Bercerita itu butuh teknik. Setidaknya agar cerita anda enak didengar.
Setidaknya pula, agar orang tidak mengira bahwa anda sedang mengigau.
Intonasinya harus pas. Tepat, mantap. Gesture tubuhnya harus menarik. Tangannya
bergerak-gerak, dan kalau perlu, tubuhnya meliuk-liuk lincah. Sorot matanya
tajam, tatapannya berganti-ganti. Raut mukanya harus sesuai. Jangan sampai saat
cerita sedih, anda malah nyengar-nyengir sendiri. Aneh jadinya. Kata orang
solo, wagu tenan. Tapi itu semua, susah.
Saya akui saya paling tidak bisa bercerita dengan gaya atraktif seperti itu.
Saya penah mencobanya. Dan itu gagal. Total. Walaupun saya punya teman dekat juara
mendongeng se-surakarta, tapi rasanya itu tak berarti banyak dalam masalah yang
satu ini. Haha.
Kata stephen covey, sesuatu yang tidak bisa anda kendalikan, lupakan
saja. Nah ini. Dalam beberapa hal , saya tidak terlalu sepakat dengan apa yang
dia katakan. Tapi untuk masalah ini, sepertinya dia cukup benar. Saya mulai pusing
memikirkan bagaimana saya bisa mengembangkan kemampuan saya dalam bercerita.
Saya ingin menjadi pembicara hebat. Tentu kemampuan bercerita yang mumpuni menjadi
sangat penting, right?
Selalu ada seribu jalan untuk melamar anak pak lurah! Asal anda tidak
menyerah, saya yakin pak lurah bakal bilang “terserah”! hahaha. Saya baru
menyadari sebuah fakta yang paling umum diantara kita. Orang cantik itu banyak.
Ya kan? Itu fakta pertama. Fakta kedua, dua orang yang sama-sama cantik, dia
tidak harus memiliki paras yang benar-benar sama persis. Bahkan berbeda sekali pun
tidaklah mengapa. Ibunda aisyah cantik, fatimah putri rosul pun cantik juga.
Paras mereka berbeda, tapi mereka sama-sama cantik. Jadi intinya, nggak penting
mau ukuran hidung kita semancung apa, warna kulit kita seputih apa, mata kita
sebulat apa. Yang penting, cantik. Iya kan? Lihat saja saya. Lihat baik-baik
foto dibawah ini. Sudah? Nah sekarang, bandingkan dengan brad pitt. Bagaimana? Walaupun bentuk mata dan dagu berbeda, tapi tetap sama kan? Iya, sama kok. Serius nih? iya, serius. Yak, terimakasih banyak,
kawan-kawan. Kejujuran anda memang tak perlu disangsikan lagi.
Dari fakta sederhana itu saya belajar sebuah kaidah: metode seperti apapun,
cara penyampaian bagaimanapun, asal anda bisa menunjukkan bahwa yang anda
sampaikan itu sesuatu yang besar dan hebat, anda akan dihargai. Titik. Tidak harus
sama dengan gaya orang yang sudah kondang. Cukup jadi diri anda, dan tunjukkan
bahwa anda pantas menerima hal yang sama.
Saya pernah satu panggung dengan motivator kawakan kampus. Beliau sudah
malang melintang untuk urusan mengisi acara-acara kepemimpinan. Tentu karena
sudah senior, peralatannya lengkap abis dah. Penampilan macho, cara berjalannya
”sangar”, instrumen penunjang materinya pun lengkap. Ada back soundnya segala. Sedangkan
saya –karena waktu itu masih amatiran -, tanpa slide, tanpa back sound, tanpa
apa-apa. Modal kertas contekan, kaos polo hitam, topi hitam, plus ditunjang
dengan kulit saya yang tidak bisa dibilang putih. Pas, kan? Sempurna! Atas
sampek bawah, item semua. Cuman imannya aja yang keliatan bening. Haha. Grogi
awalanya. Apalagi beliau menyampaikan materi terlebih dulu. Situasi seperti ini
cukup rumit untuk motivator baru seperti saya –waktu itu-. Kalau anda tampil
setelah pembicara pertama, dan ternyata anda gagal membuat kesan baik, orang
akan memberikan cap “pemateri kedua nya jelek. Mending yang pertama”. Cap itu
ditujukan pada anda. Sekali lagi, cap itu dialamatkan kepada anda. Masih lebih
mending jika anda yang tampil pertama, lalu gagal, dan pemateri berikutnya
tampil cemerlang. Cap yang diberikan bukan untuk anda, tapi untuk keberhasilan
pemateri kedua. “pemateri kedua bagus tuh”. Aman, kan? Masih mending tidak
diingat, daripada diingat keburukannya. Hehe.
Saya amati dari awal bagaimana cara beliau menyajikan materi. Cukup
menarik. Kan senior. Wajar saja lah. Lalu mata saya beralih ke audiens. Menerawang
jauh ke arah mereka. Awalnya mereka semangat, namun lama-lama situasinya agak
berbeda. Mereka mulai jenuh. Konsentrasi mereka menurun. Peserta putri yang
memegang catatan dan bulpoin mulai menaruhnya satu persatu. Tentu ini bukan
keadaan yang baik. Sayangnya beliau tidak merubah ritme dan cara penyampaian.
Terus saja seperti itu. Menjelang akhir penyampaian,yang tersisa hanyalah
beberapa anak, dengan serpihan-serpihan semangat yang masih tertinggal. Yang
lainnya? Mereka terlalu sibuk mengurusi mata mereka yang merota-ronta untuk
menutup . Apa yang salah? Konten. Itu dia. Beliau terlalu bergantung dengan
“perlengkapan pendukung”, sedang koten yang disampaikan, sudah terlalu sering
diulang-ulang.
“Kalian tahu apa
itu mahasiswa? Maha. Besar. Lebih dari sekedar siswa. Kalian mendapat predikat
maha. Hebat, bukan?”
Mungkin kalau kalimat itu disampaikan saat ospek, mereka akan
manggut-manggut. Iya, benar. Kami dapet
predikat maha. Ini pasti akan seru. Tapi forum ini sudah sangat jauh dari
masa-masa ospek. Dan pasti mereka telah sering mendengar kata-kata doktrin
seperti itu. Jelas bukan hal menarik lagi bagi mereka. Celakanya, beliau tidak
mempertimbangkan hal-hal kecil seperti ini. Jadilah forum itu terasa kurang.
Kurang spesial. Mereka ingin yang baru. Itu yang mereka cari, dan harus segera kita
berikan –sebagai pemateri-.
Tibalah giliran saya. Belajar dari pengalaman kecil itu, saya membuat
kesimpulan sederhana: membuat orang tertarik itu bisa dengan dua hal. Pertama
penampilan. Kedua, isi pembicaraan. Jika tak bisa yang pertama, lakukan yang
kedua.
Oke, beraksi! Ini panggungmu. Ini bagianmu. jadilah dirimu! Jangan jadi
orang lain. Siapapun. bahkan yang terbaik sekalipun. Jangan jadi mereka.
Audiens menunggumu tampil untuk berbicara, bukan menunggumu tampil untuk
menirukan gaya orang. Yang ditunggu kau, bukan orang lain yang kau selipkan
dibelakang dirimu!
Kepercayaan diri saya meningkat. Seratus koma lima persen. Yah, nol koma
lima itu tetaplah keragu-raguan, kawan. Wajar saja lah.
Saya mulai tanpa
salam. Saya minta mereka semua tutup mata. Saya bikin survey dadakan.
“siapa yang
pacaran angkat tangan?” lantang saya teriakkan
“selanjutnya. Yang ngerokok angkat tangan?“
“woi bro, yang buka
mata kita doain jadi jomblo abadi. Bilang amiin”
“amiiinn” mereka
serempak, lantas terkekeh.
“yang pernah
berzina angkat tangan?”
“yang pengen poligami angkat tangan?”
“yang udah punya
rencana mau mati usia berapa dan kayak gimana angkat tangan”
“oke, yang mau
melek, melek aja. Yang nggak mau, ya udah terserah elu”
“berdasarkan
hasil survey, pria-pria di fakultas ini adalah penggemar berat poligami”
Hahaha. Semua
tertawa.
“mau saya
tunjukkan siap saja orangnya?” Sebagian anak beringsut
“kalian nih ya.
Ngerjain soal ujian aja belum tentu bener, udah mikir poligami. Mau dikasih
makan soal ujian tuh bini?” tawa mereka pecah kembali
“Tapi sayangnya,
saat sebagian dari kalian berfikir jauh tentang poligami, kalian tidak ada yang
memikirkan tentang bagaimana kalian akan mati. Mau mati seperti apa, kalian tak
pernah merenungkannya.” Suara saya semakin tegas. Poin terakhir itulah yang
saya jadikan awalan sebelum memulai salam. Mikrofon di tangan saya turunkan
perlahan, lalu saya tatap mata meraka tajam tajam, sambil memanggut-manggut
yakin. Entah karena setuju atau karena mengikuti gerakan saya, yang mereka juga
ikut manggut-manggut. Lalu saya contohkan kisah sahabat yang memilih sendiri
mau mati dengan cara apa. Lagi-lagi mereka mengangguk setuju. Oke, tugas
pertama dan paling penting telah selesai: membuat mereka terpesona pada
pandangan pertama. Entahlah, kata cermin yang setiap hari saya temui, saya
memang mempesona. Kata dia sih, begitu. Entahlah.
Ah, inilah kelemahan saya. Entah berbicara, entah menulis, bahasan saya
sering melebar. Jadi lupa kan, tadi kita mau bahas apa? Yak, itu dia.
Bercerita. Intinya, saya tidak bisa menyajikan cerita dengan cara yang cetar membahana. Dan saya terlalu
meributkan hal itu. Sampai akhirnya saya menyadari kaidah lain yang sama
sederhananya: anda lebih mempesona dengan karakter kuat yang anda miliki,
daripada anda harus menjejalkan karakter orang lain agar anda terlihat hebat.
Saya tidak bisa bercerita dengan penuh kehebohan. Gerakan saya mungkin biasa
biasa saja. Tidak bisa melenggak lenggok layaknya pemeran teater. Fine, tapi sepertinya
saya bisa bercerita dengan diksi yang menarik, pilihan kata yang tepat, dan
semangat yang berapi-api. Itulah karakter saya. Dan saya akan hidup dengan itu,
besar dengan itu, membuat orang terpesona juga dengan itu. Kata orang, saya terlalu
keras. Tapi bagi saya, itulah gunanya saya terlahir. Untuk melindungi
orang-orang lemah dengan kerasnya karakter yang saya punya. Hahaha. Intinya saya
bangga dengan karakter saya.
Jadi iti pembicaraan kita kali ini, jangan pernah menyamakan diri anda
dengan orang lain. Eit, tapi bukan berarti anda tidak boleh meniru orang lain.
Anda salah besar jika berfikir bahwa saya melarang itu. Hobi saya dari dulu
adalah, mengamati orang berbicara. Mulutnya, gerak bibirnya, sorot matanya,
gesture tubuhnya, bahkan sampai cara dia menundukkan kepalanya. Lihatlah mata najwa edisi habibie hari ini. Lihatlah
cara najwa shihab menghormati habibie. Dia tundukkan kepalanya untuk
menunjukkan rasa hormatnya yang paling dalam. Hei, bukankah menundukkan kepala
sedikit lebih rendah itu pekerjaan gampang? Ternyata tidak. Tanyakan saja pada
anda, pernahkah anda sengaja melakukannya untuk menghormati lawan bicara anda?
Itulah gunanya belajar. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mengamati
pembicara yang baik, kita jadi tahu apa saja yang harus kita lakukan. Mengamati
pembicara yang kacau, kita jadi mengerti apa saja yagn harus kita hindari. Sepakat?
Meniru boleh, namun jangan pernah menyamakan. Apalagi membandingkan. Diri
anda terlalu istimewa untuk dibandingkan dengan orang lain. Siapapun dia. Bahkan
yang terbaik sekalipun. Anda selalu punya sisi istimewa yang tidak dimiliki
siapa saja. Itu punya anda. Ya, hanya anda yang mempunyainya. Maka, jadilah
diri anda, tanpa pernah malu untuk mengatakan “inilah saya”.