan, istana kepresidenan itu benar-benar telah menjadi mushola. Di sepuluh malam terakhir bulan ramadhan, para pemimpin negeri ini telah siap dengan shaf-shaf yang berjajar rapi. Pak presiden yang selama ini belum terkenal dengan kemampuannya menjadi imam, saat itu benar-benar membuat orang-orang dibelakangnya menangis mengingat dosa-dosanya. Malam itu, beliau benar-benar menunjukkan bahwa tak perlu waktu lama bagi negeri ini untuk keluar dari krisis yang selama ini menimpanya. Dan jalan keluar itu, dia lah yang pertama kali membukanya. Lhoh, sombong berarti? Memamerkan kesholehan? Gak ada urusan. Saya hanya ingin negeri ini tahu, bahwa dia punya pemimpin yang memang pantas untuk memimpinnya. Apakah hanya itu tolak ukurnya? Mungkin bukan. Tapi setidaknya, untuk syarat tersebut dia telah lulus. Presiden memang harus pinter ngaji. Lha kenapa? Oke, lihatlah pemimpin kita saat ini. Kalau urusan mereka dengan tuhannya saja nggak beres, bagaiamana mungkin mereka mengurus rakyat ini? Pantesan aja.. hehe. ups. :o
Adakah yang lebih indah selain mengetahui bahwa negeri ini mempunyai calon pemimpin yang bisa diandalkan?  Walaupun saat ini mereka belum tampil, saya pastikan bahwa masa-masa itu akan datang. Dan sekarang, kami sedang merintisnya. Mau ikut bersama kami?

6 komentar:

  1. Lanjut, Bro.
    seneng moco tulisan2mu..
    Tegas. Ga bertele-tele. Mengena

    BalasHapus
    Balasan
    1. tengkyu bro..
      smoga lebih banyak menginspirasi.. :)

      Hapus
  2. mau pak dokter,,,

    BalasHapus
  3. mantap pak dok... SEMANGAT terus buat tulisan" yg lain :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yoooh siap, semangat buat mampir kesini juga ya

      Hapus