Kamis, 14 November 2013

Kriteria Seorang Pemimpin Yang Layak Dipilih

      Pemilu maupun musyawarah untuk menentukan pemimpin bukanlah lagi hal yang jarang kita temui di era demokrasi seperti sekarang ini, termasuk kemarin ketika kita harus menetukan pilihan untuk Presiden BEM UNS, kemudian Presiden BEM FK UNS, dan tentunya Presiden RI april tahun depan. Terlepas dari masalah kepresidenan nampaknya pemilihan ketua organisasi mahasiswa juga akan santer isunya di beberapa hari kedepan di Fakultas Kedokteran UNS tercinta ini. Masyarakat maupun mahasiswa luas diberikan kesempatan untuk menilai siapa diantara mereka yang paling wajar dipilih. Al-Quran memberi petunjuk dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam upaya menjawab “Siapakah yang layak kita pilih?”


     Dari celah-celah ayat Al-Quran ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal itu hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.
      “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”, demikian ucapan putri Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam Al-Quran surah Al-Qashash ayat 26.
      Konsideran pengangkatan Yusuf sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir yang disampaikan oleh rajanya dan diabadikan pula oleh Al-Quran adalah: “Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami” (Yusuf:54)
      Ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai Ketua Panitia Pengumpulan Mushaf alasannya pun tidak jauh berbeda: “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasul menulis wahyu”. Bahkan Allah SWT memilih Jibril sebagai pembawa wahyunya, antara lain, karena malaikat ini memiliki sifat kuat lagi terpercaya. “Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati disana (di alam malaikat) lagi dipercaya”. (At-Takwir:19-21)
      Salah satu arti amanat menurut Rasulullah adalah kemampuan atau keahlian dalam jabatan yang akan dipangku: “Amanat terabaikan dan kehancuran akan tiba, bila jabatan diserahkan pada yang tidak mampu”, demikian lebih kurang sabda Nabi. Sahabat Abu Dzar, pernah dinasihati oleh Nabi SAW: “Wahai Abu Dzar, aku melihat engkau lemah. Aku suka untukmu apa aku suka untuk diriku. Karena itu, jangan memimpin (walau) dua orang dan jangan pula menjadi wali bagi harta anak yatim”.
      “Apabila amanat diabaikan, maka nantikanlah kiamat (kehancuran). Mengabaikannya adalah menyerahkan tanggung jawab kepada seseorang yang tidak wajar memikulnya”, demikian salah satu jabaran arti amanat.
      Tidak mudah terhimpun dalam diri seseorang kedua sifat tersebut secara sempurna, tetapi kalaupun harus memilih, maka pilihlah yang paling sedikit kekurangannya, dan lakukan pilihan setelah upaya bersungguh-sungguh untuk mendapatkan yang terbaik. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang dua orang yang dicalonkan untuk memimpin satu pasukan –yang pertama kuat tapi bergelimang dalam dosa dan yang kedua baik keberagamaannya namun lemah– beliau menjawab: “Orang pertama, dosanya dipilkunya sendiri sedangkan kekuatannya mendukung kepentingan umat, dan orang kedua keberagamaannya untuk dirinya, sedangkan kelemahannya menjadi petaka bagi yang dimimpin”. Inilah pertimbangan dalam menetapkan pilihan.
      Anda boleh menetapkan pertimbangan Anda, tapi ingatlah selalu sabda Rasul: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk satu jabatan yang berkaitan dengan urusan masyarakat sedangkan ia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnyaia telah mengkhianati Allah, Rasul, dan kaum Muslim”

Jabatan Adalah Amanah

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat” (An-Nisa’:58)


      Dalam Al-Quran, ada perintah menunaikan amanat kepada pemiliknya, disusul dengan perintah menetapkan putusan yang adil, kemudian dilanjutkan dengan perintah taat kepada Allah, rasul, dan ulil amr. Ulil amr disini adalah mereka yang memiliki wewenang mengelola urusan masyarakat, atau dalam kata lain kita sering sebut dengan pemerintah.
      Perurutan uraian ayat seperti ini menjadi petunjuk bahwa jabatan serta wewenang kebijakan dan pengelolaan, merupakan amanat yang bersumber dari Allah. Melalui orang banyak atau masyarakat, dan bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih sendiri siapa yang mereka inginkan untuk maksud tersebut. Dan mau tidak mau urusan amanat itu harus bisa kita lakukan dengan sebaik-baiknya, karena sedikit saja kesalahan yang dibuat maka jangan heran itu akan mencelakai banyak orang. Pun pertanggung jawabannya langsung antara kita sebagai orang yang dititipi amanat dengan Sang Pemberi amanat itu sendiri.
      Ketenteraman dan stabilitas adalah harga mati kebutuhan mendasar akan kehidupan bermasyarakat, dan itu semua tidak akan terwujud tanpa ada satu arahan pasti. Disinilah undang-undang dan peraturan bermain peran sehingga setiap seluk beluk kehidupan ini tidak ada yang tidak diatur. Undang-undang konstitusional untuk Islam sendiri tentulah Al-Quran, dimana sifatnya yang boleh saya bilang amat sangat rigid dan tidak mungkin dilakukan tinjauan kembali dan revisi. Di negara ini UUD 1945 menjadi poros utama pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun setiap orang yang mendapat amanat, berarti berhak mengelola undang-undang yang ada agar stabilitas dan ketenteraman itu tercapai. Dari sini, semua masyarakat betapapun kecil dan bersahaja, sadar ataupun tidak, mengangkat penguasanya masing-masing. Dengan demikianlah terlihat kesejalanan ayat diatas dengan logika dan kenyataan masyarakat manusia secara luas.
      Jabatan bukan hak pribadi ataupun turunan, mesi kita sempat melihat handover tahta dari bapak ke anak pada sistem hierarki raja-raja terdahulu. Karena itu jangankan sogok, “hadiah” sekecil apapun yang diterima pemegang amanat yang ada kaitannya dengan jabatan maka itu terlarang untuk diterima. Ketika seorang pejabat pada masa Nabi menerima hadiah dan enggan menyerahkannya pada kas negara, maka Nabi bersabda, “Cobalah dia duduk di rumah ibunya, apakah ia diberi hadiah?”
      Wewenang mengelola adalah sesuatu yang berharga dan bukan sekedar memainkan peran agar skenario terus berjalan sambil dibayar, pun banyak orang yang bilang jabatan adalah hal yang “empuk”, sehingga boleh jadi ada yang salah langkah guna mendapatkannya. Dalam hal ini, Nabi bersabda: “Demi Allah, kami tidak mengangkat sebagai pejabat yang (kasak-kusuk) memintanya”. Beliau juga berpesan: “Jangan kasak-kusuk mencari jabatan karena apabila engkau memperolehnya tanpa kusak-kusuk, engkau akan dibantu Tuhan. Allah menurunkan malaikat mendukung langkahmu”.
     “...... jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang menyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya degan baik”. Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifariyang meinta jabatan kepada beliau.
     Nabi juga bersabda: “Apabila amanat disia-siakan, maka nantikanlah kehancuran”, ketika ditanya: “Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Beliau menjawab: “Apabila wewenang pengelolaan diserahkan kepada yang tidak mampu”.