Selasa, 31 Desember 2013

Gonjang-ganjing Dokter Layanan Primer, Masihkah Kita Tetap Diam?

      Rancangan undang-undang tentang pendidikan dokter yang dikaji di tahun 2012 akhirnya pada tanggal 11 Juli 2013 kemarin telah disetujui oleh DPR-RI dan telah diketok palu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi UU No. 20 tahun 2013. Akan tetapi UU ini dirasa masih mengundang kontroversi disana-sini, utamanya tentang kebijakan mengenai dokter layanan primer (DLP).


      Ada beberapa hal yang mungkin harus kita pahami terlebih dahulu tentang latar belakang dibuatnya UU No. 20 tahun 2013 ini, yang pertama adalah akibat pelayanan kedokteran yang belum  merata dan masih terpusat pada kota-kota besar. Berdasarkan  data  Kementerian  Kesehatan  (Kemenkes)  2012,  terungkap  bahwa  dari 9.510  puskesmas  yang  ada  di  Indonesia,  14,7%  di  antaranya  tidak  memiliki  tenaga dokter. Yang kedua, program dokter layanan primer adalah salah satu program kebijakan pemerintah yang disiapkan untuk menyongsong era baru sistem kesehatan di Indonesia, yakni Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang wacananya akan diberlakukan mulai 1 Januari 2014 besok.
      Namun banyak dari kita yang berkecimpung di dunia kedokteran ataupun masyarakat yang belum tahu tentang apa itu dokter layanan primer. Mari coba kita tilik sejenak pasal 8 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2013 yang berbunyi,”Program dokter layanan primer  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  merupakan  kelanjutan  dari  program profesi  Dokter  dan  program  internsip  yang  setara  dengan  program  dokter  spesialis.” Jadi dapat kita simpulkan bahwa dokter  layanan  primer  adalah  sebuah  cabang spesialisasi  baru setingkat dokter spesialis dan subspesialis  dalam  dunia  kedokteran  Indonesia yang ditujukan  untuk  memenuhi kualifikasi  sebagai  pelaku  pada  layanan  kesehatan  tingkat  pertama,  melakukan penapisan  rujukan  tingkat  pertama  ke  tingkat  kedua,  dan  melakukan  kendali  mutu serta kendali biaya sesuai  dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan  nasional.
      Jadi sudah jelas bahwa nantinya dokter layanan primer dan dokter umum sangatlah berbeda, dokter layanan primer jelas memiliki strata yang lebih tinggi setingkat spesialis dan subspesialis karena profesi dokter umum diharuskan menempuh pendidikan dokter layanan primer selama 2 tahun terlebih dahulu sebelum bisa masuk dalam sistem SJSN yang diharapkan pemerintah dapat menutup celah-celah sistem kesehatan yang ada selama ini. Lalu bagaimana nasib dokter umum nantinya? Dokter  umum  masih  bisa  berpraktek  seperti biasa  di  klinik  dan  rumah  sakit  swasta  yang  tidak  tergabung  dalam  SJSN  selama mereka memiliki izin untuk berpraktek. Namun ini akan menjadi tugas besar pemerintah untuk mengkonversikan para dokter umum yang sudah tergabung dalam sistem lama untuk menyiapkan dokter layanan primer di era SJSN nanti.
      Selain masalah dokter layanan primer, muncul lagi masalah kedua yang sudah saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Instutusi pendidikan yang berhak mengkonversikan dokter umum menjadi dokter layanan primer hanya dapat dilakukan oleh institusi pendidikan kedokteran berakreditasi A, atau institusi pendidikan kedokteran berakreditasi B yang bekerjasama dengan institusi pendidikan kedokteran berakreditasi A, seperti yang tertuang pada pasal 8 ayat 1 yang berbunyi,”Program pendidikan dokter layanan primer,  dokter spesialis, subspesialis, dan dokter  gigi  spesialis-subspesialis  hanya  dapat  diselenggarakan  oleh  Fakultas Kedokteran  dan  Fakultas  Kedokteran  Gigi  yang  memiliki  akreditasi  kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi”. Dan kemudian dijelaskan lebih lanjut di pasal 8 ayat 2,”Dalam  hal  mempercepat  terpenuhinya  kebutuhan  dokter  layanan  primer, Fakultas Kedokteran dengan akreditasi kategori tertinggi  sebagaimana dimaksud pada  ayat  (1)  dapat  bekerja  sama  dengan  Fakultas  Kedokteran  yang akreditasinya  setingkat  lebih  rendah  dalam  menjalankan  program  dokter layanan primer.”
      Kenapa ini menjadi masalah besar yang kedua? Karena pada kenyataannya dari 74 institusi pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia saat ini, hanya ada 17 institusi terakreditasi A, 21 institusi terakreditasi B, dan sisanya masih terakreditasi C atau bahkan belum terakreditasi. Otomatis sistem konversi dokter layanan primer ini hanya dapat dilakukan oleh 38 institusi, padahal jumlah dokter umum saat ini kurang lebih 85 ribu. Bisa kita bayangkan sendiri bagaimana ruwetnya sistem kesehatan di negara ini beberapa tahun kedepan. Ironis memang ketika pemerintah menyiapkan suatu kebijakan yang tujuannya memang baik namun beberapa lini yang ada saat ini masih perlu disiapkan lagi. Bagaimana mungkin para dokter umum yang ada saat ini dikonversi untuk menjadi dokter layanan primer namun institusi pendidikan kedokteran yang berfungsi sebagai alat konversi jumlahnya seakan-akan dibatasi.
      Penerawangan awam saya berkata, nampaknya SJSN di tahun 2014 nanti akan belum bisa berjalan maksimal, kemudian agenda MDG’s dan Indonesia Sehat 2015 juga akan mengalami banyak kendala dengan sistem kita yang masih belum stabil saat ini. Paling cepat sistem ini dapat mulai berjalan stabil sekitar tahun 2016. Beberapa minggu lalu DIKTI dan Kementerian Kesehatan melalui sosialisasi teleconfrence juga menyampaikan bahwa UU No. 20 tahun 2013 akan terus dikaji lebih lanjut dan akan dibuat Peraturan Pemerintah serta Peraturan Menteri untuk lebih menegaskan keberjalanannya nanti.
      Sebagai insan manusia yang sudah terlanjur masuk dunia kedokteran dan kesehatan, tentu isu yang ada saat ini akan berdampak besar bagi kita kini maupun nanti. Hal ini dikarenakan undang-undang ini mengatur kegiatan kedokteran dimulai dari pendidikan kedokteran itu sendiri hingga bentuk pelayanan kedokteran di masyarakat. Sangat memprihatinkan apabila masih banyak mahasiswa kedokteran yang masih kurang aware atau bahkan tidak tahu-menahu tentang isu ini. Padahal apabila isu ini dapat dikawal dengan baik, bukan hanya kita yang mendapatkan sisi positifnya, masyarakat, dan negara pun juga akan ikut merasakan dampaknya.
      Dari sini sebuah pertanyaan besar muncul di hadapan kita semua, apakah kita akan berdiam diri saja menanggapi isu yang secara efek global dapat berdampak pada diri kita? Mari kita bersama-sama mengkaji dan mengkawal isu ini. Harapannya agar proses pengawasan dari mahasiswa ke pemerintah dapat berjalan secara maksimal dan hasil yang menjadi tujuan dari UU No 20 tahun 2013 ini dapat tercapai. Salam hangat dari saya, HIDUP MAHASISWA!!!

Sabtu, 28 Desember 2013

Karena Kita Hanyalah Pemimpin Manusia


-..Mereka tidak akan sedikitpun menaruh respek kepada anda saat yang anda berikan kepadanya hanyalah kata “salah”. Seseorang hanya akan memberi respek kepada pribadi yang menarik bagi dirinya. Dan mengatakan “salah” pada orang lain, tidak akan membuat anda menarik dihadapan mereka..-


Tepat beberapa jam yang lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat. Saya duduk di depannya sambil mebolak-balik buku motivasi ber-label national best seller. Saya tertarik pada halaman awal buku ini. Di lembar ucapan terimakasih, sepertinya penulis lupa mengucapkan terimaksih kepada istri tercintanya. Justru di baris paling awal, beliau menuliskan terimakasih pada para kliennya. Ah, bukanlah masalah besar saya fikir. Tapi saya tertarik untuk menceritakan hal ini pada orang di depan saya. Lucu juga sepertinya.

Diluar dugaan, sahabat saya malah mengajak saya untuk mendiskusikan sebuah hal. Kata dia “di satu sisi, orang-orang seperti itu terkadang tidak jauh beda dengan penjilat, bro. Dia ngomong hebat di depan orang banyak, tapi kesehariannya sendiri? Aku yakin dia tak sehebat omongannya”. Pupil saya melebar “maksudnya bro?”.

Lalu dia menceritakan sebuah kejadian. Kami punya seorang kakak tingkat yang sudah pantas disebut sebagai motivator. Jam terbangnya cukup tinggi. Mengisi disana-sini. Suatu saat, sahabat saya ini berada dalam sebuah forum bersama sang motivator. Ada masalah teknis, dimana forum tersebut memerlukan layar LCD. Dan sampai waktu dimulainya acara, layar LCD yang dicari belum ketemu. Ada usulan untuk memakai punggung almari. Karena warnanya coklat, sang motivator ini mengatakan bahwa tampilannya tidak akan terlihat dengan baik. Benar memang. Namun dia hanya usul. Dia hanya bicara, tanpa inisiatif untuk membantu. Itu dia masalahnya. Dan sahabat saya menyimpulkan “kebanyakan orang seperti itu, pribadi mereka tak semenarik omongannya.”

Hmm.. seru juga kata-katanya. Lalu saya mencoba menyampaikan pendapat saya terkait hal ini.

Ada sebuah kekeliruan yang seharusnya tidak dimiliki oleh para pemimpin. Saya katakan bahwa saat anda memilih menjadi orang biasa-biasa saja, hal ini mungkin tidaklah terlalu penting bagi anda. Namun saat anda memilih untuk menjadi pemimpin, perhatikanlah dengan baik satu hal ini. Bahwa anda tidak bisa -atau tidak boleh- mengharapkan kesempurnaan pada orang lain.
Mungkin anda bermasalah dengan cara berdandan sahabat anda yang kurang rapi. Mungkin anda jengkel dengan gaya bicara teman anda yang terlalu kasar. Anda tidak suka dengan sahabat anda yang terlalu banyak bercanda. Anda risih dengan cara berjalan teman anda yang terlalu lembek. Anda emosi dengan hal-hal kecil yang dilakukan orang lain yang tidak sesuai dengan “standart” hidup anda.

Sebagai pemimpin, anda tidak bisa –atau tidak boleh- berlaku demikian. Terimalah fakta bahwa sifat yang paling manusiawi dalam diri manusia adalah berbuat kesalahan. Kesalahan dalam bentuk apapun.

Itu pertama. Kedua, Jangan pernah membenci orang lain karena kebiasaan mereka yang tidak sama dengan kebiasaan kita. Terimalah kenyataan bahwa orang lain punya hak untuk berbeda. Kita boleh tidak sepakat dengan apa yang dilakukan orang lain. Namun kita tidak boleh membenci mereka karena hal itu.

Ketiga, anda harus memahami bahwa, saat anda tidak suka jika orang lain mengatakan “salah” kepada anda, orang lain pun demikian. Mereka tidak akan sedikitpun menaruh respek kepada anda saat yang anda berikan kepadanya hanyalah kata “salah”. Seseorang hanya akan memberi respek kepada pribadi yang menarik bagi dirinya. Dan mengatakan “salah” pada orang lain, tidak akan membuat anda menarik dihadapan mereka.

Begitulah. Jika kita membiarkan fikiran kita menilai orang lain dengan standart kesempurnaan kita sendiri, kita pasti akan menemukan keburukan pada semua orang yang kita temui. Pun sebaliknya, saat kita mengatur fikiran kita untuk berfikir baik tentang orang lain, kita akan menemukan sekian banyak hal menarik dari orang lain, dan itu akan membuat kita semakin dekat dengan mereka. Apa sih yang dibutuhkan pemimpin selain kedekatan dengan orang-orang yang dia pimpin?
Saya fikir, tidak ada. Karena kita bisa mencintai seseorang tanpa memimpinnya. Namun kita tidak bisa memimpin orang lain tanpa mendapatkan cintanya.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk sahabat saya di pesantren. Saya belajar banyak dari anda, bro! mari sama-sama belajar

Kamis, 26 Desember 2013

Merangkai Kata Bahagia


Setengah 6 pagi. Saat tiba-tiba saya terjaga karena berisiknya teriakan seorang kawan. Masih sangat lelah saya rasakan. Semalaman saya melembur pekerjaan yang baru ditugaskan untuk periode setahun kedepan. Namun bagi saya, secapek apapun, harus ada tempat untuk seorang kawan. Karena ketika kita memberikan tempat untuk mereka, artinya kita memberi tempat untuk kebahagiaan.

Setengah sadar saya beranjak dari mushola. Tempat ini memang paling nyaman untuk tidur selepas subuh. Bagaimana dengan hotel berbintang 5? Saya fikir tak lebih nikmat daripada tidur di mushola. Di satu sisi, itu yang saya yakini. Di sisi lain, saya memang belum pernah tidur di hotel berbintang 5. Haha.

Agenda pagi itu adalah main bola. Hampir dua kali seminggu saya main bola. Pertama karena hobi, kedua karena berdasarkan ilmu yang saya pelajari, olahraga itu meningkatkan hormon endorphin, hormon kebahagiaan. Lihat saja yang tidak pernah olahraga, wajah nya pasti tak secerah pecinta olahraga.

Seperti biasa, pekerjaan memeras keringat selalu menghabiskan banyak waktu. Satu setengah jam sudah cukup membuat kami kehabisan nafas. Selesai satu pekerjaan, maksimalkan pekerjaan berikutnya. Begitu kata Allah dalam kitabNya. Maka selepas di lapangan, pertandingan kami lanjutkan ke warung makan. Dan ini tak kalah seru. Karena yang pertama, kami pasti akan mengobral tawa. Kedua, kami akan menjadi guru yang baik bagi si empunya warung. Dan materi yang kami ajarkan adalah tentang kesabaran. “mas, teh anget 1, air putih 1”. Mas-mas yang ramah ini pasti bilang “oke mas”. Tak lupa dia tersenyum, semanis mungkin. Satu jam kemudian, masih dengan senyuman, mas-mas ini pasti bilang “sudah mas?”. Namun bedanya, senyuman kedua ini tidak dicampur gula.

Tak jelas siapa yang memulai, tema pembicaraan kami pagi itu adalah kebahagiaan. Dimulai dari mensyukuri keberadaan kami di pondok, bercerita tentang kekonyolan-kekonyolan yang kami lakukan bersama, dan tentunya, rasa kasihan kami kepada saudara-saudara kami yang tidak pernah merasakan keadaan ‘senikmat’ kami. Kami memang tidak punya banyak mobil untuk dipakai bergantian ke kampus tiap hari, bahkan ada sahabat kami yang tak punya kendaraan lain kecuali kedua kakinya. Ada pula yang harus naik angkot ke kampus karena jarak memang cukup jauh. Kami memang tak punya gadget mahal dengan Operating System yang selalu baru.

Untuk saat ini, kami memang tak punya itu semua. Tapi kami tahu bagaimana cara membuat teman kami tersenyum. Kami tahu apa yang harus kami lakukan saat sahabat kami bersedih. Pun kami tahu bagaimana cara tersenyum saat kami sedang bersedih. Kami tahu apa itu bahagia. Kami tahu bagaimana mendapatkannya, dan bagaimana memberikannya pada sahabat-sahabat kami.
Sampai akhirnya, kami sampai pada sebuah kesimpulan.

Kebahagiaan, adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kebutuhan lain. Kita punya banyak sekali kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan akan pujian, kasih sayang, harta, kekayaan, dan kebutuhan duniawi lainnya. Semua harus terpenuhi. Dan sesuai fitrah manusia, setelah terpenuhi, mereka akan menambah. Setelah bertambah, mereka akan menumpuk. Begitu seterusnya. Kadar kepuasan mereka akan bertambah seiring dengan banyaknya harta yang berhasil mereka kumpulkan.

Namun ketika semua ruang untuk kebutuhan dunia dalam dirinya telah terpenuhi, dan mereka tersadar bahwa ruang kebahagiaan itu ternyata masih kosong, mereka hanya akan mencari cara bagaimana menukar semua yang dia miliki untuk mengisi ruang kosong dalam kehidupannya.     
Kebahagiaan adalah nilai tukar yang harus ada untuk menikmati kebutuhan lain yang telah terpenuhi. Dalam hal harta misalnya. Saat uang kita banyak, hanya kebahagiaan yang bisa membuat kita mengerti bahwa uang banyak itu adalah nikmat. Pun sebaliknya, hanya kebahagiaan yang bisa membuat kita menyadari bahwa uang sedikit itu bukanlah kiamat.

Suatu saat ketika kami juga punya ‘dunia’ semewah itu, kami tak perlu lagi mencari cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Karena saat ini, kami tahu bagaimana caranya.





Selasa, 24 Desember 2013

Pemimpin Dalam Sudut Pandang Pemimpin

      Beberapa minggu lalu saya mendapat undangan dialog bersama tokoh-tokoh nasional, oke saya akan sedikit bercerita tentang hasil dialog tersebut dan cara pandang saya terhadap para pembiacara yang notabene para pemimpin di Negara ini, pun mungkin tak menutup peluang beliau-beliau ini yang akan menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dialog Kebangsaan ini adalah salah satu event yang digagas oleh Pol-Tracking Institute yang diketuai oleh bapak Hanta Yuda MA dan bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS), yang pada kali ini juga menjadi moderator pada Dialog Kebangsaan hari ini.


      Bicara masalah dialog kita pasti bertanya siapa pembicaranya. Pembicara pertama adalah mantan sempalan salah satu pentolan partai kuning yang kini Menjadi Ketua Umum partai Hanura, mantan Menko Polkam tahun 1999-2003. Seorang Jenderal Besar yang mendampingi runtuhnya orde Baru era Soeharto, dan juga orang yang turut serta membangun orde Reformasi di zaman Habibie dan Abdurrahman Wahid, tak lain dan tak bukan adalah Jenderal purnawirawan Dr. Wiranto, SH., MH.
      Pembicara kedua adalah salah satu dari tiga kepala daerah teladan, dimana dua diantaranya  adalah Gubernur Jakarta Joko Widodo dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia periode 2010-2015, dan saat ini juga menjabat di periode keduanya sebagai Gubernur Sulawesi Selatan dengan segudang prestasi yang telah disematkan padanya. Doktor yang menempun semua jenjang pendidikan tingginya di Universitas Hasanuddin ini adalah Dr. Syahrul Yasin Limpo, SH., Msi., MH. Dan pembicara ketiga adalah mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke-2 yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menggantikan Amien Rais di tahun 2004. Pria kelahiran Klaten 8 April 1960 ini adalah Dr. Hidayat Nur Wahid, MA.

      Entah apa yang mendasari Pol-Tracking Institute mengundang ketiga pembicara tersebut, namun logika dangkal saya mengatakan cepat atau lambat orang-orang ini yang juga akan masuk bursa calon manusia nomor satu di negara ini untuk beberapa tahun kedepan.
      Oke setelah ini saya akan cantumkan beberapa poin yang saya catat dari ketiga pembicara tersebut. Yang pertama bapak Wiranto beliau pada awal presentasinya membahas tentang makna perubahan dari berbagai versi mulai definisi menurut beiau sendiri dan menurut buku-buku yang beliau rujuk, nah suatu kebanggan probadi ketika beliau menyebutkan beberapa buku karya Rhenal Kasali PhD, karena 2 diantaranya adalah buka yang saat ini sedang saya baca, yakni Change! dan DNA Recode. Beliau juga merujuk salah satu ayat Quran, surat Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka”. Kemudian beliau memaknai bahwa perubahan itu adalah sebuah keniscahyaan dari Tuhan yang pasti akan selalu ada, namun Tuhan pun tak akan melakukan perubahan karena Dia hanya berlaku sebagai wasit atau penengah, dan yang bertindak mengubah ini semua tak lain dan tak bukan adalah manusianya sendiri. Perubahan adalah keadaan berbeda dengan yang ada saat ini, entah itu lebih baik ataupun lebih buruk, tentunya kita selalu menginginkan perubahan yang lebih baik. Kita tak bisa terus-menerus mengandalkan aset negara yang bisa habis, yang perlu diperbaiki dan diandalkan adalah manusia-manusianya. Yang diubah bukan sistem, tapi manusianya. Negara ini butuh orang yang punya integritas, kompetensi, moralitas, pengetahuan dan, spiritual yang baik untuk menciptakan manusia-manusia luar biasa tersebut. Satu hal terpenting yang harus dikuasai seorang pemimpin adalah berpikir dengan cepat, dan memutuskan dengan tepat.
      Yang kedua saya juga mengutip beberapa kata-kata dari Bapak Gubernur Sulawesi Selatan saat ini, Bapak Syarul Yasin Limpo. Beliau berbicara bahwa tak ada seorangpun yang bisa menjamin perubahan di tahun-tahun mendatang, tapi setiap rakyat harus bisa membawa eksistensi negara ini, bukan hanya presiden tapi semua pihak bertanggung jawab atas kemajuan negara ini. Presiden harus cerdas, tidak spekulati dalam mengambil keputusan dan kapabilitasnya harus sudah teruji serta punya pengalaman memerintah yang baik. Dia harus tau konflik di tataran pemerintahan yang lebih rendah, bukan hanya di tingkat negara.
      Kemudian di paragraf ini saya akan menuliskan beberapa kutipan dari Bapak Hidayat Nurwahid. Beliau berbicara bahwa pemimpin itu bukan tiban, bukan orang yang tiba-tiba jatuh dari langit, tapi pemimpin adalah orang yang benar-benar dicetak, digembleng, dididik puluhan tahun sehingga benar-benar teruji pengalamnnya. Sejarah selalu memberikan bukti bahwa kita berjuang untuk negara ini sendirian, banyak pahlawan-pahlawan yang telah gugur mendahului kita, dan sudah sepantasnya kita melanjutkan semangatnya dalam bentuk perbuatan. Siapapun yang akan memimpin negeri ini demokrasi akan tetap terus berjalan, tapi rakyat juga harus punya visi untuk negara ini, jadi jangan hanya salahkan pemimpin kalau negara ini tak maju. Oleh karena itu kita semua punya kesempatan emas untuk menentukan pemimpin yang lebih baik. Oh ya satu hal lagi pesan beliau yang masih terngiang di benak saya,”Kalau mau jadi pemimpin besar, nikah sama orang Solo seperti Pak Amien Rais, Pak Akbar Tandjung, Pak Tifatul Sembiring, Presiden Soeharto, dan masih banyak lagi yang lain.” Benar-benar ini lelucon sesat yang merasuki pikiran saya.
      Siapapun mereka, apapun yang mereka katakan, setiap dari kita bertanggungjawab untuk menyajikan keadaan negara yang lebih baik. Mari kita bergerak serentak dan mengepakkan sayap Garuda agar ia mampu terbang tinggi kembali!!! Hidup Mahasiswa!!!

Sikap Terbuka Dan Toleran Di Tengah Pluralisme Dakwah Kampus

      Islam adalah satu-satunya agama yang memandang bahwa setiap individunya terlahir sebagai seorang da’i, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Namun demikian, jelas diterangkan di Al-Quran bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin yang berarti Islam adalah agama yang universal dan ditujukan kepada seluruh umat manusia, dan kita sebagai manusia berstatus Muslimin wajib memastikan setiap orang menghirup nafas dakwah yang kita hembuskan.

      Menjadi problematika besar ketika kita harus menegakkan dakwah kampus  di tengah masyarakat mahasiswa yang amat sangat heterogen, heterogenitas disini tidak hanya terbatas pada hubungan interaksi dengan sahabat kita yang beragama lain, namun juga dengan penganut Islam yang lain dimana setiap dari kita memiliki pemahaman yang berbeda dalam beragama. Di sisi lain kita dituntut agar orang lain mengerti dan menganut seruan kita kepada kebaikan, padahal dakwah harus melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijakan, perhatian, dan kesabaran. Dengan kata lain meski kita memiliki pemahaman yang berbeda, dakwah tetap harus dicapai melalui pengertian dan kasih sayang.
Beberapa ayat dalam Al-Quran mengajarkan bahwa Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan, menghendaki adanya versi dakwah yang luas cakupannya, antara lain:
1.      Dakwah harus memecahkan kebutuhan mendasar orang akan jaminan kesejahteraan, karena hal itu sesuai dengan norma-norma keadilan sosial dan kerjasama persaudaraan.
2.      Dakwah harus ditujukan untuk menghidupkan kembali semangat Islam melalui pendidikan yang layak yang menjadikan setiap Muslim duta yang potensial bagi Islam.
3.      Dakwah harus memberi tuntunan bagi umat manusia, menawarkan makna bagi hidup, memajukan solidaritas manusia dan mendorong perubahan sosial.
4.      Dakwah harus dilakukan dalam semangat kebersamaan dan dengan cara bersama-sama, ini yang paling penting.
      Hal pertama yang harus kita sikapi ketika akan berdakwah di masyarakat mahasiswa luas adalah menjauhkan diri dari ekstremisme. Karena ekstremisme (qulluw) secara empatik membahayakan posisi Islam itu sendiri, atau bahkan boleh dibilang bertentangan. Indikasi pertama ekstremisme adalah fanatisme dan sikap tidak toleran terhadap cara beragama mahasiswa lain. Ekstremisme tampak pada mahasiswa yang menolak untuk mengubah pendapatnya dan berpegang teguh pada prasangka serta kekakuan. Keadaan ini terkadang diperparah dengan statement keras yang mengembangkan kecenderungan untuk menuduh orang lain sebagai bid’ah kufur dan sesat. Boleh jadi keberagaman cara beragama yang dilakukan mahasiwa lain disebabkan karena mereka belum paham, mungkin juga mereka sudah paham namun memiliki mazhab atau prinsip yang berbeda. Disini kita harus bisa menyikapinya dengan cara yang terbuka dan fleksibel, komunikasikan dengan cara yang baik.
      Mengutip salah satu kata-kata Abu Ishaq Al-Syatibi di salah satu bukunya Al-I’tisam,”Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring ke arah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-lahan.” Untuk mencegah hal-hal seperti itu, dan untuk menanamkan keseimbangan dalam beragama, penerimaan dan toleransi dalam umat Islam, hal utama yang diperlukan adalah kefektifan dakwah kepada kaum Muslimin sendiri. Karena bagaimana mungkin bisa kita mengajak orang lain untuk mengikuti ideal-ideal Islam seperti tasammuh (toleransi), i’tidal (moderasi) dan ‘adl (keadilan), jika kita sendiri sebagai Muslim tak bisa melakukannya secarah holistik dalam hubungan internal kita.
      Nomor dua yang perlu kita bicarakan ketika berdakwah adalah bagaimana kita bisa berkomunikasi dan berbicara sesuai bahasa kaum yang sedang kita dakwahi, perintah itu jelas sekali tertuang pada Al-Quran. Makna tekstual “sesuai bahasa kaum” disini amatlah luas, disini kita harus bisa paham siapa yang kita ajak bicara, bagaimana karakternya, bagaimana pola pikirnya, serta berbagai hal-hal lain yang kiranya bisa memberikan kita jawaban dan cara agar kita bisa sefrekuensi dengan lawan bicara kita. Karena dakwah yang efektif membutuhkan pendekatan yang berubah-ubah dan metodologi dakwah yang sesuai dengan objek dakwah itu sendiri.
      Memahami arus mendasar pemikiran mahasiswa yang cenderung idealis merupakan modal awal dalam mengkomunikasikan pesan-pesan Islam. Sering kali kurangnya atau tidak memadainya informasi tentang penerima dakwah membuat hasil kerja dakwah masih amat sangat jauh dari kata memuaskan. Itulah sebabnya kita disini harus biasa menyikapi dan tetap menghargai berbagai macam pola pikir tiap individu mahasiswa lain.
      Inilah kiranya beberapa point penting yang bisa saya sampaikan, semoga bisa menjadi titik terang perjalanan dakwah kampus yang kita emban saat ini. Sikap terbuka dan toleran adalah hal mendasar dari semua point-point besar disini. Terus semangat untuk berdakwah dan sajikan perubahan besar untuk diri kita sendiri dan orang-orang disekitar kita. Allahuakbar!!! Hidup Mahasiswa!!!