Rabu, 25 September 2013

Kenapa Harus AAI?

Kemarin adalah hari pertama saya bertemu dengan adik-adik binaan AAI, pasti banyak yang berbenak dalam hati. Apaan sih AAI? AAI itu Asistensi Agama Islam, namanya khususon di kampus UNS. Di tempat-tempat lain juga pasti ada pembinaan yang semacam ini, hanya saja dikenal dengan nama yang berbeda-beda, atau lebih umum dikenal dengan mentoring. Nah sebelum kita mulai AAI untuk beberapa waktu kedepan, ada beberapa hal mendasar yang perlu kita pahami bersama, untuk adik-adik yang akan ikut AAI dan juga untuk asisten AAI yang bersangkutan juga. Beberapa contoh kasus saya pelajari dari tulisan orang-orang yang menginspirasi saya selama ini.

Kenapa mahasiswa harus AAI?
AAI adalah salah satu sarana akselerator belajar untuk para mahasiswa, bukan hanya mahasiswa baru, tapi juga mahasiswa yang senantiasa ingin terus belajar menjadi lebih luar biasa. Belajar disini sangatlah luas sekali, pada dasarnya tidak hanya terkungkung belajar tentang agama, namun juga percepatan belajar segala macam ilmu yang disesuaikan dengan kompetensinya. Utamanya juga adalah percepatan kedewasaan, kedewasaan berpikir, bertindak, dan bertanggungjawab.

Kenapa bisa belajar lebih cepat kalau kita AAI?
Pada dasarnya AAI adalah bentuk diskusi terfokus yang didalamnya terdapat inrteraksi-interaksi antar orang-orang yang ada didalamnya. Orang-orang disini tentu saja asisten dan adik mahasiswa yang saling melengkapi keilmuan satu sama lain dengan cara diskusi dan sharing. Melalui diskusi terbuka berbagai arah ini kita akan lebih bisa belajar dan meningkatkan tentang kapasitas berkomunitas. Dan komunitas terbuka inilah yang membuat kita belajar social cognitive melalui pengalaman-pengalaman orang lain dengan lebih cepat. Sudah jelas kan kenapa lebih cepat, karena disini kita memadukan pengetahuan pribadi kita dengan pengetahuan orang lain.

Apa AAI selalu dengan materi?
Pada dasarnya pula kita bisa mengemas bentuk pembelajaran serta muatan yang akan kita ajarkan kepada para adik binaan. Ranah belajar AAI ini ada aspek kognitif dimana kita belajar tentang keilmuan dan segala tentang kegiatan yang berhubungan dengan akademik. Kemudian belajar pula aspek afektif tentang bagaimana memanaje perasaan, bertindak sesuai etika, dan berinteraksi dengan orang lain. Lalu kita juga belajar aspek psikomotor melalui kegiatan olahraga atau rihlah bersama. Dan sebenarnya tidak hanya materi agama saja yang bisa kita tanamkan disini, tapi segala macam disiplin ilmu bisa kita selipkan sebagai suplemen tambahan. Bahkan jauh lebih penting kita bisa mengajarkan bagaimana pula cara belajar untuk adik-adik binaan, karena memberi materi saja ibarat kita hanya memberikan ikan yang kemudian mereka olah dan langsung disantap. Berbeda ketika kita bisa memberikan mereka kail dan mengajarkan cara memancing, itu jauh lebih mujarab menurut saya. Disinilah peran asisten sangat krusial agar keberjalanan AAI senantiasa dinamis dan tidak membosankan.

Emang AAI bisa bikin kita sukses?
Diskusi yang tersegmentasi mengajarkan kita fokus untuk mempelajari akan suatu disiplin ilmu dan otomatis akan saling melengkapi. Berbeda dengan kita belajar otodidak dengan kemampuan pribadi, karena hakikatnya dari interaksi-interaksi inilah kita belajar lebih cepat. Dengan belajar lebih cepat otomatis kita sampai pada titik kesuksesan lebih cepat pula. Apalagi di usia yang masih tergolong muda ini, diskusi kecil saja bisa membuat sejarah besar. Masih tidak percaya? Coba kita tengok masa muda orang-orang yang menyejarah.
HOS Cokroaminoto adalah salah satu asisten AAI tersukses pada zamannya dulu, dia mempunyai 5 orang binaan yang memang sangat luar biasa. Siapa tak kenal tokoh Partai Komunis Indonesia atas nama Semaoen, Alimin, dan Muso? Mereka bertiga adalah pelopor berdirinya PKI, Semaoen dengan basis masa besarnya di Madiun, Alimin dengan konsep-konsep besarnya sebagai project manager PKI, dan Muso sebagai proklamator “Republik Soviet Indonesia”. Kemudian Kartosuwiryo dengan pemikiran Negara Islam Indonesia (NII) yang bahkan sampai saat ini masih beberapa kali kita dengar kasusnya. Meski akhirnya mereka berempat tewas atas hukuman yang diperintahkan oleh kawannya sendiri Soekarno, sang nasionalis. Tak banyak tahu bahwa mereka berlima dahulu adalah binaan yang sekaligus tinggal di kost milik HOS Cokroaminoto. Meski akhirnya mereka memilih jalannya masing-masing, tapi paling tidak pendiri Sarikat Islam (SI) ini, telah menjadi asisten AAI yang baik dengan melahirkan pemikir-pemikir besar kala itu.
Bediuzzaman Said Nursi, pemimpin Harokah Islamiyah dari Turki yang dengan keras menentang sekulerisme Kemal Pasha, dengan jamaahnya, Jamaah Nur, dan risalahnya, Risalah Nuriyah, punya kader yang masih dalam mentoringnya langsung, yaitu Prof. Dr. Necmettin Erbakan. Erbakan adalah Perdana Menteri Turki tahun 1996-1997 dengan mobil politik Partai Refah. Namun dalam pertengahan masa emasnya di Pemerintahan ia harus digulingkan dan digantikan oleh Tanshu Ciller, dan hingga akhir hayatnya Erbakan dilarang terjun ke politik oleh mahkamah konstitusi. Namun, Erbakan ini punya 11 binaan yang dipersiapkan untuk terjun ke politik praktis untuk mengemban rencana strategisnya yang belum terwujud, dan 2 diantaranya adalah Abdullah Gul yang sejak tahun 2007 hingga sekarang menjabat sebagai Presiden Turki dan Recep Thayyip Erdogan yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Turki. Mereka berdualah yang membesarkan Partai Refah pasca Erbakan tak berdaya didunia politik. Kemudian beberapa tahun setelah Refah dibubarkan mereka burdua pula yang membentuk partai baru, Partai Keadilan dan Pembangunan yang kini merajai kursi parlemen Turki.
Lalu kita coba melompat ke kabinet ketujuh Presiden Soeharto, mungkin kita sudah tak asing lagi mendengar nama Faisal Tanjung (Menko Polkam), Haryono Suyono (Menko Kesra), Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin/ Ketua Bappenas), dan Hartarto (Menko Pengawasan Pembangunan dan Penertiban Aparatur Negara). Mereka semua adalah kader-kader Golkar binaan Soeharto. Lalu coba kita tilik para binaan Ginandjar Kartasasmita yang lebih sering kita dengar “The Ginandjar Boys”, yang terdiri dari Pengusaha kaya raya Aburizal Bakrie, Pendiri Liga Premier Indonesia Arifin Panigoro, Pengusaha kaya serta pemrakarsa stasiun TV swasta Lativi atas nama Abdul Latief, dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, serta beberapa nama besar yang amat sangat banyak sekali. Mereka adalah kader-kader partai Golkar yang memang sejak dari ITB telah digadang-gadang oleh Ginandjar bakal dipetakan di beberapa sektor riil Republik ini.
Itu tadi baru beberapa contoh interaksi dari kakak pembina dan adik binaan yang notabene mereka semua bukan orang-orang biasa. Sudah paham dengan yang saya maksud belajar lebih cepat disini? Atau mau contoh yang lebih konkret lagi kenapa AAI bisa bikin kita sukses?

Percepatan belajar yang lebih konkret dan kuantitatif ada gak?
Percepatan belajar “ilmu”. Disini kita bisa sharing dengan orang lain tentang bagaimana cara belajar, atau mungkin bagaimana membahas tentang problem-problem dunia akademik dan perkuliahan. Bisa mungkin kita berkunjung kerumah seorang dosen lalu mengajaknya berdiskusi, atau paling tidak ngobrol dengan senior kita yang sudah lebih jauh berpengalaman. Ambil dan curi semua ilmunya, disitulah kita belajar lebih cepat untuk berilmu.
Percepatan belajar “psikologis”. Melalui forum yang berisi banyak orang kita bisa belajar bagaimana untuk dewasa menyikapi heterogenitas siat-sifat orang lain, ada yang egois, agresi, introvert, dan berbagai macam sifat-sifat lainnya, kemudian belajar pula bagaimana menyikapi keberagaman karakter tiap orang tesebut. Dengan banyak berinteraksi pula relasi dan kedekatan kita dengan orang lain akan semakin luas, kesempatan berkembang pun juga akan semakin luas lagi.
Percepatan belajar “bisnis”. Kita juga bisa berdisksi tentang bisnis dilingkaran ini, berdiskusi bagaimana bermarketing, bagaimana mencari mangsa pasar, bagaimana mengelola manajemen. Tak jauh beda dengan yang saya ceritakan diatas tentang The Ginandjar Boys, mereka membangun percepatan bisnis juga melalui forum informal ini.
Percepatan belajar “Islam”. Tentu saja dalam AAI ini kita akan lebih paham dan mengerti tentang agama yang kita anut ini. Diskusi dan interaksi terbuka akan lebih mengajarkan kita betapa generalnya agama kita yang sangat luar bisa ini, jadi kita tidak terkungkung dalam kefanatikan. Islam adalah agama yang progresif dan selalu bisa menyesuaikan diri di berbagai zaman, untuk itulah kita juga dituntut belajar terus tentang perkembangan Islam.
Masih belum berminat ikut AAI? Sini boleh kok dateng dan diskusi sama saya, mari belajar bersama.

2 komentar: