Menjelang pemilu tahun 2014 ini nampaknya internet menjadi
salah satu senjata ampuh yang digunakan untuk perang media. Perkembangan
teknologi komunikasi makin tahun dirasakan semakin pesat. Terutama dengan
munculnya media sosial
yang memfasilitasi
masyarakat dalam mengakses informasi dan jejaring sosial.
Jejaring sosial inilah yang
kemudian dimanfaatkan oleh para kandidat politik untuk
mendapatkan dukungan dari masyarakat yang
sudah melek media
dan sering bersikap kritis
terhadap sebuah permasalahan. Pada praktiknya hal tersebut tidak akan mudah
karena muncul isu ataupun wacana baru yang lebih dikenal dengan seduksi politik
yakni kecenderungan politik di dunia virtual
Akhir-akhir ini kita melihat banyak sekali rilis tentang data
indeks korupsi partai peserta pemilu yang bertujuan memberikan gambaran profil
partai kepada masyarakat luas melalui media online.
Salah satu lembaga yang melakukan kajian dan rilis data yang paling sering
muncul adalah @KPKwatch_RI. Lembaga ini memaparkan indekskorupsi partai mulai
tahun 2002-2014 yang datanya diperoleh dari Indonesia
Corruption Watch (ICW) melalui website antikorupsi.org, serta beberapa
website online lain seperti,
polri.go.id, mahkamahagung.go.id, inokorupsi.com, kpk.go.id, korupedia.org, dan
kejaksaan.go.id. Beberapa kali rilis data yang dilakukan @KPKwatch_RI
mencantumkan logo ICW, tentu saja ini menimbulkan banyak sekali pertentangan.
Bahkan ICW sendiri melalui akun twitternya @SahabatICW membantah rilis berita
itu dilakukan oleh ICW, namun ternyata memang itu adalah data-data yang
dikumpulkan @KPKwatch_RI dan dibuat hasil analisis, etika yang kurang pas
adalah ketika @KPKwatch_RI mencantumkan logo ICW yang otomotis menimbulkan
banyak opini publik. Masyarakat menilai bahwa data tersebut dikaji dan dirilis
oleh ICW, namun ternyata ICW hanya menjadi rujukan data mentah yang digunakan
@KPKwatch_RI. Setelah klarifikasi ulang ternyata @KPKwatch_RI melakukan kajian
data dengan cara seperti ini:
- Buka website ICW antikorupsi.org, di situ ada “Search” dan “Dokumen”.
- Kemudian Download data ICW yang ada di menu “Dokumen”.
- Ada menu “Search” yang bisa kita isi dengan 2 suku kata, maka siapkan kata pencarian 2 suku kata tersebut untuk mencari kasus korupsi pada periode tersebut. Contoh: kita search dengan kata “Bupati Korupsi”, maka akan didapat puluhan berita bupati korupsi. Coba search dengan kata “Korupsi APBD” akan muncul puluhan link berita korupsi.
- Kemudian catat Nama, Jabatan, Kerugian negara, Kasus, Partai, Status yang ada di link hasil pencarian tersebut.
- Kemudian pisahkan berdasarkan partai, sehingga jelas hasilnya, seperti grafik dan tabel di sini.
- Ricek kembali nama-nama tersebut di website berita online lain untuk keakuratan data.
- Dari ribuan berita kasus korupsi, di dapatkan 300an nama kader parpol tersangkut. Setelah dipisahkan didapatkan hasilnya seperti ini.
- Selanjutnya dikembangkan dalam bentuk tabel atau grafik.
- Kelemahan, ada sekitar 1-2% data yang mungkin tidak masuk, atau seharusnya tidak masuk. Sangat mungkin ada nama misal: A mendapat vonis/status tersangka. Dalam prosesnya dibebaskan hakim, namun tidak diberitakan media. Jika terjadi hal demikian, mereka segera melakukan klarifikasi pemulihan.
Demikianlah
cara @KPKwatch_RI
melakukan kajian data dan rilis kepada publik mengenai indeks korupsi partai.
Saya belum tahu pasti siapa pemilik akun @KPKwatch_RI tersebut. Yang pasti itu
bukan lembaga pemerintah resmi dan juga bukan lembaga nirlaba yang memang
diakui kredibilitasnya seperti ICW.
Beberapa opini publik mengatakan bahwa @KPKwatch_RI adalah
akun komersil buatan salah satu partai tertentu yang bertujuan mendongkrak nama
baik partai-partai tertentu dan menjatuhkan nama baik beberapa partai yang lain
Opini publik yang lain memaparkan mungkin hasil rilis data
tersebut memang hampir mirip dengan fakta dilapangan. Karena memang secara
logika awam cara kajian yang dilakukan oleh @KPKwatch_RI bisa
dipertanggungjawabkan prosedurnya, namun untuk validitas data saya rasa kita
belum bisa mempercayai sepenuhnya. Kalaupun memang data-data tersebut otentik
dan valid tentu saja itu menjadi salah satu cara mencerdaskan masyarakat untuk
menentukan pilihan pada pemilu 2014 melalui media masa online.
Permasalahan
yang perlu dijawab selanjutnya, andaikan memang data-data tersebut valid
mengapa bisa terjadi partai-partai dengan indeks korupsi tinggi tetap memiliki
tingkat elektabilitas tinggi di mata calon pemilih. Bukan malah turun
elektabilitasnya, bahkan beberapa partai malah naik prosentase
elektabilitasnya. Kira-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi elektabilitas
partai, mungkin akan saya coba bahas beberapa.
Penyebab yang pertama adalah prosentase jumlah kader partai yang duduk di kursi wakil rakyat linear dengan jumlah kader yang terlibat korupsi. Itulah yang menyebabkan partai-partai besar jauh lebih banyak terlibat kasus korupsi. Kader-kader partai besar banyak sekali yang duduk di kursi DPR, DPD, dan DPR-D. Bahkan terkadang partai besar bias menguasai kurang lebih 15-20% kursi wakil rakyat, bahkan kadang lebih dari 20% kursi, otomatis dengan jumlah yang besar probabilitas kasus korupsinya pun juga meningkat. Begitu juga sebaliknya, apabila sebuah partai kecil dimana hanya sedikit kader partai yang duduk di kursi wakil rakyat otomatis probabilitas kejadian korupsinya juga makin kecil. Tentunya ini juga menjadi tanggungjawab partai besar untuk tidak hanya bersaing dalam perebutan kursi namun juga harus bersaing dalam tanggungjawab moral kader partainya.
Penyebab yang kedua adalah, bahwa ternyata elektabilitas tidak berkorelasi dengan kredibilitas, dan malah justru jauh terpengaruh oleh popularitas. Iklan politik melalui televise sebagai sarana untuk mempromosikan figure dan performa baik partai politik maupun capres/cawapres. Partai dengan capres/cawapres populis cenderung memiliki elektabilitas tinggi. Secara tidak langsung menawarkan program kerja, misi, visi, dan janji politik lainnya yang berimbas pada perbaikan citra, popularitas, dan elektabilitas. Hal ini merupakan bagian dinamika politik yang layak untuk dibahas/dikaji. Hasilnya,
menunjukkan bahwa iklan politik bias berdampak positif atau negative terhadap masyarakat, tergantung dari frekuensi penayangan atau terpaan medianya, kualitas dan kuantitas iklan dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya, serta sikap dan apresiasi politik. Iklan politik berpengaruh terhadap efek kognitif. Jika popularitas bias diraih lewat iklan politik, maka dengan bermodalkan popularitas akan memperoleh elektabilitas, anggapan seperti ini dapat dibenarkan karena memang peluangnya besar tapi tidak mutlak.
Penyebab yang ketiga menurut saya adalah masalah kekuatan partai yang dipengaruhi oleh sokongan dana. Semakin besar modal partai mereka jadi lebih bias membeli media dan menanamkan opini positif tentang partainya. Saat ini partai politik melalui media massa dalam menghadapi Pemilu telah melakukan berbagai kegiatan baik secara terselubung atau terang-terangan. Pesan politik dikemas dan ditayangkan dalam berbagai media elektronik seperti di televise baik berupa iklan atau acara talk show, yang
dipandu langsung oleh host/penyiar dari stasiun televise penyelenggara. Penayangan iklan dan acara talk show di televisi dianggap lebih efektif oleh partai politik dalam menyebarkan pesan kemasyarakat. Selain itu beberapa partai politik usut punya usut juga aktif memberdayakan simpatisan partainya untuk mendapatkan survey elektabilitas yang juga nanti berimbas untuk membentuk opini masyarakat. Dengan kata lain
survey elektabilitas disini juga bias dibeli dengan tujuan mengarahkan opini publik untuk memilih partainya yang punya elektabilitas tinggi.
Dan semua terjawab dengan hasil quick count pasca pemilu legislatif 9 April 2014 kemarin, dengan beragam "EFFECT" yang dibuat partai politik melalui figur populis ternyata terbukti sangat efektif meningkatkan perolehan suara. Dan sekali lagi terbukti bahwa popularitas bertengger lebih tinggi diatas kredibilitas untuk menuai elektabilitas.