Dinda lama rasanya aku tak menyapamu, atau bahkan sekedar menyapa langit sore ini sedang apa gerangan terjadi. Kalau kulihat-lihat memang sedikit berbeda langit sore ini dengan langit kemarin. Sinar biasnya sekejap membutakanku, menelisik tajam melewati lapisan korneaku, menghujam bintik kuning mataku, dan aku merasa buta sementara. Sedih rasanya melihat paradoks langit indah ini yang menciutkan segala perasaanku yang semakin kelu. Memandangmu lagi meresapi senyum ditengah lingkaran itu sore ini.
Hati ini senyap sejenak, menenangkan pikir, menanti kejernihan datang memecah keheningan. Sholat ashar nampaknya adalah pilihan terbaik saat ini. Aku hanya khawatir qolbuku akan semakin rancu memandang jauh ke tepi lingkaran itu. Kubasuh wajah ini dalam-dalam, menghilangkan segala kerak yang sempat sejenak menutup indera penglihatanku, mengusap sampai hitungan ketiga, menjernihkannya, membuang semua kotorannya.
Dinda aku sedih melihatmu sore ini, bukan karena dirimu yang terlalu suram untuk memunculkan bayang-bayang dibalik retina. Aku sedih, melihat langit cantik sore ini tak mampu memudarkan bayangan wajahmu, angin semilir yang berhembus pelan pun tak dapat mengalahkan kelembutan yang melekat pada ronamu. Aku sedih, aku merasa telah buta, aku tak mau buta seperti ini, atau memang Allah yang membutakanku. Ah tidak sungguh aku berdosa berpikir begitu, mata ini buta karena aku yang tak bisa merawatnya, aku yang tak seronok dalam menggunakannya. Tak bisa dipungkiri bahwa paras ayumu seakan menarik nyawa dari tiap tulang rawan diujung tenggorokanku, tapi sungguh aku takut aku telah buta.
Aku tak bisa berbohong bahwa relung ini menjadi milikmu, tapi sungguh aku tak mau jatuh cinta karena mata ini, ini semu, dan ini cuma ilusi. Aku hanya tak mau kelak tua nanti meninggalkanmu dalam keriput yang melekati paras ayumu, aku tak mau jatuh hati karena mata yang tak terjaga ini, karena hakikatnya semua ini hanya membutakanku. Biarkan mata ini menangis daripada harus buta, aku hanya tak mau buta karenamu.
Pernah sekali telinga ini juga terenyuh meredam getaran suara semiinfrasonik yang tenggelam dalam liang telingaku, syahdu, lembut, pelan, nadanya rendah, penuh pesona. Tapi aku juga takut, aku tak mau tuli, aku tak mau kau hadir dalam batin hanya karena lembutnya suara yang menggerogoti pikiranku. Semakin aku jatuh karena suaramu, semakin jelas hakikatnya bahwa aku tuli. Aku hanya tak mau tuli mendengar tutur wicaramu yang lemah lembut itu, hanya itu saja.
Atau aku tak akan pernah mau jemariku yang tak lentik ini menua tanpa pahala hanya karena menyentuh ujung jilbabmu. Sedikitpun aku tak mau memati rasakan segala refleks sentuh disekujur tubuhku. Tak akan meski hanya sekali, biar ini kusimpan hanya untukmu kelak. Terkadang aku harus sedih ketika aku jatuh cinta padamu dinda. Aku malu jika aku harus jatuh karena parasmu, aku ingin menangis jika memang gendang telinga ini pernah mendengar suaramu, atau jangan sampai sekalipun aku menyentuhmu sebelum waktuku.
Sungguh terkadang aku ingin sejenak membutakan
mataku, menulikan telingaku, mematirasakan peraba tanganku, hanya untuk
merasakan kehadiranmu yang sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar