Selasa, 20 Agustus 2013

Anda Hebat. Maka Perlakukan Semestinya!


Ingat dua hal ini sewaktu menghadapi orang: pertama, orang lain itu penting. Semua manusia penting. Akan tetapi ingat pula. Anda juga penting. Jadi, sewaktu berhadapan dengan orang lain, biasakanlah berfikir “kita adalah dua orang penting yang sedang duduk bersama untuk membicarakan sesuatu demi kepentingan dan keuntungan bersama.” - David  J Schwartz-. Sekali lagi ingatlah hal ini. Kita adalah dua orang yang sama-sama penting.

Ada hal menarik yang saya pelajari dari karya seorang David  J Schwartz. Simaklah apa yang dia tuturkan dalam buku the magic of thinking big.
Beberapa bulan yang lalu. Seorang usahawan menelepon saya untuk mengatakan kepada saya bahwa ia baru saja mengangkat seorang anak muda yang saya rekomendasikan kepadanya belum lama ini. “Anda tahu apa yang membuat saya menerima orang ini?” tanya kawan saya. “Apa?” saya bertanya. “caranya bersikap. Kebanyakan pelamar masuk ke kantor saya dengan setengah ketakutan. Mereka memberi saya semua jawaban yang mereka pikir ingin saya dengar. Sedikit banyak mereka bersikap seperti pengemis -mereka akan menerima apa saja-”.
           “Akan tetapi orang yang Anda rekomendasikan ini bersikap lain. Ia menghormati saya. Tetapi yang sama pentingnya, ia menghormati dirinya sendiri. Ia juga mengajukan pertanyaan sebanyak yang saya ajukan kepadanya. Ia tidak seperti kelinci yang ketakutan. Ia benar-benar manusia, dan ia akan bekerja dengan baik.”
Saya pernah bergaul dengan orang-orang yang “memaksa” saya berlaku jujur dalam mengerjakan soal ujian. Sewaktu SMA. Mereka mengajari saya bahwa apapun kondisinya, tetaplah berlaku jujur. Jangan mencontek. Lalu bagaimana dengan nilai jelek? Tetaplah tampil seolah-olah anda adalah pemegang nilai tertinggi. Jangan merisaukan hal itu. Karena anda telah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan orang lain.
Itulah yang mereka ajarkan pada saya. Tentang mengumpulkan seluruh kepercayaan saat datang sebuah permasalahan. Memang sepertinya, hal ini tidak begitu menyelesaikan masalah. Karena bagaimanapun, soal-soal di ujian selanjutnya mempunyai bobot kerumitan yang sama. Berbeda dengan teman-teman yang memilih untuk saling mencontek –walaupun tidak semua- untuk mendapatkan nilai tinggi, nlai kami mungkin akan tetap jelek.
Tapi setidaknya, saya telah membuat deklarasi untuk diri saya sendiri bahwa saya memiliki apa yang tidak mereka miliki. Otak saya pun merespon hal ini dengan memberikan persetujuan-persetujuan “Benar. Nilai anda mungkin jelek. Tapi anda jujur. Ingatlah bahwa Allah pun akan lebih memihak anda saat seleksi masuk universitas. Yakin lah. Semua perjuangan itu membutuhkan pengorbanan. Dan disini lah kesempatan anda untuk membuktikan bahwa anda telah berkorban. Lagipula, apakah masa depan anda akan berakhir hanya karena nilai jelek saat ini? Apakah anda tidak bisa menjadi dokter hanya karena nilai anda tidak 9?”.
Pada akhirnya, saya tetap bisa berjalan tegak di tengah-tengah mereka. Saya tidak beralih menjadi manusia penakut yang bahkan menatap mata orang lain saja tidak sanggup. Walaupun nilai saya sempat diumumkan di depan kelas dengan nilai terendah, but the show must go on. -Mungkin- karena kepercayaan diri yang saya bangun itu lah, mereka yang mendapat nilai-nilai tinggi justru sering meminta saya mengerjakan soal yang tidak bisa mereka selesaikan. Aneh memang, saat yang jelek mengajari yang bagus. Tapi itulah efek dari menara sikap yang kita bangun. Dia memancarkan keajaiban yang sama sekali tidak kita duga sebelumnya.
Tapi jangan pernah melihat cerita ini dari sudut pandang bahwa kita harus mencari pembenaran atas kesalahan yang kita buat. Jangan mengkambing hitamkan jujur sebagai penyebab jeleknya nilai kita. Tapi ketika anda memegang sebuah prinsip yang tidak banyak orang melakukannya, percayalah bahwa anda memerlukan ini.
Jika saat ini anda dalam posisi serba minder dan merasa banyak kekurangan, sudah saatnya anda menyadari akan sebuah fakta bahwa ternyata,  orang lain tidaklah se-menakutkan apa yang anda  fikirkan. Lebih dari itu, anda akan mengerti bahwa ternyata, anda mampu menjadi “orang penting” di hadapan diri anda sendiri dan lawan bicara anda. Ada cara menakjubkan yang harus segera anda kerjakan:
Ingatlah, ketika bertemu orang lain –baik yang anda kenal ataupun belum-, mendekatlah padanya beberapa langkah lebih cepat. Tunjukkan bahwa anda antusias dengannya. Lalu, lakukan hal ini bersamaan. Ulurkan tangan untuk mengajak dia bersalaman, rekahkan senyum, dan sapalah dia..“hei”. Sekali lagi, lakukan itu bersamaan.
Seperti yang saya sampaikan, bahwa sikap ini ibarat bangunan. Maka kita perlu aksi untuk membuatnya berdiri. Jangan berharap banyak jika kita masih menjadi penganut faham bahwa “diam adalah emas”. Kita sendiri yang harus bekerja keras untuk membangun bangunan sikap ini. Maka mulailah dengan aksi. Dan pastikan bahwa dunia melihat aksimu.
Saya sendiri terkadang menjadi orang yang kurang kerjaan –menurut sebagian orang-. Alasannya sederhana. Karena saya sering mengamati orang-orang yang beraktifitas di sekitar saya. Pakaiannya, rambutnya, mimik mukanya, cara berjalannya, cara bicaranya, cara dia tersenyum, dan semua yang mereka lakukan. Bukan sekedar melihat, tapi mengamati. Dan saya belajar banyak dari hal itu. Awalnya saya tidak menemukan alasan yang tepat kenapa menurut saya, pekerjaan sepele ini begitu penting. Saya hanya merasa bahwa saya perlu melestarikan kebiasaan ini. Namun pada akhirnya, saya menemukan alasan yang tepat terkait hal ini. Masih di buku the magic of thinking big, Shwartz mengatakan “kebanyakan orang mengerti begitu sedikit tentang mengapa orang bertindak sebagaimana yang mereka perbuat, walaupun mereka dikelilingi oleh banyak orang sepanjang hidup mereka. Alasannya adalah, kebanyakan orang bukan pengamat yang terlatih. ” Dia lalu melanjutkan bahwa kita sebenarnya sering mengajukan pertanyaan pada diri kita sendiri, mengapa si A punya lebih banyak teman dibanding si B. Mengapa si john begitu berhasil, dan tom hanya biasa-biasa saja. Kita sering mempertanyakan hal itu. Namun sekali lagi masalahnya, kita tidak –atau belum- bisa menjadi pengamat yang baik untuk “laboratorium” kehidupan kita. Laboratorium yang menempatkan kita sebagai peneliti dan orang-orang di sekitar kita sebagai objek yang kita teliti.
Termasuk saat saya mengamati seorang teman yang menurut saya, dimana pun dia berada, dia selalu mempunyai kenalan. Luar biasa memang. Di masjid, banyak yang dia kenal. Di tongkrongan anak-anak setengah beres, dia punya teman. Anak-anak yang kerjaannya belajar-pulang-belajar-pulang pun dia akrab. Ternyata ada hal menarik yang tidak dimiliki orang-orang seperti dia. Dan ini sederhana. Perhatikan. Dia selalu tersenyun –dengan senyuman lebar dan tulus- saat pertama kali kontak mata dengan orang  yang dia jumpai. Dan setelah itu, dia selalu menyapa. Entah “hei”,entah “boss..”. Apapun. Atau bahkan saat di jalan –yang tidak memungkinkan untuk teriak-teriak-, dia selalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sebuah hal yang menandakan bahwa dia antusias dengan lawan bicaranya. Dia mendeklarasikan bahwa dia menghargai orang lain di hadapannya. Dan kita sepakat bahwa, saat kita menghargai tinggi orang lain, mereka pun pasti melakukannya pada kita.
Pada akhirnya, ketika kita ingin bertransformasi menjadi orang yang percaya diri, kita memang diharuskan tampil mecolok. Setidaknya, kita harus “memaksa” orang lain menganggap keberadaan kita. Karena ketahuilah. Saat berbicaara kesuksesan, tidak ada yang tidak mencolok. Lihat saja Muhammad. Kalau tolak ukur kesuksesan kita adalah Rosulullah, adakah yang tidak kenal siapa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthollib?

3 komentar:

  1. sepakat dengan ini..

    BalasHapus
  2. dan tidak perlu lah merasa rendah karena antusiame kita diabaikan secara sombong,
    itu menandakan kita lebih penting dari dia yang terkungkung dengan pengabaian, alhasil tidak penting lah diri dia.

    BalasHapus