Ingat dua hal ini sewaktu
menghadapi orang: pertama, orang lain itu penting. Semua manusia penting. Akan tetapi
ingat pula. Anda juga penting. Jadi, sewaktu berhadapan dengan orang lain,
biasakanlah berfikir “kita adalah dua orang penting yang sedang duduk bersama
untuk membicarakan sesuatu demi kepentingan dan keuntungan bersama.” -
David J Schwartz-. Sekali lagi ingatlah
hal ini. Kita adalah dua orang yang sama-sama penting.
Ada
hal menarik yang saya pelajari dari karya seorang David J Schwartz. Simaklah apa yang dia tuturkan
dalam buku the magic of thinking big.
Beberapa
bulan yang lalu. Seorang usahawan menelepon saya untuk mengatakan kepada saya
bahwa ia baru saja mengangkat seorang anak muda yang saya rekomendasikan
kepadanya belum lama ini. “Anda tahu apa yang membuat saya menerima orang ini?”
tanya kawan saya. “Apa?” saya bertanya. “caranya bersikap. Kebanyakan pelamar
masuk ke kantor saya dengan setengah ketakutan. Mereka memberi saya semua
jawaban yang mereka pikir ingin saya dengar. Sedikit banyak mereka bersikap
seperti pengemis -mereka akan menerima apa saja-”.
“Akan
tetapi orang yang Anda rekomendasikan ini bersikap lain. Ia menghormati saya.
Tetapi yang sama pentingnya, ia menghormati dirinya sendiri. Ia juga mengajukan
pertanyaan sebanyak yang saya ajukan kepadanya. Ia tidak seperti kelinci yang
ketakutan. Ia benar-benar manusia, dan ia akan bekerja dengan baik.”
Saya
pernah bergaul dengan orang-orang yang “memaksa” saya berlaku jujur dalam
mengerjakan soal ujian. Sewaktu SMA. Mereka mengajari saya bahwa apapun
kondisinya, tetaplah berlaku jujur. Jangan mencontek. Lalu bagaimana dengan
nilai jelek? Tetaplah tampil seolah-olah anda adalah pemegang nilai tertinggi.
Jangan merisaukan hal itu. Karena anda telah melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan orang lain.
Itulah
yang mereka ajarkan pada saya. Tentang mengumpulkan seluruh kepercayaan saat
datang sebuah permasalahan. Memang sepertinya, hal ini tidak begitu
menyelesaikan masalah. Karena bagaimanapun, soal-soal di ujian selanjutnya mempunyai
bobot kerumitan yang sama. Berbeda dengan teman-teman yang memilih untuk saling
mencontek –walaupun tidak semua- untuk mendapatkan nilai tinggi, nlai kami
mungkin akan tetap jelek.
Tapi
setidaknya, saya telah membuat deklarasi untuk diri saya sendiri bahwa saya
memiliki apa yang tidak mereka miliki. Otak saya pun merespon hal ini dengan
memberikan persetujuan-persetujuan “Benar. Nilai anda mungkin jelek. Tapi anda
jujur. Ingatlah bahwa Allah pun akan lebih memihak anda saat seleksi masuk
universitas. Yakin lah. Semua perjuangan itu membutuhkan pengorbanan. Dan
disini lah kesempatan anda untuk membuktikan bahwa anda telah berkorban.
Lagipula, apakah masa depan anda akan berakhir hanya karena nilai jelek saat
ini? Apakah anda tidak bisa menjadi dokter hanya karena nilai anda tidak 9?”.
Pada
akhirnya, saya tetap bisa berjalan tegak di tengah-tengah mereka. Saya tidak
beralih menjadi manusia penakut yang bahkan menatap mata orang lain saja tidak
sanggup. Walaupun nilai saya sempat diumumkan di depan kelas dengan nilai
terendah, but the show must go on. -Mungkin- karena kepercayaan diri yang saya
bangun itu lah, mereka yang mendapat nilai-nilai tinggi justru sering meminta
saya mengerjakan soal yang tidak bisa mereka selesaikan. Aneh memang, saat yang
jelek mengajari yang bagus. Tapi itulah efek dari menara sikap yang kita
bangun. Dia memancarkan keajaiban yang sama sekali tidak kita duga sebelumnya.
Tapi
jangan pernah melihat cerita ini dari sudut pandang bahwa kita harus mencari
pembenaran atas kesalahan yang kita buat. Jangan mengkambing hitamkan jujur
sebagai penyebab jeleknya nilai kita. Tapi ketika anda memegang sebuah prinsip
yang tidak banyak orang melakukannya, percayalah bahwa anda memerlukan ini.
Jika
saat ini anda dalam posisi serba minder dan merasa banyak kekurangan, sudah
saatnya anda menyadari akan sebuah fakta bahwa ternyata, orang
lain tidaklah se-menakutkan apa yang anda fikirkan. Lebih dari itu, anda akan
mengerti bahwa ternyata, anda mampu menjadi “orang penting” di hadapan diri
anda sendiri dan lawan bicara anda. Ada cara menakjubkan yang harus segera anda
kerjakan:
Ingatlah,
ketika bertemu orang lain –baik yang anda kenal ataupun belum-, mendekatlah
padanya beberapa langkah lebih cepat. Tunjukkan bahwa anda antusias dengannya.
Lalu, lakukan hal ini bersamaan. Ulurkan tangan untuk mengajak dia bersalaman,
rekahkan senyum, dan sapalah dia..“hei”. Sekali lagi, lakukan itu bersamaan.
Seperti
yang saya sampaikan, bahwa sikap ini ibarat bangunan. Maka kita perlu aksi
untuk membuatnya berdiri. Jangan berharap banyak jika kita masih menjadi
penganut faham bahwa “diam adalah emas”. Kita sendiri yang harus bekerja keras untuk
membangun bangunan sikap ini. Maka mulailah dengan aksi. Dan pastikan bahwa
dunia melihat aksimu.
Saya
sendiri terkadang menjadi orang yang kurang kerjaan –menurut sebagian orang-. Alasannya
sederhana. Karena saya sering mengamati orang-orang yang beraktifitas di
sekitar saya. Pakaiannya, rambutnya, mimik mukanya, cara berjalannya, cara
bicaranya, cara dia tersenyum, dan semua yang mereka lakukan. Bukan sekedar
melihat, tapi mengamati. Dan saya belajar banyak dari hal itu. Awalnya saya
tidak menemukan alasan yang tepat kenapa menurut saya, pekerjaan sepele ini
begitu penting. Saya hanya merasa bahwa saya perlu melestarikan kebiasaan ini.
Namun pada akhirnya, saya menemukan alasan yang tepat terkait hal ini. Masih di
buku the magic of thinking big, Shwartz mengatakan “kebanyakan orang mengerti
begitu sedikit tentang mengapa orang bertindak sebagaimana yang mereka perbuat,
walaupun mereka dikelilingi oleh banyak orang sepanjang hidup mereka. Alasannya
adalah, kebanyakan orang bukan pengamat yang terlatih. ” Dia lalu melanjutkan
bahwa kita sebenarnya sering mengajukan pertanyaan pada diri kita sendiri,
mengapa si A punya lebih banyak teman dibanding si B. Mengapa si john begitu
berhasil, dan tom hanya biasa-biasa saja. Kita sering mempertanyakan hal itu.
Namun sekali lagi masalahnya, kita tidak –atau belum- bisa menjadi pengamat
yang baik untuk “laboratorium” kehidupan kita. Laboratorium yang menempatkan
kita sebagai peneliti dan orang-orang di sekitar kita sebagai objek yang kita
teliti.
Termasuk
saat saya mengamati seorang teman yang menurut saya, dimana pun dia berada, dia
selalu mempunyai kenalan. Luar biasa memang. Di masjid, banyak yang dia kenal.
Di tongkrongan anak-anak setengah beres, dia punya teman. Anak-anak yang
kerjaannya belajar-pulang-belajar-pulang pun dia akrab. Ternyata ada hal
menarik yang tidak dimiliki orang-orang seperti dia. Dan ini sederhana. Perhatikan.
Dia selalu tersenyun –dengan senyuman lebar dan tulus- saat pertama kali kontak mata dengan orang yang dia jumpai. Dan setelah itu, dia selalu
menyapa. Entah “hei”,entah “boss..”. Apapun. Atau bahkan saat di jalan –yang
tidak memungkinkan untuk teriak-teriak-, dia selalu mengangkat tangannya
tinggi-tinggi. Sebuah hal yang menandakan bahwa dia antusias dengan lawan
bicaranya. Dia mendeklarasikan bahwa dia menghargai orang lain di hadapannya.
Dan kita sepakat bahwa, saat kita menghargai tinggi orang lain, mereka pun
pasti melakukannya pada kita.
Pada
akhirnya, ketika kita ingin bertransformasi menjadi orang yang percaya diri,
kita memang diharuskan tampil mecolok. Setidaknya, kita harus “memaksa” orang lain
menganggap keberadaan kita. Karena ketahuilah. Saat berbicaara kesuksesan,
tidak ada yang tidak mencolok. Lihat saja Muhammad. Kalau tolak ukur kesuksesan
kita adalah Rosulullah, adakah yang tidak kenal siapa Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muthollib?
sepakat dengan ini..
BalasHapusdan tidak perlu lah merasa rendah karena antusiame kita diabaikan secara sombong,
BalasHapusitu menandakan kita lebih penting dari dia yang terkungkung dengan pengabaian, alhasil tidak penting lah diri dia.
setuju akhbro
Hapus