Negeri ini akan segera bangkit. Karena sejauh ini, wanita-wanita mulia di negeri ini terus melahirkan pemuda-pemuda penerus nafas perjuangan bangsa. Mereka tak terpengaruh dengan isu murahan bahwa jumlah manusia harus dibatasi. Dan tunas-tunas baru itu terlahir dengan membawa harapan. Harapan bahwa mereka lah yang akan menjadi permata zamannya. Dan saat ini, biarlah generasi kami yang mempersiapkan mereka. Biarlah kami -mungkin- tak merasakan nikmatnya kejayaan karena kami harus berjuang. Tapi kami ingin tersenyum di liang kubur kami. Karena kami menjadi bagian dari keberhasilan bangsa ini. Jika negeri ini mau berubah, memang ada sekian banyak sektor yang harus dibenahi. Dan di sektor pemuda, biarlah kami yang akan membenahinya.
UNS dan dinamika didalamnya memang
selalu menyajikan warna berbeda dalam kehidupan saya. Termasuk akhir ramadhan
ini. Di masjid yang berdiri megah itu, pemuda-pemuda UNS yang -lima sampai
sepuluh tahun kedepan- akan memegang kendali
negeri ini, berkumpul dan melakukan kerja-kerja menakjubkan, saat
orang-orang diluar mereka sibuk dengan dengkuran dan buaian mimpi.
Pemandangan yang saya jamin anda tak
akan bisa menemukannya di tempat lain. Perhatikan pada sekumpulan pemuda itu. Mereka berjalan kaki, satu
barisan. Menyusuri tepian dengan kemerlip kedip lampu-lampu jalanan. Ada canda.
Ada tawa. Ada bibir yang tersungging. Ada dagu yang mengernyit. Dan ada pukulan
ringan menghantam jidat mereka. Bergantian. Berbalas-balasan. Hari itu, dunia
milik mereka.
Lewatlah mereka, pada satu dua tiga
komunitas yang berbeda. Komunitas yang mengumbar canda, tawa dan bahagia –yang
sebenarnya mereka pun mempunyainya-. Dan mereka menjadi pusat perhatian. Aneh
mungkin. Melihat sekumpulan pemuda bersarung, berpeci, menyusuri jalanan yang
telah sarat dengan hedonisme. Melewati sekumpulan komunitas “anak gaul” dengan
pedenya, tanpa peduli apa kata mereka. Walau sekarang mereka telah dicap
sebagai “orang asing” bahkan di negeri yang membesarkan dirinya sejak bayi. Dan
di moment-moment seperti itulah, saya rengkuh bahu saudara saya, dan saya
katakan padanya “kita lihat saja. 5 tahun kedepan, siapa yang bakal memimpin
negeri ini. Kita apa mereka”.
Sejurus kemudian, mereka sampai pada
tempat yang sama. Bangunan kokoh megah tinggi besar itu, orang-orang
menyebutnya sebagai masjid.
Ada yang lebih mempesona. Saat anda
sempatkan untuk melirik ke dalamnya. Masjid yang berdiri megah itu tak ada
apa-apanya dibanding megahnya pemandangan yang tersaji di dalamnya. Mereka
masih muda. Hampir sama usianya. Hidup ditengah-tengah masyarakat yang semakin
hari semakin kehilangan jati diri. Berbaur dengan lingkungan yang semakin
memaksanya untuk masuk kedalamnya. Tapi saat ini, mereka berkumpul. Melakukan
aktifitas yang sama. Mereka bertasbih, memuji tuhannya. Mereka bertakbir, rukuk
dan sujud dengan gerakan sama. Senada, seirama. Hati mereka bertaut. Fikiran
mereka selaras. Coba bayangkan, andai satu diantara mereka, satu saja dari
mereka dilukai, berapa orang yang akan maju membelanya?
Semakin merangkaknya bulan ke tengah
peraduan, keadaan semakin menakjubkan. Mereka sama berdiri. Berjajar dalam
shaf-shaf yang tersusun rapi. Tangan mereka terangkat. Takbir. Memuji penciptanya.
Menggetarkan bangunan kokoh di sekelilingnya. Mereka larut, dalam indahnya kalimat-kalimat
tuhannya. Ada isakan pelan mewarnai malam itu. Indah. Sungguh indah. Lalu
dengarkan gemuruh rukuk mereka. Adakah mereka menyembah tuhan yang berbeda?
Lalu serempak mereka tersungkur. Mengikrarkan bahwa tak akan ada ceritanya
mereka menyembah sesamanya. Mendeklarasikan bahwa kedudukan mereka sama. Tak
kan pernah terulang perbudakan, tak kan bisa hidup yang namanya kesewenang-wenangan.
Karena tak mungkin mereka menginjak saudaranya smentara mereka sama-sama
bersujud.
Di shaf paling depan, hanya seorang yang
berdiri. Suaranya merdu mendayu. Menggetarkan sekian banyak hati. Hati yang
memang terdesain untuk menerima kalimat-kalimat ini. Mempesona. Suaranya
membuat orang-orang di belakangnya menangis. Kelopak matanya bengkak. Tak
tertahankan, air mata itu mengucur pelan mebasahi kedua pipinya. Apakah karena
suara itu, lalu mereka menangis? Bukan. Karena apa yang dia baca. Tapi, suara
merdu itu menjadi faktor.
Sungguh indah saya bayangkan. Lima sampai
sepuluh tahun kedepan, istana kepresidenan itu benar-benar telah menjadi
mushola. Di sepuluh malam terakhir bulan ramadhan, para pemimpin negeri ini
telah siap dengan shaf-shaf yang berjajar rapi. Pak presiden yang selama ini
belum terkenal dengan kemampuannya menjadi imam, saat itu benar-benar membuat
orang-orang dibelakangnya menangis mengingat dosa-dosanya. Malam itu, beliau
benar-benar menunjukkan bahwa tak perlu waktu lama bagi negeri ini untuk keluar
dari krisis yang selama ini menimpanya. Dan jalan keluar itu, dia lah yang
pertama kali membukanya. Lhoh, sombong berarti? Memamerkan kesholehan? Gak ada
urusan. Saya hanya ingin negeri ini tahu, bahwa dia punya pemimpin yang memang
pantas untuk memimpinnya. Apakah hanya itu tolak ukurnya? Mungkin bukan. Tapi
setidaknya, untuk syarat tersebut dia telah lulus. Presiden memang harus pinter
ngaji. Lha kenapa? Oke, lihatlah pemimpin kita saat ini. Kalau urusan mereka
dengan tuhannya saja nggak beres, bagaiamana mungkin mereka mengurus rakyat ini?
Pantesan aja.. hehe. ups. :o
Adakah yang lebih indah selain mengetahui bahwa negeri
ini mempunyai calon pemimpin yang bisa diandalkan? Walaupun saat ini mereka belum tampil, saya
pastikan bahwa masa-masa itu akan datang. Dan sekarang, kami sedang
merintisnya. Mau ikut bersama kami?
Lanjut, Bro.
BalasHapusseneng moco tulisan2mu..
Tegas. Ga bertele-tele. Mengena
tengkyu bro..
Hapussmoga lebih banyak menginspirasi.. :)
mau pak dokter,,,
BalasHapusmau apa nih?? hehe
Hapusmantap pak dok... SEMANGAT terus buat tulisan" yg lain :)
BalasHapusyoooh siap, semangat buat mampir kesini juga ya
Hapus