Kulihat dari garis kelopak matanya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu memperhatikanku di waktu kecil hingga
kini
Kulihat dari raut wajahnya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu menasehatiku di waktu kecil hingga kini
Ku lihat dari mahkota di atas kepalanya yang mulai memutih
dan aku tahu bahwa dia selalu memikirkan keadaanku di waktu kecil hingga
kini
Tak sengaja
melirik berita infotainment salah satu channel TV swasta bersama keluarga
dirumah yang menayangkan kunjungan beberapa selebriti ke Panti Werdha Budi
Mulia Jakarta tiba-tiba saya teringat ketika Rapat Koordinasi Nasional ISMKI di
Jakarta dulu saya juga pernah berkunjung kesini bersama mahasiswa kedokteran
seluruh Indonesia. Saya tak akan bercerita banyak tentang Rakornas ataupun tentang berita gosipnya, tapi saya akan
mengajak anda berpikir tentang orang tua anda.
“Kemudian air mani
itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
(Al-Mu’minun : 14)
Karena saya
tau pembaca blog ini adalah rata-rata pemuda yang belum pernah merasakan jadi
orang tua, jadi saya ingin anda merasakan perasaan orang tua. Guys, sejak kita
masih berupa sepasang spermatozoid dan ovum, emak kita udah rela merelakan
tubuhnya untuk tempat kita bersemayam, sejenak sebelum dunia yang keras ini
menerima kita dengan syarat. Segagah dan seanggun apapun engkau sekarang tak
lain adalah hasil konversi air hina dina dan telur dari bapak-ibumu, yang
kemudian selama 9 bulan tubuhnya, mengkonversikanmu menjadi manusia seutuhnya
seperti pada ayat diatas.
Pun setelah
kita lahir dan menatap ganasnya dunia, beliau berdua masih dan terus rela
mempertaruhkan waktu, harta, kehormatan, atau bahkan nyawa untuk anaknya yang
bahkan ladang lupa menyebut namanya dalam tiap doa. Tapi lihatlah realitanya
saat ini, realita yang saya hadapi di panti jompo ini. Hampir 200-300 mbah-mbah
ini hidup disini, ada yang baru saja ada yang sudah puluhan tahun. Kemudian
saya menuju salah satu bed dan mengobrol dengan pemilik bed tersebut.
Mbah Wakinah
namanya, usianya sudah hampir 70 tahun kalau saya tidak salah ingat. Beliau
lahir di Nganjuk, dan wah saya berasa ketemu sesama orang Jawa Timur di Jakarta
yang sangat crowded ini. Kemudian saya lumayan banyak mengobrol dengan beliau,
dan menanyakan kenapa bisa sampai di Panti Jompo ini. Kemudian beliau
menceritakan kisahnya ketika jauh negeri ini baru saja merdeka tahun 50an
beliau dari Nganjuk merantau ke Surabaya sebagai seorang pembantu rumah tangga,
kemudian ketika majikannya ke Jakarta pun beliau juga mengikuti kepindahan sang
juragan ke ibukota pula. Hingga akhirnya pergolakan orde baru, majikannya
kembali ke Hongkong. Dan tak mungkin juga kan beliau mau ikut ke Hongkong,
akhirnya terdamparlah beliau di panti jompo yang dikelola pemerintahan Ibukota
ini.
(Foto saya dan Mbah Wakinah)
Yang saya
tanyakan adalah dimana anaknya? Kemudian beliau bercerita bahwa anaknya
ternyata juga ada di Jakarta, kalau tidak salah bekerja sebagai tentara cetus
beliau, entahlah pangkatnya apa di kemiliteran. Pertanyaan terbesar kedua di
benak saya adalah kenapa beliau tak hidup bersama anak dan cucunya, pun di
almari beliau juga tercantum kontak nomor handphone anaknya yang kalau ingin
dijenguk beliau bisa menghubungi putranya lewat pihak panti. Ini anaknya mikir
apa sih bisa-bisanya beliau ditinggalin disini, bukankah lebih enak kalau
diajak tinggal serumah saja? Inilah yang ingin saya renungkan bersama.
Guys orang tua
kita sudah merawat kita sejak kecil, mempertaruhkan nyawa pula. Jangan sampai
lah kita menjadi anak yang tak peduli pada orang tuanya. Ketika di masa tua
harusnya beliau menikmati sisa-sisa hidupnya namun malah harus hidup di panti
jompo dengan keadaan apa adanya. Seharusnya sebagai anak kita punya tanggung
jawab besar merawat beliau dengan setulus hati, pun ketika kita sudah merasa
melakukan apaun yang terbaik untuk orang tua kita. Kita tak akan pernah bisa
membalas segala budi baiknya pada kita. Dalam hati sebenarnya saya ingin
bertanya kenapa tidak tinggal sama anaknya saja mbah? Ah tapi saya tak tega. Toh
beliau menuturkan bahwa beliau senang hidup disini, merasa lebih dekat dengan
pencipta. Meski sudah berumur beliau tetap rajin sholat tahajud dan puasa
sunnah, itu pun yang beliau wasiatkan pula pada saya. Beliau juga
berpesan,”Sekolah yang pinter, cepet lulus jadi dokter. Kalau nyari istri yang
baik sifatnya, gak usah cantik gak apa-apa le. Tetep ingat sama Yang Diatas,
dan semoga hidupmu sukses kelak”. Ya itulah penutup pertemuan singkat saya
dengan mbah Wakinah yang benar-benar membuat batin saya terenyuh.
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan ‘ah’ dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia.” (Al-Isra’ : 23)
Jangan sampai kau kehilangan satu pahala surga yang besar, hanya karena membuang kesempatan untuk tak merawat orang tuamu!
Jangan sampai kau kehilangan satu pahala surga yang besar, hanya karena membuang kesempatan untuk tak merawat orang tuamu!
mengapa harus bercerita tentang mbah orang lain, sedangkan mbahmu menanti kau buatkan kisahnya :) salam rindu, mas. minal aidin wal faidzin :D
BalasHapus-ur lil' sista-