Realita bangsa kita
nampaknya dari masa ke masa terasa semakin getir, bahkan sungguh mata ini tak
ingin menatap hiruk-pikuk negeri ini, lidah ini sudah kelu angkat bicara untuk
perubahan, namun nurani ini masih ingin gelisah. Terlalunya banyak lini-lini
bobrok yang butuh perubahan, atau bahkan yang bobrok itu akan semakin bobrok
karena tak lain dan tak bukan “pengubahnya” juga mengalami kebobrokan. Kalau
semua bertanya siapa yang paling bertanggung jawab atas semua ini? Saya
acungkan mulut, ini tanggung jawab pemudanya!
Mengutip perkataan
salah seorang pemuda yang telah membuat perubahan besar pada masanya,“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari
akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya
akan kuguncangkan dunia”. Rasa-rasanya itu semua hanya menjadi sebuah omong
kosong warisan zaman belaka, bukan masalah pada redakturnya, tapi coba lihat
realitanya saat ini. Saya yakin kalau Bung Karno masih hidup pada zaman ini,
pasti beliau hanya bisa menangis pilu melihat pemuda bangsanya yang semakin
hitam pekat. Apa mungkin bisa 10 pemuda yang cangkruk di angkringan
warung kopi itu mengguncangkan dunia dengan obrolan-obrolan payah? Apa mungkin
bisa 10 pemuda geng motor itu mengguncangkan dunia dengan suara derum knalpot
yang bikin pekak telinga? Apa mungkin bisa 10 pemuda yang tawuran itu
mengguncangkan dunia dengan batu-batu dan pentungan kayunya? Apa mungkin bisa
10 pemuda pemakai narkoba mengguncangkan dunia dengan jarum suntik dan
penghisap ganja? Apa mungkin bisa 10 pemuda-pemudi yang genap 5 pasang itu
sedang pacaran di sudut hotel melati mengguncangkan dunia dengan melahirkan
bayi-bayi penggedor bangsa yang orang tuanya saja tak menginginkannya? Maaf
kalau pikiran saya terlalu terbelenggu dengan apa yang membungkam panca indera
pribadi, tapi inilah realitanya. Mana mungkin ada 10 pemuda yang bisa
mengguncangkan dunia kalau moral saja mereka tak punya? Miris!
Pendidikan
di Indonesia saat ini
Benyamin Bloom pada
tahun 1956 mengemukakan teori tentang suatu konsep yang membagi ranah kemampuan
manusia dalam belajar, atau konsepan ini lebih sering kita dengae sebagai
Taksonomi Bloom yang terdiri dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang dicetuskan oleh pendahulu bangsa ini, founding father pendidikan, sebut saja
Ki Hajar Dewantara tentang konsepan pribadi beliau yang berbicara masalah “cipta, rasa, dan karsa” yang
bahkan sudah muncul sebelum negeri kita merdeka, jauh sebelum tahun 1956 dimana
Bloom mengungkapkan hasil pemikirannya. Namun harus kita akui bahwa Taksonomi
Bloom ini lebih mendunia karena memang disertai basis data penelitian yang
lebih valid. Dan ini menjadi kiblat pendidikan Indonesia saat ini, yakni
bagaimana memanipulasi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor untuk
menciptakan sumber daya manusia yang lebih baik melalui pendidikan formal.
Ranah kognitif adalah ranah
yang merujuk potensi subjek belajar menyangkut kecerdasan atau
intelektualitasnya, seperti kemampuan yang dikuasai maupun cara berpikir. Dalam anah ini, Bloom membaginya ke dalam dua bagian
besar, masing-masing adalah pengetahuan dan ketrampilan intelektual.
Ranah
afektif adalah ranah yang mencakup kemampuan menyangkut aspek perasaan dan
emosi. Pada ranah ini juga terbagi dalam beberapa bagian yang meliputi aspek
penerimaan terhadap lingkungannya, tanggapan atau respon terhadap lingkungan,
penghargaan dalam bentuk ekspresi nilai terhadap sesuatu, mengorganisasikan
berbagai nilai untuk menemukan pemecahan, serta karakteristik dari nilai-nilai
yang menginternalisasi dalam diri.
Ranah
psikomotor adalah ranah yang mencakup kemampuan yang menyangkut ketrampilan
fisik dalam mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu, seperti ketrampilan dalam
bidang olah raga, penguasaan dalam menjalankan mesin, dan sebagainya.
Korban Sistem Pendidikan
Saat
ini sistem pendidikan negeri kita terlalu terfokus pada disiplin keilmuan yang
berorientasi pada menciptakan sumber daya manusia yang pintar dan terampil
bekerja. Tentu saja sistem ini juga berimbas pada kemampuan berpikir para
manusianya yang terlanjur tertelan oleh sistem ini. Di bangku pendidikan formal
kebanyakan guru/dosen tak layaknya hanya seorang pengajar, bukan seorang
pendidik. Di sekolah maupun perguruan tinggi, yang saya rasakan adalah, mereka
masuk ruang kelas untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang mereka punya untuk para
murid/mahasiswanya, memberikan beberapa tambahan melalui simulasi dan praktek,
kemudian keluar. Mereka mengajar, digaji, dan pergi. Ya begitulah sistem modern
pendidikan yang semakin lama semakin menjadi
sejak meninggalnya Ki Hajar Dewantara, tak heran kalau yang menancap pada anak
didik hanyalah ranah kognitif dan psikomotor. Pun sistem penilaian ranah yang
dua ini memang pencapainnya lebih mudah diukur dan dinilai. Tak heran makin
lama semakin kesini hanya dua ranah itu yang menjadi fokus. Mereka kehilangan
keafektifan diri mereka, mereka kehilangan “rasa”dalam batin mereka. Rindu
rasanya akan seorang pendidik yang tak hanya mengajarkan ilmu dan praktek saja,
namun juga mendidik bagaimana bersikap dan beretika yang baik. Mungkin hanya
satu atau dua orang saja dari rasio seratus guru/dosen yang seperti ini, mengasihi
anak didiknya seperti mengasihi dirinya sendiri. Mereka tak bersalah, mereka
semua termasuk saya pribadi adalah korban sistem.
Pelajaran
agama, kewarganegaraan, dan seni yang mana sangat berpengaruh pada ranah
afektif, layaknya mulai dikesampingkan dan ditindih oleh pelajaran exacta. Di pendidikan menengah porsinya
hanya 2 atau 3 jam pelajaran per pekan, pelajaran exacta bisa 3-5 kali lebih lama. Di perguruan tinggi dibawah
kementrian pendidikan (non-kementrian agama) pelajaran agama hanya dimasukkan dalam
mata kuliah dasar yang hanya saya rasakan 2 jam kuliah selama semester pertama
saja, selebihnya untuk disipilin keilmuan masing-masing. Dan tambahannya kita
hanya bisa mendapat siraman rohani diluar jam kuliah, ini pun tergantung
inisiatif individu masing-masing merasa butuh atau tidak. Saya mengakui bahwa
DIKTI juga memfasilitasi pembelajaran afektif melalui organisasi kemahasiswaan,
lembaga dakwah kampus, pengabdian masyarakat, dll. Namun nampaknya tak ada
tolak ukur pencapaian untuk itu, seakan semua kegiatan yang mendukung ranah
afektif itu hanya berhukum mubah,
ikut silahkan tidak juga silahkan.
Disadari
maupun tidak, sistem pendidikan Indonesia saat ini terlalu terfokus untuk
menciptakan generasi robot yang hanya siap berpikir dan bekerja Mereka bukan
manusia seutuhnya, karena manusia seharusnya punya etika dan perasaan.
Pilihannya adalah mau tetap seperti ini atau mau diubah?
we need to reboot the system
BalasHapus