Bicara masalah
fakta dalam hidup kita akan banyak bicara tentang bagaimana logika bermain dan
bertindak, tapi logika akan berjalan dengan kawan seperjuangannya dalam membuka
pola pemikiran kita untuk bersikap di dunia nyata. Logika tak akan pernah bisa
hidup tanpa kawan sejatinya, yakni perasaan. Logika tanpa perasaan bak manusia
yang mentransformasikan dirinya sebagai robot, dan perasaan tanpa logika hanya
bak hewan bernaluri tanpa berakal. Mereka bak koin logam bermuka dua,
bergandengan, saling menindih, saling bertukar dalam saat-saat yang butuh
penyesuaian. Terkadang kita harus tau kapan berlogika dan kapan berperasaan,
namun logika adalah kumpulan mayoritas yang objektifitasnya berpengaruh padu
pada pembentukan akal, beda dengan perasaan yang siatnya subjektif dan unstable
jika dibandingkan logika. Tak heran dengan sifatnya subjektif dan unstable ini
acap kali perasaan menggiring kita dalam jurang permasalahan, permasalahan
dengan diri sendiri tentunya, atau mungkin berimbas ke orang lain pula. Kali
ini saya akan sedikit berbicara tentang manajemen perasaan.
Kutub bumi ini
telah dibagi oleh Sang Prima Causa akan selalu bersudut pandang dalam dua hal,
utara-selatan, kaya-miskin, baik-buruk, panjang-pendek, positif-negatif, dan
berbaga macam lainnya. Namun bicara masalah perspektif perasaan kita akan
banyak membahas masalah cinta-benci. Cinta bermanifestasi kepada kegiatan yang
positif, jika dilakukan dengan benar, akan menumbuhkan suatu gairah hidup yang
lebih baik. Berbeda dengan saudara jauhnya, atau bahkan mereka tak bersaudara,
hanya hasil dikotomi perasaan saja. Benci adalah salah satu bentuk energi
negatif yang akan berpenghujung dengan hal-hal
berpangkal buruk, pendapat awam saya berkata demikian.
Lalu bagaimana
cara mencintai dan membenci yang benar? Apakah membenci itu boleh padahal itu
buruk? Apakah mencintai selamanya akan mengarah pada hal positif?
Mencintai dan membenci karena Allah
“Tali iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan
membenci karena Allah.” (HR. At-Tirmidzi).
“Barangsiapa
yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan
tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna Imannya.” (HR. Abu
Dawud dan At-Tirmidzi).
Diantara hadits yang
semakna dengan hadits di atas, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dari Mu’adz, bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang iman yang paling utama, maka beliau bersabda: “iman yang
paling utama adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah,
engkau pekerjakan lisanmu dalam berzikir kepada Allah”. Mereka lantas bertanya
: kemudian apa lagi wahai Rasulullah! , beliau menjawab: “engkau mencintai
suatu kebaikan untuk manusia sebagaimana engkau mencintai kebaikan itu untuk
dirimu sendiri dan engkau benci (sesuatu yang buruk terjadi) terhadapnya
sebagaimana engkau membenci hal itu terjadi terhadap dirimu, dan engkau berkata
dengan perkataan yang baik atau engkau diam”.
Dari hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa kita harus
memberikan kecintaan dan kesetiaan kita hanya kepada Allah semata. Kita harus
mencintai terhadap sesuatu yang dicintai Allah, membenci terhadap segala yang
dibenci Allah, ridho kepada apa yang diridhoi Allah, tidak ridho kepada yang
tidak diridhoi Allah, memerintahkan kepada apa yang diperintahkan Allah,
mencegah segala yang dicegah Allah, memberi kepada orang yang Allah cintai
untuk memberikan dan tidak memberikan kepada orang yang Allah tidak suka jika
ia diberi.
Dalam pengertian
menurut syariat, dimaksud dengan al-hubbu fillah (mencintai karena Allah)
adalah mencurahkan kasih sayang dan kecintaan kepada orang-orang yang beriman
dan taat kepada Allah ta’ala karena keimanan dan ketaatan yang mereka
lakukan.Sedangkan yang dimaksud dengan al-bughdu fillah (benci karena Allah)
adalah mencurahkan ketidaksukaan dan kebencian kepada orang-orang yang
mempersekutukanNya dan kepada orang-orang yang keluar dari ketaatan kepadaNya
dikarenakan mereka telah melakukan perbuatan yang mendatangkan kemarahan dan kebencian
Allah, meskipun mereka itu adalah orang-orang
yang dekat hubungan dengan kita.
Sama
dengan kasus ketika kita jatuh cinta pada seseorang, maka jatuh cintalah karena
Allah, jatuh cintalah kepada orang yang senantiasa mendekatkan kita pada Allah,
Jatuh cintalah pada orang yang akan membuat Allah semakin cinta kepada pribadi
kita. Kalaupun ternyata jatuh cinta yang kita lakukan hanya semakin menghinakan
diri kita, menjauhkan diri kita dari Allah, atau bahkan membuat cinta kita
untuk Allah semakin berkurang maka cinta yang tak berdasar kepada Allah itu
harus kita akhirkan. Sebesar apapun cinta itu dihadapan manusia, Allah tak akan
pernah ridho jika cinta itu tidak berlandaskan cinta pada-Nya. Begitupun kita
membenci seseorang, jangan sampai kita membenci orang yang salah. Jangan pernah
membenci orang karena sifatnya, karena bisa jadi ia dekat dengan Allah meski
kita tak suka dengan siatnya. Yang diperbolehkan untuk kita benci adalah orang
dengan siat yang tak disukai Allah, bukan yang tidak kita sukai karena itu
hanya berlandaskan perasaan kita. Ketika kita membenci seseorang karena jelas
Allah membencinya, maka berarti cinta kita telah berdasar pada-Nya.
Mencintai dan membenci sekadarnya
Nah setelah kita
belajar untuk mencintai dan membenci karena Allah, poin keduanya adalah
bagaimana kita mencintai dan membenci sekadarnya. Maksud sekadarnya disini
adalah dengan cara yang biasa saja, tak boleh kurang juga tak boleh lebih.
Karena sesuatu yang tak sesuai kadarnya ahanya akan menimbulkan permasalahan.
Dari Abu Hurairah: Rasulullah sallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Cintailah kekasihmu secukupnya saja, jangan sampai suatu
hari ia menjadi musuhmu, dan bencilah musuhmu secukupnya saja, jangan sampai
suatu hari ia menjadi kekasihmu" . (HR. At-Tirmidzi)
Dari hadits diatas kita bisa belajar cara mencintai dan
membenci yang sesuai kadarnya, pun Rasulullah telah memberikan tuntunan pula
untuk kita. Ketika kita mencintai seseorang, tak layak jua andaikan kita
mencurahkan semua perasaan untuk seseorang itu, mungkin suatu saat ada
saat-saat dimana orang itu mengecewakan kita dan justru perasaan kita bisa
membuncah menjadi benci yang luar biasa. Jangan pernah mencintai seseorang
dengan seluruh perasaan kita, apalagi seseorang yang belum haknya untuk kita
cinta, risiko untuk kecewa pasti akan jauh lebih besar. Justru dengan perasaan
cinta yang ala kadarnya terkadang kita lebih bisa memaknai betapa indahnya
memiliki perasaan cinta tersebut.
Begitupun ketika kita membenci musuh kita, juga harus dengan
kadar yang biasa saja, jangan membencinya terlalu berlebihan. Sama ketika
dahulu Umar masih bercumbu dengan kekafiran yang melekati dirinya, siapa yang
tak kenal ia sebagai salah satu dari musuh besar Islam yang luar biasa
kemampuannya. Tapi sekalipun ia adalah musuh Islam yang memiliki kekuatan
mengerikan, Rasulullah tak pernah membencinya dengan berlebihan, Belia membenci
Umar karena kekafirannya terhadap Allah, dan rasa benci itu hanya sekadarnya.
Mungkin akan beda cerita apabila Rasulullah membenci Umar dengan kadar yang
luar biasa bencinya, bisa jadi Umar tak akan pernah diterima untuk masuk Islam
oleh beliau. Tapi begitulah Rasulullah sebagai manusia dengan kemampuan
manajemen perasaan yang luar biasa. Ketika Umar datang padanya dan memohonkan
dirinya untuk berislam, Rasulullah menyambut dengan amat sangat ramah sekali,
bahkan dengan senyum seakan Umar telah dipersaudarakan dengan Islam sejak
lahir. Subhanallah sekali bukan kalau bicara tentang perasaan.
Jadi ketika seseorang bisa mengekang perasaannya,mengontrol
pikirannya,dan ketika dalam setiap masalah ia memperlakukan sesuai dengan kadar
kebutuhannya maka ia akan melaju selangkah menuju kearifan dan pemahaman yang
hakiki.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari diskusi kita diatas
tadi yakni, kita diperbolehkan mencintai dan membenci seseorang, tapi jangan
lupa bahwa rasa cinta dan benci itu bersyarat. Bersyarat hanya karena Allah dan
bersyarat hanya boleh dilakukan sesuai kadarnya.
0 komentar:
Posting Komentar