Islam adalah satu-satunya agama yang memandang bahwa setiap individunya
terlahir sebagai seorang da’i, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Namun demikian, jelas diterangkan di Al-Quran bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin yang berarti Islam
adalah agama yang universal dan ditujukan kepada seluruh umat manusia, dan kita
sebagai manusia berstatus Muslimin wajib memastikan setiap orang menghirup
nafas dakwah yang kita hembuskan.
Menjadi problematika besar ketika kita harus menegakkan
dakwah kampus di tengah masyarakat
mahasiswa yang amat sangat heterogen, heterogenitas disini tidak hanya terbatas
pada hubungan interaksi dengan sahabat kita yang beragama lain, namun juga
dengan penganut Islam yang lain dimana setiap dari kita memiliki pemahaman yang
berbeda dalam beragama. Di sisi lain kita dituntut agar orang lain mengerti dan
menganut seruan kita kepada kebaikan, padahal dakwah harus melibatkan dialog
bermakna yang penuh kebijakan, perhatian, dan kesabaran. Dengan kata lain meski
kita memiliki pemahaman yang berbeda, dakwah tetap harus dicapai melalui
pengertian dan kasih sayang.
Beberapa ayat dalam Al-Quran mengajarkan bahwa Islam yang
mencakup seluruh aspek kehidupan, menghendaki adanya versi dakwah yang luas
cakupannya, antara lain:
1. Dakwah harus memecahkan kebutuhan
mendasar orang akan jaminan kesejahteraan, karena hal itu sesuai dengan
norma-norma keadilan sosial dan kerjasama persaudaraan.
2. Dakwah harus ditujukan untuk
menghidupkan kembali semangat Islam melalui pendidikan yang layak yang
menjadikan setiap Muslim duta yang potensial bagi Islam.
3. Dakwah harus memberi tuntunan bagi
umat manusia, menawarkan makna bagi hidup, memajukan solidaritas manusia dan
mendorong perubahan sosial.
4. Dakwah harus dilakukan dalam semangat
kebersamaan dan dengan cara bersama-sama, ini yang paling penting.
Hal pertama yang harus kita sikapi ketika akan berdakwah di
masyarakat mahasiswa luas adalah menjauhkan diri dari ekstremisme. Karena
ekstremisme (qulluw) secara empatik
membahayakan posisi Islam itu sendiri, atau bahkan boleh dibilang bertentangan.
Indikasi pertama ekstremisme adalah fanatisme dan sikap tidak toleran terhadap
cara beragama mahasiswa lain. Ekstremisme tampak pada mahasiswa yang menolak
untuk mengubah pendapatnya dan berpegang teguh pada prasangka serta kekakuan.
Keadaan ini terkadang diperparah dengan statement keras yang mengembangkan
kecenderungan untuk menuduh orang lain sebagai bid’ah kufur dan sesat. Boleh jadi keberagaman cara beragama yang
dilakukan mahasiwa lain disebabkan karena mereka belum paham, mungkin juga
mereka sudah paham namun memiliki mazhab atau prinsip yang berbeda. Disini
kita harus bisa menyikapinya dengan cara yang terbuka dan fleksibel,
komunikasikan dengan cara yang baik.
Mengutip salah satu kata-kata Abu Ishaq Al-Syatibi di salah
satu bukunya Al-I’tisam,”Kurangnya
pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan
umat, dan pada akhirnya dapat menggiring ke arah perselisihan internal dan
perpecahan perlahan-lahan.” Untuk mencegah hal-hal seperti itu, dan untuk
menanamkan keseimbangan dalam beragama, penerimaan dan toleransi dalam umat
Islam, hal utama yang diperlukan adalah kefektifan dakwah kepada kaum Muslimin
sendiri. Karena bagaimana mungkin bisa kita mengajak orang lain untuk mengikuti
ideal-ideal Islam seperti tasammuh
(toleransi), i’tidal (moderasi) dan ‘adl (keadilan), jika kita sendiri
sebagai Muslim tak bisa melakukannya secarah holistik dalam hubungan internal
kita.
Nomor dua yang perlu kita bicarakan ketika berdakwah adalah
bagaimana kita bisa berkomunikasi dan berbicara sesuai bahasa kaum yang sedang
kita dakwahi, perintah itu jelas sekali tertuang pada Al-Quran. Makna tekstual
“sesuai bahasa kaum” disini amatlah luas, disini kita harus bisa paham siapa
yang kita ajak bicara, bagaimana karakternya, bagaimana pola pikirnya, serta
berbagai hal-hal lain yang kiranya bisa memberikan kita jawaban dan cara agar
kita bisa sefrekuensi dengan lawan bicara kita. Karena dakwah yang efektif
membutuhkan pendekatan yang berubah-ubah dan metodologi dakwah yang sesuai
dengan objek dakwah itu sendiri.
Memahami arus mendasar pemikiran mahasiswa yang cenderung
idealis merupakan modal awal dalam mengkomunikasikan pesan-pesan Islam. Sering
kali kurangnya atau tidak memadainya informasi tentang penerima dakwah membuat
hasil kerja dakwah masih amat sangat jauh dari kata memuaskan. Itulah sebabnya
kita disini harus biasa menyikapi dan tetap menghargai berbagai macam pola
pikir tiap individu mahasiswa lain.
Inilah kiranya beberapa point penting yang bisa saya
sampaikan, semoga bisa menjadi titik terang perjalanan dakwah kampus yang kita
emban saat ini. Sikap terbuka dan toleran adalah hal mendasar dari semua
point-point besar disini. Terus semangat untuk berdakwah dan sajikan perubahan
besar untuk diri kita sendiri dan orang-orang disekitar kita. Allahuakbar!!!
Hidup Mahasiswa!!!
0 komentar:
Posting Komentar