Rancangan undang-undang
tentang pendidikan dokter yang dikaji di tahun 2012 akhirnya pada tanggal 11
Juli 2013 kemarin telah disetujui oleh DPR-RI dan telah diketok palu oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi UU No. 20 tahun 2013. Akan
tetapi UU ini dirasa masih mengundang kontroversi disana-sini, utamanya tentang
kebijakan mengenai dokter layanan primer (DLP).
Ada beberapa hal yang
mungkin harus kita pahami terlebih dahulu tentang latar belakang dibuatnya UU
No. 20 tahun 2013 ini, yang pertama adalah akibat pelayanan kedokteran yang
belum merata dan masih terpusat pada
kota-kota besar. Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) 2012,
terungkap bahwa dari 9.510
puskesmas yang ada
di Indonesia, 14,7%
di antaranya tidak
memiliki tenaga dokter. Yang
kedua, program dokter layanan primer adalah salah satu program kebijakan pemerintah
yang disiapkan untuk menyongsong era baru sistem kesehatan di Indonesia, yakni
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang wacananya akan diberlakukan mulai 1
Januari 2014 besok.
Namun banyak dari kita
yang berkecimpung di dunia kedokteran ataupun masyarakat yang belum tahu
tentang apa itu dokter layanan primer. Mari coba kita tilik sejenak pasal 8
ayat 3 UU No. 20 Tahun 2013 yang berbunyi,”Program
dokter layanan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
merupakan kelanjutan dari
program profesi Dokter dan
program internsip yang
setara dengan program
dokter spesialis.” Jadi dapat
kita simpulkan bahwa dokter layanan primer
adalah sebuah cabang spesialisasi baru setingkat dokter spesialis dan
subspesialis dalam dunia
kedokteran Indonesia yang
ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai
pelaku pada layanan
kesehatan tingkat pertama,
melakukan penapisan rujukan tingkat
pertama ke tingkat
kedua, dan melakukan
kendali mutu serta kendali biaya
sesuai dengan standar kompetensi dokter
dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
Jadi sudah jelas bahwa
nantinya dokter layanan primer dan dokter umum sangatlah berbeda, dokter
layanan primer jelas memiliki strata yang lebih tinggi setingkat spesialis dan
subspesialis karena profesi dokter umum diharuskan menempuh pendidikan dokter
layanan primer selama 2 tahun terlebih dahulu sebelum bisa masuk dalam sistem
SJSN yang diharapkan pemerintah dapat menutup celah-celah sistem kesehatan yang
ada selama ini. Lalu bagaimana nasib dokter umum nantinya? Dokter umum
masih bisa berpraktek
seperti biasa di klinik
dan rumah sakit
swasta yang tidak
tergabung dalam SJSN
selama mereka memiliki izin untuk berpraktek. Namun ini akan menjadi
tugas besar pemerintah untuk mengkonversikan para dokter umum yang sudah
tergabung dalam sistem lama untuk menyiapkan dokter layanan primer di era SJSN
nanti.
Selain masalah dokter
layanan primer, muncul lagi masalah kedua yang sudah saya sebutkan di paragraf
sebelumnya. Instutusi pendidikan yang berhak mengkonversikan dokter umum
menjadi dokter layanan primer hanya dapat dilakukan oleh institusi pendidikan
kedokteran berakreditasi A, atau institusi pendidikan kedokteran berakreditasi
B yang bekerjasama dengan institusi pendidikan kedokteran berakreditasi A,
seperti yang tertuang pada pasal 8 ayat 1 yang berbunyi,”Program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis, subspesialis, dan
dokter gigi spesialis-subspesialis hanya
dapat diselenggarakan oleh
Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi yang
memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi
kedokteran dan program studi kedokteran gigi”. Dan kemudian dijelaskan
lebih lanjut di pasal 8 ayat 2,”Dalam hal
mempercepat terpenuhinya kebutuhan
dokter layanan primer, Fakultas Kedokteran dengan akreditasi
kategori tertinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dapat bekerja sama
dengan Fakultas Kedokteran
yang akreditasinya setingkat lebih
rendah dalam menjalankan
program dokter layanan primer.”
Kenapa ini menjadi
masalah besar yang kedua? Karena pada kenyataannya dari 74 institusi pendidikan
kedokteran yang ada di Indonesia saat ini, hanya ada 17 institusi terakreditasi
A, 21 institusi terakreditasi B, dan sisanya masih terakreditasi C atau bahkan
belum terakreditasi. Otomatis sistem konversi dokter layanan primer ini hanya
dapat dilakukan oleh 38 institusi, padahal jumlah dokter umum saat ini kurang
lebih 85 ribu. Bisa kita bayangkan sendiri bagaimana ruwetnya sistem kesehatan
di negara ini beberapa tahun kedepan. Ironis memang ketika pemerintah
menyiapkan suatu kebijakan yang tujuannya memang baik namun beberapa lini yang
ada saat ini masih perlu disiapkan lagi. Bagaimana mungkin para dokter umum
yang ada saat ini dikonversi untuk menjadi dokter layanan primer namun
institusi pendidikan kedokteran yang berfungsi sebagai alat konversi jumlahnya
seakan-akan dibatasi.
Penerawangan awam saya
berkata, nampaknya SJSN di tahun 2014 nanti akan belum bisa berjalan maksimal,
kemudian agenda MDG’s dan Indonesia Sehat 2015 juga akan mengalami banyak
kendala dengan sistem kita yang masih belum stabil saat ini. Paling cepat
sistem ini dapat mulai berjalan stabil sekitar tahun 2016. Beberapa minggu lalu
DIKTI dan Kementerian Kesehatan melalui sosialisasi teleconfrence juga menyampaikan bahwa UU No. 20 tahun 2013 akan
terus dikaji lebih lanjut dan akan dibuat Peraturan Pemerintah serta Peraturan
Menteri untuk lebih menegaskan keberjalanannya nanti.
Sebagai insan manusia yang sudah terlanjur
masuk dunia kedokteran dan kesehatan, tentu isu
yang ada saat ini akan berdampak besar bagi kita kini maupun
nanti.
Hal ini dikarenakan undang-undang ini mengatur kegiatan kedokteran dimulai dari pendidikan kedokteran itu sendiri hingga bentuk pelayanan kedokteran di
masyarakat. Sangat memprihatinkan apabila masih banyak mahasiswa kedokteran yang masih kurang aware
atau bahkan tidak tahu-menahu tentang isu ini. Padahal apabila isu ini dapat dikawal dengan baik, bukan hanya kita yang mendapatkan sisi positifnya,
masyarakat, dan negara
pun juga akan ikut merasakan dampaknya.
Dari sini sebuah pertanyaan
besar muncul di hadapan kita semua, apakah kita akan berdiam diri saja menanggapi
isu yang secara efek global dapat berdampak pada diri kita? Mari kita bersama-sama
mengkaji dan mengkawal isu ini. Harapannya agar proses pengawasan dari mahasiswa
ke pemerintah dapat berjalan secara maksimal dan hasil yang menjadi tujuan dari
UU No 20 tahun 2013 ini dapat tercapai. Salam hangat dari saya, HIDUP
MAHASISWA!!!