Senin, 15 Desember 2014

Panelis Senior Itu Mengajak Kita Memilih Mereka



Mengapa tulisan pertama saya yang berjudul “belajar dari panelis senior” itu saya buat?

Tulisan itu saya buat sebagai tanggapan atas berita yang muncul sebelumnya. Anda tahu lah berita yang mana. Berita itu terlalu menggiring pembaca untuk tidak memilih capres-cawapres kita bersama, karena –menurut pesan tersirat dari berita itu-, berdasarkan debat kemarin, pasangan capres-cawapres itu  terlihat sebagai calon yang tidak layak untuk dipilih. Terbukti dari jawaban yang “tidak keren” atas “pertanyaan keren” yang diajukan salah satu panelis.

Boleh nggak berita kayak gitu? Ya itu mah terserah yang menulis, kan? Semua orang mempunyai hak untuk ber-opini dan menggiring orang untuk mengamini opininya. Maka sekali lagi, itu urusan mereka.

Nah sama juga, tulisan itu saya buat sebagai penyeimbang. Agar pembaca menyadari, bahwa poin-poin yang digunakan dalam berita tersebut untuk menggiring pembacanya agar tidak memilih, sebenarnya tidak layak kita amini bersama-sama. Ada beberapa potongan berita yang sengaja tidak dimasukkan kedalamnya, sehingga berita menjadi tidak lengkap, dan imajinasi publik juga ikut-ikutan terkorup. Dan itulah cara untuk menggiring opini para pembaca, dengan berita yang tidak penuh serta terpotong-potong.

Lalu kenapa di tulisan pertama saya, saya juga tidak melengkapi kontennya? Diawal tulisan tersebut saya sudah mengatakan bahwa, tulisan itu dibuat sebagai respon atas berita yang muncul sebelumnya. Maka, saya hanya membahas hal-hal yang juga dibahas di berita sebelumnya. Lebih tepatnya, membandingkan. Agar pembaca mempunyai sudut pandang yang lebih luas, dan tidak serta merta mengamini apa yang ditulis si pembuat berita.

Dan di tulisan ini, saya akan melengkapinya. Singkat saja. Tapi ini penting.

Setelah “menghajar” habis-habisan sang capres-cawapres dengan pertanyaan unik dan mematikan, mas bowo, sang panelis senior yang menjadi aktor di perbincangan kita, memberikan konklusi yang membuat panggung debat riuh dengan tepuk tangan. Beliau mengatakan:

“dari sekian banyak yang nonton, yang punya nyali, yang siap dan berani ya kedua capres-cawapres yang di depan.”

Di akhir debat itu beliau juga menyadarkan kepada kita pentingnya memilih. Terlepas dari apa yang beliau sampaikan sebelumnya bahwa andai beliau jadi mahasiswa UNS beliau tidak akan memilih –ini yang dijadikan jurus bagi si penulis berita agar kita tidak memilih-, beliau tetap mengajak kepada kita untuk menghormati keberanian empat rekan kita yang mau memperjuangkan nasib kita bersama. Caranya? Ya dengan memilih mereka! Hebat!

Jadi inti dari tiga tulisan yang saya sampaikan selama hiruk pikuk pemira kali ini adalah:

Mereka berempat itu adalah orang yang dengan rela mewakafkan diri mereka, waktu mereka, harta mereka dan bahkan mungkin jiwa mereka untuk kebaikan kita bersama, dan untuk kebaikan UNS kita tercinta. Maka hargailah mereka, dengan mendukung mereka disaat ini (pemira) dan mengawal kerja-kerja mereka disaat nanti (setelah terpilih). Yok, kalau semua urusan digarap bareng-bareng, kan dadi gayeng to cah? Hehe.

Selamat mencoblos ya.. Ingat, 17-18 desember 2014. #rockyourvote

Muhammad Syukri Kurnia Rahman
Baktinusa 4 UNS

*Tulisan ketiga saya: Ya yang kita baca ini. Hehe


NGAPAIN MILIH?!!

Ini kisah tentang sebuah kampung, di jajaran bukit barisan. Kampung kecil nan indah. Sepenggal surga ditengah-tengah hamparan surga, indonesia.

Kampung ini akan segera memilih pemimpinnya, seorang kepala kampung yang akan memimpin warganya beberapa tahun kedepan. Hanya saja, tak ada yang berminat memegang jabatan itu. Tak ada yang mau, tak ada yang tertarik. Itu satu masalah, yang harus segera diselesaikan.

Belum selesai satu masalah, timbul masalah baru yang membuatnya semakin seru. Namanya Haji Sohar, seorang juragan dari kota. Baru enam bulan jadi warga baru di kampung itu, dia sudah berani mencalonkan diri sebagai kepala kampung. Apakah itu dilarang? Tidak. Hanya saja, itu tidak etis. Terlebih saat akhirnya warga kampung tahu bahwa Sohar membayar seseorang untuk menjadi tim suksesnya. Namanya lihan. Tak ada yang tahu berapa uang yang dia terima dari shoar, yang jelas semenjak itu, wak Lihan benar-benar menjadi garda terdepan untuk mempromosikan Haji Sohar. Bahkan dia yang menjadi kurir untuk menyalurkan uang-uang sogok haji Sohar ke warga kampung agar mau memilihnya.

Pecahlah “keributan” di kampung itu. Warga kampung ramai menggunjingkan Wak Lihan dan Haji Sohar. Membuka aib-aib Haji Sohar yang belum tentu benar, mengatakan Wak Lihan orang yang harga dirinya bisa dibeli, dan aneka rupa gunjingan-gunjingan yang sungguh tidak enak dimasukkan ke telinga kita.
Ada yang tidak nyaman dengan keadaan ini. Namanya syahdan, mantan kepala kampung yang sangat bijak. Ayah dari seorang bocah yang bernama Burlian Pasai.

Malam itu warga kampung duduk ramai di depan rumah panggung pak syahdan, melihat televisi milik pak syahdan yang sengaja diletakkan di depan rumahnya agar warga kampung juga bisa ikut meilhat. Seperti biasa, sambil melihat TV, mulut mereka juga tidak berhenti menggunjingkan Haji Sohar dan Wak Lihan.
Mendengar itu semua, telinga pak syahdan panas. Dia tidak tinggal diam. Untaian-untaian bijak keluar dari mulutnya, menyadarkan orang-orang yang masih picik memandang kepemimpinan.

Dan kini, simaklah penuturan seorang bocah bernama Burlian Pasai, tentang apa yang malam itu dia dengar dari sang ayah.

Dibandingkan kalian, setidaknya Lihan telah ‘memilih’... Astaga. Jangan-jangan kalian benar-benar tidak mengerti prinsip mendasar setiap kali kita memilih pemimpin?” Bapak balik menatap mereka dengan wajah berkerut.

Bukankah kalian tahu, bahkan untuk urusan perjalanan dua hari mengumpulkan damar di hutan kita diwajibkan memilih pemimpin. Pilihlah salah satu diantara kalian, pilihlah pemimpin yang kalian percayai.. Apalagi urusan kampung yang lebih penting.”

Aku paham, kita tidak selalu punya pilihan yang baik... Dalam kasus mengumpulkan damar tadi misalnya, katakanlah dari lima orang yang berangkat, tidak satupun yang pantas menjadi pemimpin; satu orang matanya rabun, jadi mudah tersesat di hutan; satu orang lagi egois, jadi dengan mudah bisa meninggalkan temannya; dua orang malah tidak pernah pergi ke hutan itu, jadi apa pula yang bisa dia lakukan kalau terjadi sesuatu; orang terakhir bahkan penakut dan mudah sekali panik, sungguh tidak memenuhi syarat.

Tapi meski tidak ada satupun yang pantas, tetap harus diputuskan siapa yang akan menjadi pemimpin rombongan. Itu teladan agama kita. Pilihlah yang paling sedikit keburukannya, yang paling sedikit membawa masalah diantara banyak masalah.”

Dan tidak hanya cukup sampai disitu. Setelah pilihan dilakukan, maka adalah kewajiban kita untuk mendukung yang terpilih, bantu dia dengan segala cara agar keburukannya tidak keluar, sehingga rombongan bukan hanya kembali dari hutan dengan selamat tanpa kurang satu apapun, tapi pulang dengan hasil damar yang berkeranjang-keranjang.”

Orang-orang berseru mendengar pejelasan Bapak. Beberapa mengangguk setuju, lebih banyak yang membantah dan bilang kalau urusan kepala kampung tidak sesederhana pergi ke hutan mengumpulkan damar.

Aku tahu kalian tidak suka dengan sohar. Jujur saja aku juga tidak suka dengannya. Terlalu tinggi hati dan menganggap rendah orang lain. Baru menjadi warga enam bulan sudah blak-blakan mencalonkan diri. Tetapi mau dibilang apa? Dia resmi mencalonkan diri. Kalau kalian benci, kenapa kalian tidak mencalonkan diri? Kenapa kalian tidak menunjuk salah seorang diantara kalian untuk melawannya dalam pemilihan? Itu lebih baik dibandingkan hanya sibuk menggunjingkan Sohar, dan sekarang mengolok-olok Lihan... Oi, aku pikir, dalam urusan ini Lihan lebih bermartabat dibandingkan kalian.”

Kawan-kawan.. Ini prinsip yang jauh lebih mendasar dari sekedar “kamu pilih yang mana”. Ini prinsip tentang “aku memilih atau tidak”. Tak ada satupun orang yang sempurna. Tapi apakah kaidah kepemimpinan mengharuskan kesempurnaan? Saya fikir itulah guna kontribusi kita. Kita memilih pemimpin yang punya lubang kekurangan, agar kita bisa hadir dan menutup lubang itu dengan kelebihan yang kita punya.

Saya bukan orang yang tepat untuk berbicara tentang kepemimpinan. Siapalah saya. Orang yang ilmunya terbatas macam saya rasanya tak pantas bertutur tentang hal-hal besar. Kalian jauh lebih mengerti tentang perkara ini. Perkara bahwa ketika kita memilih, sama saja kita memutuskan menjadi orang yang bermartabat. Terlebih lagi, kita memutuskan untuk tidak menjadi pengecut, yaitu mereka yang hanya bisa mengkritik pemimpinnya, lalu ketika ditanya “kamu memilih siapa” dia hanya bisa berkata “saya tidak milih”, dan ketika ditanya “lalu kenapa tidak kamu saja yang mencalonkan diri?”, dia hanya bisa termenung menyesali kesalahannya.

Kalau kita tidak suka dengan urusan birokrasi seperti ini, bukankah lebih bijak jika kita menyerahkannya kepada mereka yang mau mengurusinya? Kalau tidak mau mengurusi dan tidak mau menyerahkan kepada mereka yang mau mengurusi, lantas apa mau kita?

Yok, sama-sama kita belajar. Perkara memilih dan dipilih ini lebih dari sekedar siapa yang akhirnya benar-benar terpilih, tapi siapa yang akhirnya benar-benar memutuskan untuk tidak menjadi pengecut. Dan pada akhirnya, buktikan semuanya disini:

Pemira BEM UNS. Tanggal 17-18 Desember 2014. Silakan pilih nomor berapa saja. Sing penting nyoblos, cah. Ben sangarrr..

Jadi pertanyaannya, ngapain milih? Jawabannya, karena kita masih bermartabat. hehehe

Muhammad Syukri Kurnia Rahman
Baktinusa 4 UNS.

*percakapan diambil dari buku tere liye, Burlian

Rabu, 01 Oktober 2014

Cita-citaku Masih Sama, Menjadi Seorang Guru

Semua memori dan impian-impian itu masih ada, masih belum terkubur, dan bahkan semakin mencuat. Masih teringet jelas pelajaran Bahasa Indonesia ketika aku duduk di kelas 2 Sekolah Dasar

       “Ayo anak-anak tulis nama kalian dan cita-cita kalian, kemudian tuliskan juga alasannya kenapa”, intruksi Ibu Poedji ketika mengajar kala itu.
      Mungkin karena ayahku yang seorang guru atau memang jiwa guru sudah ada dalam diriku, meskipun kawan-kawanku kala itu menulis berbagai macam profesi seperti polisi, dokter, tentara, insinyur, dan aku kala itu menulis profesi guru.
         Semua masih belum berubah, bahkan sampai semester 6 ketika duduk dibangku SMA aku masih menulis guru sebagai impianku. Di papan absensi kelas hampir semua kawan-kawanku menulis UNAIR, UB, ITS, UGM, UNS, UI dan berbagai universitas lain sebagai tujuan kuliah selanjutnya, dan aku masih belum merubah impianku karena aku menulis UNESA di papan itu. Padahal, guruku SMA kala itu bahkan banyak yang menyarankan jadi dokter daripada aku menjadi guru. Dan banyak pula kawan-kawanku yang menganggap guru adalah pilihan terakhir mereka. Namun bagiku tak ada hal yang menyenangkan selain bisa berbicara didepan para murid dan kita begitu diperhatikan, itu saja yang aku inginkan, tak lebih. Dan kita tahu juga baha ilmu yang diajarkan akan selalu menjadi amal jariyah meski raga kita telah terpendam didalam tanah. Mungkin itu motivasi besarku untuk menjadi guru hingga saat ini.
         Namun semua berubah ketika aku hampir memilih Pendidikan Biologi sebagai tujuan kuliahku selanjutnya, namun ayah ingin sekali putra semata wayangnya jadi seorang dokter. “Sama-sama pelajaran biologi mbok dicoba pilihan pertama kedokteran dulu Masa iya Cuma anak dokter yang bisa jadi dokter, anaknya guru juga harus bisa jadi dokter”,nasihat ayah ketika aku mau memilih jurusan.
            Masih teringat pula ketika SNMPTN undangan aku memilih FK UI sebagai pilihan pertama dan FK UGM sebagai pilihan selanjutnya, dan sejak saat itu entah mengapa menjadi terlalu obsesif untuk masuk menjadi mahasiswa kedokteran yang bahkan tak pernah kubayangkan akan jadi seorang dokter. Tapi takdir memang sudah menjadikanku mahasisa kedokteran, di UNS. Sempat merasa kayaknya nyasar banget masuk disini, tapi lama-kelamaan aku bangga dan merasa bahwa memang disinilah tempat terbaikku.
            Meski sebentar lagi akan menerima gelar Sarjana Kedokteran tapi cita-citaku untuk menjadi guru masih belum padam. Setidaknya kini cita-citaku bisa sedikit upgrade yakni menjadi dosen. Yak dosen, akan senantiasa aku perjuangkan.
            Guru bisa mendidik seseorang menjadi seorang dokter, polisi, tentara, teknokrat, pengacara, hakim, dan berbagai profesi lain. Namun tak berlaku sebaliknya karena profesi-proesi tersebut tak bisa mendidik seseorang menjadi seorang guru. Betapa mulianya guru-guru kita di masa yang silam?

Punya Banyak Kekurangan? Coba Berpikir Ulang, Bisa Jadi Itu Sebuah Kelebihan

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7)
      Sering sekali terkadang kita kurang bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita. Berjuta-juta karunia baik secara fisik jasmani, rohani, hidup, lingkungan keluarga dan berbagai macam karunia yang lain. Dan ini yang baru saya sadari kemarin. Sering sekali kita mengeluh dengan apa yang telah diberikan Allah. Mungkin dulu kita sering mengeluh, atau bahkan sampai sekarang kita masih sering mengeluh, kenapa aku tidak dilahirkan dikeluarga fulan yang kaya dan orang tuanya baik, kenapa aku tidak dilahirkan tinggi dengan wajah yang enak dipandang, kenapa aku dilahirkan tidak pintardan tak mampu bersaing dalam hal akademis, dan begiru banyak pertanyaan mengapa yang muncul karena kita terlalu sering tidak bersyukur.
      Sama akupun begitu, sejak SD bertanya-tanya kenapa aku dilahirkan tidak tinggi dan gendut serta punya tahi lalat yang semakin besar di atas bibir. Sampai akhirnya ketika SMA aku mati-matian buat ngurusin badan, tapi kalau yang ini tentu saja untuk tubuh yang lebih sehat dan bugar. Tapi mungkin aku sedikit berpikir ketika memutuskan untuk melakukan operasi elektrokauter dengan tujuan mengambil tahi lalat yang hampir berdiameter 1cm diwajah untuk tujuan estetika. Tapi untuk masalah tinggi aku sudah tak punya harapan nampaknya dan jalan terakhir memang bersyukur, dan memang harusnya dari awal aku bersyukur. Harusnya lebih bersyukur lagi ketika Allah memberikan banyak sekali kelebihan yang aku miliki disamping memang setiap manusia juga punya kelemahan.
      Pasca KKN  kemarin berat badanku naik drastis, sehingga aku memutuskan untuk kembali melakukan program diet ketat. Genap sebulan melakukan latihan rutin di pusat kebugaran membuat berat badan turun 8kg serta beberapa bagian otot mulai mengalami hipertrofi dan hiperplasi, well tentu saja senang dong. Tapi bukan ini masalahnya, ketika jadwal latihan kaki kemarin aku bertemu dengan senior pusat kebugaran yang sudah 7 bulan lebih dulu rutin latihan. Jangan tanya berat badannya dulu jauh lebih diatasku. Kemudian beliau menawariku untuk diajari latihan kaki dengan beban dan intensitas lebih dari biasanya, tak ada kata lain selain “ya” tentu saja.
      Nah disinilah saya mulai berubah pikiran, pertama tentu saja dia menyoroti bentuk pahaku yang menimbun banyak sekali lemak “latihan kaki buat ngecilin paha ya?”, tanya dia. Kemudian ia memaksaku untuk squat dengan beban 2x15kg kanan kiri dengan tujuan menguatkan M.pectineus, M.adductor longus, dan M.gracilis. Setelah itu melakukan leg press untuk penguatan hamstring & quadriceps femoris dengan beban 2x110kg (ukuran pemula biasanya maksimal 2x40kg), tentu saja ini beban yang tak wajar untuk orang yang belum ada sebulan latihan di pusat kebugaran. Ketika sudah mulai kelelahan kemudian ia menasihati,”Pahamu itu gede, seharusnya kamu bersyukur dilahirkan secara anatomis seperti itu. Jangankan cewek yang lihat, cowok aja pengen punya paha besar gitu. Pertama kali aku lihat kakimu tu aku yakin kuat banget, makanya harus dipaksa buat berani pake beban yang berat banget. Orang body contest itu yang pertama dinilai bentuk paha, banyak cowok yang pengen kalau lihat pahamu itu. Mungkin sekarang kelihatan gendut banget, tapi ntar kalau udah kering dan lemaknya habis bentuknya bisa bagus. Ayo dikeluarin  lagi semangatnya”. Tentu saja aku sekejap berubah pikiran, dimana setiap hari selalu mengeluh kapan ini paha kurusan dan jadi kecil, tapi sekarang jadi semakin bersyukur dilahirkan dengan kondisi gendut paha. Kemudian latihan dilanjutkan untuk mengisolasi hamstring muscle yang biasanya dengan beban 40kg dinaikkan hingga 80kg, dan M.quadriceps femoris yang biasanya 40kg jadi 100kg (beban maksimal). Orang-orang banyak yang tak percaya memang dengan kekuatan kakiku untuk ukuran member belum ada 1 bulan, bahkan aku sendiri pun tak percaya.
      Tapi itulah makna dibalik setiap ciptaan yang Allah berikan pada kita. Mungkin kita berpikir bahwa banyak sekali kekurangan di fisik kita, ataupun kekurangan-kekurangan yang lain. Tapi cobalah berpikir ulang, bisa jadi Allah juga memberikanmu banyak kelebihan, atau bahkan hal yang menurutmu suatu kekurangan itu adalah suatu kelebihan, hanya saja kita belum tahu. Senantiasalah bersyukur, insyaAllah akan selalu banyak nikmat lagi yang akan Dia tambahkan untukmu. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Rabu, 30 Juli 2014

Menteri Pendidikan Yang Baru Harus Bisa Mendidik Moral!

      Sudah hampir 69 tahun negeri ini merdeka, namun nyatanya bangsa yang besar ini belum mampu mendidik anak bangsanya secara paripurna. Sistem pendidikan yang terus berubah-ubah seenak jidatnya, maupun para pendidiknya yang masih kurang terdidik untuk mendidik. Semakin getir rasanya saat sekolah sudah tak bisa lagi dipercaya seutuhnya untuk mendidik anak-anak kita, baik mendidik secara intelektual, moral, dan spiritual. Rasa-rasanya semakin jauh sekolah untuk bisa melakukan itu semua. Bahkan diperpahit dengan fakta-fakta sekolah menjadi tempat kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan berbagai macam penyimpangan-penyimpangan moral.


      Mengutip perkataan salah seorang pemuda yang telah membuat perubahan besar pada masanya,“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Rasa-rasanya itu semua hanya menjadi sebuah omong kosong warisan zaman belaka, bukan masalah pada redakturnya, tapi coba lihat realitanya saat ini. Saya yakin kalau Bung Karno masih hidup pada zaman ini, pasti beliau hanya bisa menangis pilu melihat pemuda bangsanya yang semakin hitam pekat. Apa mungkin bisa 10 pemuda yang cangkruk di angkringan warung kopi itu mengguncangkan dunia dengan obrolan-obrolan payah? Apa mungkin bisa 10 pemuda geng motor itu mengguncangkan dunia dengan suara derum knalpot yang bikin pekak telinga? Apa mungkin bisa 10 pemuda yang tawuran itu mengguncangkan dunia dengan batu-batu dan pentungan kayunya? Apa mungkin bisa 10 pemuda pemakai narkoba mengguncangkan dunia dengan jarum suntik dan penghisap ganja? Apa mungkin bisa 10 pemuda-pemudi yang genap 5 pasang itu sedang pacaran di sudut hotel melati mengguncangkan dunia dengan melahirkan bayi-bayi penggedor bangsa yang orang tuanya saja tak menginginkannya? Maaf kalau pikiran saya terlalu terbelenggu dengan apa yang membungkam panca indera pribadi, tapi inilah realitanya. Mana mungkin ada 10 pemuda yang bisa mengguncangkan dunia kalau moral saja mereka tak punya? Jangankan pemuda, bocah-bocah kecil bangsa ini sudah banyak juga yang seperti itu, Miris!
      Apa yang salah sehingga semua ini bisa terjadi? Mental! Mental bangsa kita yang sudah rusak. Keadaan ini diperparah dengan sistem pendidikan yang semakin acuh bersinggungan dengan masalah agama dan etika. Pendidikan kita sat ini hanya mulai bergesr orientasinya hanya berkutat masalah pengetahuan dan bagaimana menciptakan manusia-manusia pintar dan terdidik, tapi lupa bagaimana menciptakan manusia bermoral. Disadari maupun tidak, sistem pendidikan Indonesia yang seperti ini hanya akan menciptakan generasi robot yang hanya siap berpikir dan bekerja, bahkan bangga bisa bekerja menjadi karyawan peruasahaan luar negeri, yang  notabene mereka sebenarnya menjadi kacung-kacung di negeri sendiri. Mereka bukan manusia seutuhnya, karena manusia seharusnya punya etika dan perasaan. Masihkah kita sistem yang seperti ini akan bisa mengubah masa depan bangsa kita?
      Sempat saya berpikir bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita ketika zaman orde baru, mungkin memang masa pemerintahan Soeharto dulu banyak cacat demokrasi. Tapi lihat, para peserta didiknya -mahasiswa- kala itu adalah orang-orang terpelajar yang peduli nasib rakyatnya, punya rasa empati tinggi terhadap masyarakat, dan mereka mau bergerak dan berkorban untuk kepentingan masyarakat menengah kebawah, meskipun terkadang terlalu reaktif dengan sistem pemerintahan. Setidaknya mahasiswa Indonesia kala itu dididik untuk peka dengan lingkungan sekitar. Tidak seperti sekarang yang menciptakan generasi mahasiswa-mahasiswa individualistis yang hanya peduli masa depan pribadinya saja.
      Tidak bisa kita bohongi bahwa kita butuh sistem pendidikan baru yang mengedepankan agama, moral, dan etika. Apalah arti pintar jika tak punya hati. Siapapun  Menteri Pendidikan kabinet baru 2014-2019, saya cuma berharap kita bisa menciptakan manusia-manusia terdidik, tak hanya otaknya yang terdidik tapi juga hati, pikiran, dan perasaannya. Kalau masalah fundamental seperti moral saja kita tak punya, bagaimana kita bisa jadi bangsa besar yang bermoral? Nampaknya itu hanya impian kalau kita tak mau segera realisasikan dalam kerja nyata.

Pak Menteri Pendidikan yang baru, saya cuma berharap anda bisa menciptakan sistem pendidikan baru yang lebih mengedepankan moral. Terima kasih Pak!

Selasa, 29 Juli 2014

Memaknai Lebaran Idul Fitri dan Silaturrahmi ala Orang Indonesia

Budaya mudik dan berlebaran sambil bermaaf-maafan memang sudah mendarah daging di Indonesia. Idul Fitri memang seakan sangat ditunggu-tunggu kehadirannya. Ini di Indonesia. Kalau boleh saya ungkap di negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi, momen Idul Fitri bukanlah sesuatu yang terlalu besar. Setelah melakukan Sholat Ied bersama masyarakat Timur Tengah kembali ke rutinitas dan pekerjaan masing-masing kembali. Namun ketika Idul Adha mereka merayakannya justru dengan suka cita dan begitu meriah, bahkan masyarakat Timur Tengah mengatakan Idul Adha sebagai Idul Akbar (Hari Raya Besar). Well, tak masalah menurut saya “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.


Anda bisa bayangkan sendiri berapa besar perputaran manusia dan uang di Indonesia ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, bahkan manusia sudah tak mengenal nilai uang ketika lebaran Idul Fitri. Berapapun uang dan risiko yang dikeluarkan demi bisa berkumpul dan bersilaturahmi kepada keluarga mereka rela dan ikhlas melakukannya. Ini positifnya, Lebaran Idul Fitri di Indonesia merupakan suatu simbol Silaturrahmi yang sangat universal, bukan hanya umat muslim saja bahkan yang tidak beragama Islam banyak juga yang turut merasakan gegap gempita Lebaran.
Sebelum saya mencoba membahas  lebih jauh tentang silaturrahmi dari segi ilmiah saya akan bahas terlebih dahulu tentang ucapan-ucapan ketika Idul Fitri. Apa yang harus kita ucapkan ketika kita bersilaturrahmi ketika hari raya Ied? Banyak hadits dan ulama mengatakan bahwa yang diucapkan adalah “Taqobbalallahu minna wa minka/minkum” yang berarti “Semoga Allah menerima amalku dan amal amalmu/kalian”, minka untuk kamu (tunggal), dan minkum untuk kalian (jamak), kemudian yang diberi ucapan menjawab “Taqobbal ya kariim” yang berarti “Semoga diterima olah Allah yang Maha Mulia”. Disini saya mau meyebut bahwa itu adalah doa, doa yang diberikan setiap orang muslim kepada saudaranya ketika bertemu pada 1 Syawal, apa yang diterima? Tentu saja ibadah ketika bulan Ramadhan. Untuk haditsnya silahkan googling sendiri, sengaja tidak saya tuliskan.
Lalu kalau Indonesia ditambah “Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin” apakah boleh? Menurut saya boleh-boleh saja, namanya doa asalkan baik tak masalah. Di Indonesia Idul Fitri dimaknai sebagai hari dimana kita telah disucikan setelah melewati bulan Ramadhan, sehingga banyak orang yang menambahkan kata “Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin”. Yang perlu digaris bawahi adalah arti “Minal ‘aidin wal faizin” bukanlah mohon maaf lahir dan batin. Ini yang banyak orang salah kaprah. “Minal ‘aidin wal faizin” berarti “Kita kembali (fitrah) dan meraih kemenangan”. Serta penulisannya yang benar adalah MINAL ‘AIDIN WAL FAIZIN, tolong diperhatikan ya karena salah penulisan akan berbeda makna. Saya melihat orang Indonesia banyak yang salah tulis untuk ini. Jadi yang dimaksudkan doa tersebut adalah bahwa ketika hari Idul Fitri kita berharap telah kembali menjadi orang yang suci dan bersama-sama pada hari Idul Fitri meraih kemenangan setelah berjuang melewati Ramadhan. Terus kalau ada yang mengatakan ucapan yang orang Indonesia lakukan ini bid’ah? Monggo, memang ini bid’ah dan tidak ada di zaman Rosul Muhammad tapi menurut saya tak ada masalah dengan bid’ah hasanah (baik), toh ini juga doa yang baik.
Kemudian saya akan membahas sedikit tentang mengapa silaturrahmi bisa memperpanjang usia, artikel populer-ilmiah ini saya temukan di buku “Dalam Dekapan Ukhuwah” karya Ust. Salim A. Fillah yang telah diringkas dan disimpulkan sebagai berikut

Myriam Horsten adalah seorang dokter yang menekuni bidang khusus kesehatan jantung. Ada yang menarik perhatiannya di situ, daya tahan terhadap serangan jantung ternyata tidak berhubungan langsung dengan pola makan, gaya hidup, dan bahkan tingkat tekanan ketika mreka menghadapi persolan dalam kehidupan bermasyarakat.
             Aneh, justru orang-orang yang lebih lemah daya tahan jantungnya ini adalah orang-orang yang tinggal menyendiri dgn tenteram, jarang menghadapi persoalan pelik kehidupan, dan mereka menjalani hari-harinya dalam kemapanan, nyaris gejolak dan tantangan. ritme kehidupan mereka linier datar.
              Penelitian dilakukan selama bertahun-tahun. Dan akhirnya didapat kesimpulan. Orang-orang yang aktif dan banyak terhubung dengan sesama manusia dalam sehari mengalami berbagai guncangan emosi, mereka tertawa, bersemangat, bergairah, dan juga marah. Mereka frustasi, berelaksasi, bersedih, tegang, tersenyum, takut, cemas, optimis, tercerahkan. ksemua hal yang sangat emosional dan dipicu dari hubungan-hubungan dgn sesama ini mempengaruhi berbagai hormon, utamanya adrenalin yang turut serta mengatur ritme kerja jantung.
          "Jantung dalam kondisi semacam itu," kata Myriam Horsten, "adalah jantung yang berolahraga. Jantung ini menjadi terlatih dan kuat. Jantung ini adalah jantung yang sangat sehat." Dan sebaliknya, jantung orang yang kehidupannya datar-datar saja, tenteram-tenteram, dan lebih-lebih sangat kurang interaksi sosialnya memiliki variabilitas detak yang sangat kecil.
       Jadi bagaimana caranya menguatkan jantung kita? "Gampang," kata Myriam Horsten. "perbanyaklah hubungan dengan sesama"

Oke, semoga dengan artikel ini kita semakin tercerahkan ya tentang bagaimana Idul Fitri di negara kita tercinta ini dan bagaimana memaknainya dengan bersilaturrahmi. Semoga bermanfaat, salam Dokter Berpeci.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H


Taqobalallahu minna wa minkum, taqobbal yaa kariim
Segenap kru Dokter Berpeci mengucapkan

Minal 'aidin wal faizin
Mohon maaf lahir dan batin
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H

Minggu, 20 April 2014

Elektabilitas : Pertaruhan Antara Kredibilitas dan Popularitas

      Menjelang pemilu tahun 2014 ini nampaknya internet menjadi salah satu senjata ampuh yang digunakan untuk perang media. Perkembangan teknologi komunikasi makin tahun dirasakan semakin pesat. Terutama  dengan  munculnya  media  sosial  yang memfasilitasi  masyarakat  dalam  mengakses informasi dan jejaring sosial. Jejaring sosial inilah yang  kemudian  dimanfaatkan oleh  para kandidat politik  untuk  mendapatkan  dukungan  dari masyarakat  yang  sudah  melek  media  dan  sering bersikap kritis terhadap sebuah permasalahan. Pada praktiknya hal tersebut tidak akan mudah karena muncul isu ataupun wacana baru yang lebih dikenal dengan seduksi politik yakni kecenderungan politik di dunia virtual
      Akhir-akhir ini kita melihat banyak sekali rilis tentang data indeks korupsi partai peserta pemilu yang bertujuan memberikan gambaran profil partai kepada masyarakat luas melalui media online. Salah satu lembaga yang melakukan kajian dan rilis data yang paling sering muncul adalah @KPKwatch_RI. Lembaga ini memaparkan indekskorupsi partai mulai tahun 2002-2014 yang datanya diperoleh dari Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui website antikorupsi.org, serta beberapa website online lain seperti, polri.go.id, mahkamahagung.go.id, inokorupsi.com, kpk.go.id, korupedia.org, dan kejaksaan.go.id. Beberapa kali rilis data yang dilakukan @KPKwatch_RI mencantumkan logo ICW, tentu saja ini menimbulkan banyak sekali pertentangan. Bahkan ICW sendiri melalui akun twitternya @SahabatICW membantah rilis berita itu dilakukan oleh ICW, namun ternyata memang itu adalah data-data yang dikumpulkan @KPKwatch_RI dan dibuat hasil analisis, etika yang kurang pas adalah ketika @KPKwatch_RI mencantumkan logo ICW yang otomotis menimbulkan banyak opini publik. Masyarakat menilai bahwa data tersebut dikaji dan dirilis oleh ICW, namun ternyata ICW hanya menjadi rujukan data mentah yang digunakan @KPKwatch_RI. Setelah klarifikasi ulang ternyata @KPKwatch_RI melakukan kajian data dengan cara seperti ini:
  1. Buka website ICW antikorupsi.org, di situ ada “Search” dan “Dokumen”.
  2. Kemudian Download data ICW yang ada di menu “Dokumen”.
  3. Ada menu “Search” yang bisa kita isi dengan 2 suku kata, maka siapkan kata pencarian 2 suku kata tersebut untuk mencari kasus korupsi pada periode tersebut. Contoh: kita search dengan kata “Bupati Korupsi”, maka akan didapat puluhan berita bupati korupsi. Coba search dengan kata “Korupsi APBD” akan muncul puluhan link berita korupsi.
  4. Kemudian catat Nama, Jabatan, Kerugian negara, Kasus, Partai, Status yang ada di link hasil pencarian tersebut.
  5. Kemudian pisahkan berdasarkan partai, sehingga jelas hasilnya, seperti grafik dan tabel di sini.
  6. Ricek kembali nama-nama tersebut di website berita online lain untuk keakuratan data.
  7. Dari ribuan berita kasus korupsi, di dapatkan 300an nama kader parpol tersangkut. Setelah dipisahkan didapatkan hasilnya seperti ini.
  8. Selanjutnya dikembangkan dalam bentuk tabel atau grafik.
  9. Kelemahan, ada sekitar 1-2% data yang mungkin tidak masuk, atau seharusnya tidak masuk. Sangat mungkin ada nama misal: A mendapat vonis/status tersangka. Dalam prosesnya dibebaskan hakim, namun tidak diberitakan media. Jika terjadi hal demikian, mereka segera melakukan klarifikasi pemulihan.
      Demikianlah cara @KPKwatch_RI melakukan kajian data dan rilis kepada publik mengenai indeks korupsi partai. Saya belum tahu pasti siapa pemilik akun @KPKwatch_RI tersebut. Yang pasti itu bukan lembaga pemerintah resmi dan juga bukan lembaga nirlaba yang memang diakui kredibilitasnya seperti ICW.
Beberapa opini publik mengatakan bahwa @KPKwatch_RI adalah akun komersil buatan salah satu partai tertentu yang bertujuan mendongkrak nama baik partai-partai tertentu dan menjatuhkan nama baik beberapa partai yang lain
      Opini publik yang lain memaparkan mungkin hasil rilis data tersebut memang hampir mirip dengan fakta dilapangan. Karena memang secara logika awam cara kajian yang dilakukan oleh @KPKwatch_RI bisa dipertanggungjawabkan prosedurnya, namun untuk validitas data saya rasa kita belum bisa mempercayai sepenuhnya. Kalaupun memang data-data tersebut otentik dan valid tentu saja itu menjadi salah satu cara mencerdaskan masyarakat untuk menentukan pilihan pada pemilu 2014 melalui media masa online.
      Permasalahan yang perlu dijawab selanjutnya, andaikan memang data-data tersebut valid mengapa bisa terjadi partai-partai dengan indeks korupsi tinggi tetap memiliki tingkat elektabilitas tinggi di mata calon pemilih. Bukan malah turun elektabilitasnya, bahkan beberapa partai malah naik prosentase elektabilitasnya. Kira-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi elektabilitas partai, mungkin akan saya coba bahas beberapa.
Penyebab yang pertama adalah prosentase jumlah kader partai yang duduk di kursi wakil rakyat linear dengan jumlah kader yang terlibat korupsi. Itulah yang menyebabkan partai-partai besar jauh lebih banyak terlibat kasus korupsi. Kader-kader partai besar banyak sekali yang duduk di kursi DPR, DPD, dan DPR-D. Bahkan terkadang partai besar bias menguasai kurang lebih 15-20% kursi wakil rakyat, bahkan kadang lebih dari 20% kursi, otomatis dengan jumlah yang besar probabilitas kasus korupsinya pun juga meningkat. Begitu juga sebaliknya, apabila sebuah partai kecil dimana hanya sedikit kader partai yang duduk di kursi wakil rakyat otomatis probabilitas kejadian korupsinya juga makin kecil. Tentunya ini juga menjadi tanggungjawab partai besar untuk tidak hanya bersaing dalam perebutan kursi namun juga harus bersaing dalam tanggungjawab moral kader partainya.
      Penyebab yang kedua adalah, bahwa ternyata elektabilitas tidak berkorelasi dengan kredibilitas, dan malah justru jauh terpengaruh oleh popularitas. Iklan politik melalui televise sebagai sarana untuk mempromosikan figure dan performa baik partai politik maupun capres/cawapres. Partai dengan capres/cawapres populis cenderung memiliki elektabilitas tinggi. Secara tidak langsung menawarkan program kerja, misi, visi, dan janji politik lainnya yang berimbas pada perbaikan citra, popularitas, dan elektabilitas. Hal ini merupakan bagian dinamika politik yang layak untuk dibahas/dikaji. Hasilnya, menunjukkan bahwa iklan politik bias berdampak positif atau negative terhadap masyarakat,  tergantung dari frekuensi penayangan atau terpaan medianya, kualitas dan kuantitas iklan dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya,  serta sikap dan apresiasi politik.  Iklan politik berpengaruh terhadap efek kognitif.  Jika popularitas bias diraih lewat iklan politik,  maka dengan bermodalkan popularitas akan memperoleh elektabilitas, anggapan seperti ini dapat dibenarkan karena memang peluangnya besar tapi tidak mutlak.
       Penyebab yang ketiga menurut saya adalah masalah kekuatan partai yang dipengaruhi oleh sokongan dana. Semakin besar modal partai mereka jadi lebih bias membeli media dan menanamkan opini positif tentang partainya. Saat ini partai politik melalui media  massa dalam menghadapi Pemilu telah melakukan berbagai kegiatan baik secara terselubung atau terang-terangan.  Pesan politik dikemas dan ditayangkan dalam berbagai  media elektronik seperti di televise baik berupa iklan atau acara talk  show,  yang  dipandu langsung oleh host/penyiar dari stasiun televise penyelenggara. Penayangan iklan dan acara  talk show di televisi dianggap lebih efektif oleh partai politik dalam menyebarkan pesan kemasyarakat. Selain itu beberapa partai politik usut punya usut juga aktif memberdayakan simpatisan partainya untuk mendapatkan survey elektabilitas yang juga nanti berimbas untuk membentuk opini masyarakat. Dengan kata lain survey elektabilitas disini juga bias dibeli dengan tujuan mengarahkan opini publik untuk memilih partainya yang punya elektabilitas tinggi.
      Dan semua terjawab dengan hasil quick count pasca pemilu legislatif 9 April 2014 kemarin, dengan beragam "EFFECT" yang dibuat partai politik melalui figur populis ternyata terbukti sangat efektif meningkatkan perolehan suara. Dan sekali lagi terbukti bahwa popularitas bertengger lebih tinggi diatas kredibilitas untuk menuai elektabilitas.

Jumat, 18 April 2014

Anda. Titik.

Bercerita itu butuh teknik. Setidaknya agar cerita anda enak didengar. Setidaknya pula, agar orang tidak mengira bahwa anda sedang mengigau. Intonasinya harus pas. Tepat, mantap. Gesture tubuhnya harus menarik. Tangannya bergerak-gerak, dan kalau perlu, tubuhnya meliuk-liuk lincah. Sorot matanya tajam, tatapannya berganti-ganti. Raut mukanya harus sesuai. Jangan sampai saat cerita sedih, anda malah nyengar-nyengir sendiri. Aneh jadinya. Kata orang solo, wagu tenan.  Tapi itu semua, susah. Saya akui saya paling tidak bisa bercerita dengan gaya atraktif seperti itu. Saya penah mencobanya. Dan itu gagal. Total. Walaupun saya punya teman dekat juara mendongeng se-surakarta, tapi rasanya itu tak berarti banyak dalam masalah yang satu ini. Haha.
Kata stephen covey, sesuatu yang tidak bisa anda kendalikan, lupakan saja. Nah ini. Dalam beberapa hal , saya tidak terlalu sepakat dengan apa yang dia katakan. Tapi untuk masalah ini, sepertinya dia cukup benar. Saya mulai pusing memikirkan bagaimana saya bisa mengembangkan kemampuan saya dalam bercerita. Saya ingin menjadi pembicara hebat. Tentu kemampuan bercerita yang mumpuni menjadi sangat penting, right?
Selalu ada seribu jalan untuk melamar anak pak lurah! Asal anda tidak menyerah, saya yakin pak lurah bakal bilang “terserah”! hahaha. Saya baru menyadari sebuah fakta yang paling umum diantara kita. Orang cantik itu banyak. Ya kan? Itu fakta pertama. Fakta kedua, dua orang yang sama-sama cantik, dia tidak harus memiliki paras yang benar-benar sama persis. Bahkan berbeda sekali pun tidaklah mengapa. Ibunda aisyah cantik, fatimah putri rosul pun cantik juga. Paras mereka berbeda, tapi mereka sama-sama cantik. Jadi intinya, nggak penting mau ukuran hidung kita semancung apa, warna kulit kita seputih apa, mata kita sebulat apa. Yang penting, cantik. Iya kan? Lihat saja saya. Lihat baik-baik foto dibawah ini. Sudah? Nah sekarang, bandingkan dengan brad pitt. Bagaimana? Walaupun bentuk mata dan dagu berbeda, tapi tetap sama kan? Iya, sama kok. Serius nih? iya, serius. Yak, terimakasih banyak, kawan-kawan. Kejujuran anda memang tak perlu disangsikan lagi.

Dari fakta sederhana itu saya belajar sebuah kaidah: metode seperti apapun, cara penyampaian bagaimanapun, asal anda bisa menunjukkan bahwa yang anda sampaikan itu sesuatu yang besar dan hebat, anda akan dihargai. Titik. Tidak harus sama dengan gaya orang yang sudah kondang. Cukup jadi diri anda, dan tunjukkan bahwa anda pantas menerima hal yang sama.
Saya pernah satu panggung dengan motivator kawakan kampus. Beliau sudah malang melintang untuk urusan mengisi acara-acara kepemimpinan. Tentu karena sudah senior, peralatannya lengkap abis dah. Penampilan macho, cara berjalannya ”sangar”, instrumen penunjang materinya pun lengkap. Ada back soundnya segala. Sedangkan saya –karena waktu itu masih amatiran -, tanpa slide, tanpa back sound, tanpa apa-apa. Modal kertas contekan, kaos polo hitam, topi hitam, plus ditunjang dengan kulit saya yang tidak bisa dibilang putih. Pas, kan? Sempurna! Atas sampek bawah, item semua. Cuman imannya aja yang keliatan bening. Haha. Grogi awalanya. Apalagi beliau menyampaikan materi terlebih dulu. Situasi seperti ini cukup rumit untuk motivator baru seperti saya –waktu itu-. Kalau anda tampil setelah pembicara pertama, dan ternyata anda gagal membuat kesan baik, orang akan memberikan cap “pemateri kedua nya jelek. Mending yang pertama”. Cap itu ditujukan pada anda. Sekali lagi, cap itu dialamatkan kepada anda. Masih lebih mending jika anda yang tampil pertama, lalu gagal, dan pemateri berikutnya tampil cemerlang. Cap yang diberikan bukan untuk anda, tapi untuk keberhasilan pemateri kedua. “pemateri kedua bagus tuh”. Aman, kan? Masih mending tidak diingat, daripada diingat keburukannya. Hehe.
Saya amati dari awal bagaimana cara beliau menyajikan materi. Cukup menarik. Kan senior. Wajar saja lah. Lalu mata saya beralih ke audiens. Menerawang jauh ke arah mereka. Awalnya mereka semangat, namun lama-lama situasinya agak berbeda. Mereka mulai jenuh. Konsentrasi mereka menurun. Peserta putri yang memegang catatan dan bulpoin mulai menaruhnya satu persatu. Tentu ini bukan keadaan yang baik. Sayangnya beliau tidak merubah ritme dan cara penyampaian. Terus saja seperti itu. Menjelang akhir penyampaian,yang tersisa hanyalah beberapa anak, dengan serpihan-serpihan semangat yang masih tertinggal. Yang lainnya? Mereka terlalu sibuk mengurusi mata mereka yang merota-ronta untuk menutup . Apa yang salah? Konten. Itu dia. Beliau terlalu bergantung dengan “perlengkapan pendukung”, sedang koten yang disampaikan, sudah terlalu sering diulang-ulang.
“Kalian tahu apa itu mahasiswa? Maha. Besar. Lebih dari sekedar siswa. Kalian mendapat predikat maha. Hebat, bukan?”
Mungkin kalau kalimat itu disampaikan saat ospek, mereka akan manggut-manggut. Iya, benar. Kami dapet predikat maha. Ini pasti akan seru. Tapi forum ini sudah sangat jauh dari masa-masa ospek. Dan pasti mereka telah sering mendengar kata-kata doktrin seperti itu. Jelas bukan hal menarik lagi bagi mereka. Celakanya, beliau tidak mempertimbangkan hal-hal kecil seperti ini. Jadilah forum itu terasa kurang. Kurang spesial. Mereka ingin yang baru. Itu yang mereka cari, dan harus segera kita berikan –sebagai pemateri-.
Tibalah giliran saya. Belajar dari pengalaman kecil itu, saya membuat kesimpulan sederhana: membuat orang tertarik itu bisa dengan dua hal. Pertama penampilan. Kedua, isi pembicaraan. Jika tak bisa yang pertama, lakukan yang kedua.
Oke, beraksi! Ini panggungmu. Ini bagianmu. jadilah dirimu! Jangan jadi orang lain. Siapapun. bahkan yang terbaik sekalipun. Jangan jadi mereka. Audiens menunggumu tampil untuk berbicara, bukan menunggumu tampil untuk menirukan gaya orang. Yang ditunggu kau, bukan orang lain yang kau selipkan dibelakang dirimu!            
Kepercayaan diri saya meningkat. Seratus koma lima persen. Yah, nol koma lima itu tetaplah keragu-raguan, kawan. Wajar saja lah.  
Saya mulai tanpa salam. Saya minta mereka semua tutup mata. Saya bikin survey dadakan.
“siapa yang pacaran angkat tangan?” lantang saya teriakkan
 “selanjutnya. Yang ngerokok angkat tangan?“
“woi bro, yang buka mata kita doain jadi jomblo abadi. Bilang amiin”
“amiiinn” mereka serempak, lantas terkekeh.
“yang pernah berzina angkat tangan?”
 “yang pengen poligami angkat tangan?”
“yang udah punya rencana mau mati usia berapa dan kayak gimana angkat tangan”
“oke, yang mau melek, melek aja. Yang nggak mau, ya udah terserah elu”
“berdasarkan hasil survey, pria-pria di fakultas ini adalah penggemar berat poligami”
Hahaha. Semua tertawa.
“mau saya tunjukkan siap saja orangnya?” Sebagian anak beringsut
“kalian nih ya. Ngerjain soal ujian aja belum tentu bener, udah mikir poligami. Mau dikasih makan soal ujian tuh bini?” tawa mereka pecah kembali
“Tapi sayangnya, saat sebagian dari kalian berfikir jauh tentang poligami, kalian tidak ada yang memikirkan tentang bagaimana kalian akan mati. Mau mati seperti apa, kalian tak pernah merenungkannya.” Suara saya semakin tegas. Poin terakhir itulah yang saya jadikan awalan sebelum memulai salam. Mikrofon di tangan saya turunkan perlahan, lalu saya tatap mata meraka tajam tajam, sambil memanggut-manggut yakin. Entah karena setuju atau karena mengikuti gerakan saya, yang mereka juga ikut manggut-manggut. Lalu saya contohkan kisah sahabat yang memilih sendiri mau mati dengan cara apa. Lagi-lagi mereka mengangguk setuju. Oke, tugas pertama dan paling penting telah selesai: membuat mereka terpesona pada pandangan pertama. Entahlah, kata cermin yang setiap hari saya temui, saya memang mempesona. Kata dia sih, begitu. Entahlah.
Ah, inilah kelemahan saya. Entah berbicara, entah menulis, bahasan saya sering melebar. Jadi lupa kan, tadi kita mau bahas apa? Yak, itu dia. Bercerita. Intinya, saya tidak bisa menyajikan cerita dengan cara yang cetar membahana. Dan saya terlalu meributkan hal itu. Sampai akhirnya saya menyadari kaidah lain yang sama sederhananya: anda lebih mempesona dengan karakter kuat yang anda miliki, daripada anda harus menjejalkan karakter orang lain agar anda terlihat hebat. Saya tidak bisa bercerita dengan penuh kehebohan. Gerakan saya mungkin biasa biasa saja. Tidak bisa melenggak lenggok layaknya pemeran teater. Fine, tapi sepertinya saya bisa bercerita dengan diksi yang menarik, pilihan kata yang tepat, dan semangat yang berapi-api. Itulah karakter saya. Dan saya akan hidup dengan itu, besar dengan itu, membuat orang terpesona juga dengan itu. Kata orang, saya terlalu keras. Tapi bagi saya, itulah gunanya saya terlahir. Untuk melindungi orang-orang lemah dengan kerasnya karakter yang saya punya. Hahaha. Intinya saya bangga dengan karakter saya.
Jadi iti pembicaraan kita kali ini, jangan pernah menyamakan diri anda dengan orang lain. Eit, tapi bukan berarti anda tidak boleh meniru orang lain. Anda salah besar jika berfikir bahwa saya melarang itu. Hobi saya dari dulu adalah, mengamati orang berbicara. Mulutnya, gerak bibirnya, sorot matanya, gesture tubuhnya, bahkan sampai cara dia menundukkan kepalanya. Lihatlah  mata najwa edisi habibie hari ini. Lihatlah cara najwa shihab menghormati habibie. Dia tundukkan kepalanya untuk menunjukkan rasa hormatnya yang paling dalam. Hei, bukankah menundukkan kepala sedikit lebih rendah itu pekerjaan gampang? Ternyata tidak. Tanyakan saja pada anda, pernahkah anda sengaja melakukannya untuk menghormati lawan bicara anda? Itulah gunanya belajar. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mengamati pembicara yang baik, kita jadi tahu apa saja yang harus kita lakukan. Mengamati pembicara yang kacau, kita jadi mengerti apa saja yagn harus kita hindari. Sepakat?
Meniru boleh, namun jangan pernah menyamakan. Apalagi membandingkan. Diri anda terlalu istimewa untuk dibandingkan dengan orang lain. Siapapun dia. Bahkan yang terbaik sekalipun. Anda selalu punya sisi istimewa yang tidak dimiliki siapa saja. Itu punya anda. Ya, hanya anda yang mempunyainya. Maka, jadilah diri anda, tanpa pernah malu untuk mengatakan “inilah saya”.