Wahai wanita,
jika datang salah seorang pria diantaramu kemudian ia mengucap rindu lalu merengkuh
dan menggenggamu erat padahal hijab dintara kalian masih tegak berdiri maka
pertanyakanlah. Masih pantaskah kau sebut ia pangeran? Justru lelaki sejati
adalah ia yang melepaskanmu dan membiarkan waktu yang menjawab, apakah rindu
itu akan menghilang atau semakin mengental
Dinda, sudah
hampir seperlima abad ini aku menginjakkan kaki di punggung bumi. Namun sekalipun
aku tak pernah bisa membayangkan apalagi bertemu denganmu. Gurat takdir selalu
menjaga batasku denganmu, hijab hati selalu mencegahku menemukanmu, bahkan
matakupun dibungkam tak dapat melihatmu. Kalaupun kau masih menunggu termangu,
kenapa kau tak coba berlari ke arahku. Ah ya aku lupa bahwa dirimupun juga tak
dapat melihatku. Kita tak saling kenal sampai ujung waktu yang menantikan.
Pernah beberapa
kali aku merasakan getaranmu Dinda, namun ternyata semua getaran itu semu.
Pernah bahkan ada getaran yang mengelukan lidahku, mengoyak batinku, membuat
doa syahdu terbaitkan untukmu. Namun ternyata itu bukan engkau Dinda. Dan
hingga getaran yang terakhir kemarin aku sudah tak mau percaya lagi, aku sudah
tak mau memikirkanmu lagi. Aku berhenti dalam semua kegelisahan ini. Aku tahu
memikirkanmu hanya menjadikanku semakin menggunungkan dosa, memandangmu hanya
akan membuat pandanganku terhadap yang lain makin buta, mendengarmu hanya akan
membuatku tuli pada seruan-seruan yang lebih indah. Maafkan aku Dinda, aku tak
mau mengingatmu lagi. Meski batin ini semakin keras memberontak memasukanmu
dalam ingatanku. Aku akan tetap bersikeras menolak jiwamu yang menyeruak masuk
batinku.
Kegelisahanku
terhadapmu hanya akan memurahkanku, dan aku tak terima ketika derajatku turun
hanya karena pikiran nafsu dalam otak ini. Aku tahu kau kini terus memantaskan
diri untuk pangeranmu. Sesekali aku berharap itu aku, namun kini biarlah itu
hanya meresap dalam dinding hati dan tak lebih. Aku lebih punya ekspektasi
besar untuk diriku, dan tak layak ketika aku harus memikirkan ekspektasi atas
dirimu. Kau belum menjadi hakku, dan kau bebas menentukan arah hidupmu Dinda. Aku
akan melanjutkan perjalananku menuju barat laut, tempat yang mungkin berlawanan
arah denganmu yang kini aku tahu kau memilih tenggara sebagai peraduanmu. Andaikan
kau tahu arah berlawanan ini justru yang akan membuat kita bertemu padu. Allah
yang menggerakkan hati kita melangkah, tak akan pernah meleset satu derajatpun
dari garis khayal astronomis yang dibuat manusia. Aku masih percaya dan
harusnya kau pun masih percaya pada-Nya.
Dinda, banyak
orang bilang jodoh itu di tangan Tuhan. Bolehkah kalau aku tak setuju? Justru
jodoh itu ada ditanganku dan ditanganmu, bukankah begitu? Aku tahu tangan Tuhan
tak akan merandom begitu saja
terhadap pilihanku, itu yang kupahami. Dan bukankah itu lebih nyaman ketika
ketika kita bebas menetukan langkah masing-masing. Kenapa aku percaya engkau
ada ditanganku, karena tangankulah yang menentukan bertemu tidaknya aku
denganmu, besar usahakulah yang nanti bertaut dengan dirimu. Tanganku ini yang
akan membawaku dalam naungan kebaikan, tanganku lah yang menentukan dengan
siapa aku nantinya bergandengan, bukan Tangan Tuhan yang menentukan. Lalu jika
kau bertanya apa aku tak percaya tangan Tuhan, aku sangat percaya Dinda, karena
tangan-Nya lah yang nanti mencarikan dirimu yang sekufu dengan tanganku. Disinilah baru tangan Tuhan berperan Dinda,
berperan untuk mengokohkan pegangan kita agar tak lepas, agar aku senantiasa
disandingmu, agar aku senantiasa bisa memelukmu, agar pundak ini senantiasa
membantu kepalamu tersandar dalam
belaianku.
Tahukah engkau
Dinda bahwa Rasulullah pernah berwasiat padaku, bahwa dirimu adalah fitnah yang
paling Beliau takutkan menimpaku diantara fitnah-fitnah dunia. Ini membuat dirimu ibarat
dua mata koin yang saling menindih gambarnya satu sama lain. Satu sisi dari
dirimu memupuk dosa namun di sisi yang lain membawakan nikmat dan pahala. Maaf
sebelumnya bukannya aku ingin mengatakan kau yang menyebabkan dosaku
menggunung, namun aku yang lebih bersalah jika harus menimbun dosaku dan dosamu
atas kesalahan kita. Untuk saat ini memandangmu, menyentuhmu, dan memelukmu
adalah bagian dari dosa meski aku hanya mencumbumu dalam bayang-bayang semu.
Tapi tahukah engkau Dinda aku masih menggantungkan mimpi yang tinggi itu, mimpi
ketika pandangan, sentuhan, pelukan, atau bahkan cumbuan itu terkonversi
menjadi amal-amal kita kelak kalau halal sudah terucap diatas keharaman yang
sekarang ini belum tertangguhkan.
Maaf kalau
hingga saat ini kau masih menungguku, ini tak lebih karena sekarang aku masih
belum sanggup jika harus menjatuhkan khithbah atasmu Dinda. Semoga kau
memaafkanku yang belum bisa berbuat lebih ini. Tapi percayalah aku tak akan
pernah mempertaruhkan pandanganku pada wanita lain Dinda, siapapun dia atau
bahkan tanpa kusadari ternyata wanita itu adalah dirimu sendiri. Dan aku juga
percaya bahwa kau akan menjagakan dirimu pula untukku meski berjuta pria
melirikmu, aku masih yakin bahwa Adindaku tak akan pernah tertukar. Bukan
begitu Dinda?
Maafkan aku
Dinda kalau akhirnya aku memeras dendam, bukan karena aku membencimu, aku hanya
ingin Allah lebih mencintaiku. Itu saja, tak kurang tak lebih. Kau tahu dendam
apa yang paling kusimpan untukmu? Dendam besar untuk memaafkan dan
mengikhlaskan kepergianmu. Aku tak akan pernah mendendam hitam meski perih
menghujam qalbu, aku tak akan pernah
berniat jahat padamu, karena aku tahu suatu saat nanti kau juga akhirnya
menemaniku di penghujung hidupku.
Jadi untuk
itulah aku tak pernah mau lagi memikirkanmu, toh ujung-ujungnya aku pasti akan
bertemu denganmu. Oleh karena itu, bolehkah aku sejenak pergi meninggalkanmu
Dinda? Menggenggamu erat justru malah menyakitimu bukan? Sejenak aku ingin
sekarang kita berpisah Dinda, berpisah sejenak menikmati kesendirian kita
masing-masing. Bukankah jelas "Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantikan untuknya yang lebih baik darinya. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya maka Allah akan menjadikan mata hatinya kembali bersinar". Oleh karena aku ingin bertemu denganmu dalam keadaan kita yang jauh lebih baik, dan pastinya kau pun begitu, jadi untuk saat ini ikhlaskan perpisahan kita ini. Berjanjilah jangan terlalu memikirkanku, pun aku juga tak mau terlalu memikirkanmu, pikirkanlah bagaimana agar kita bertemu dalam bentuk kita yang paling baik. Bukan begitu Adindaku?
“Aku sadar bahwa Dinda adalah makhluk selembut pasir, menggenggamu erat
justru akan membuatmu menjadi serpihan-serpihan debu yang beruraian. Namun aku
akan membiarkan Dinda tertiup angin, bebas terbang. Hingga nanti kita akan
bertemu dalam kerinduan yang mengental jadi debu”
Gua banget :') cerita yang bagus
BalasHapusWah sip2, matur nuwun bro
Hapus