Senin, 08 April 2013

Kekayaan = Kebaikan

                Jujur, saya sungguh miris melihat orang-orang muslim -saat ini- yang masih beranggapan bahwa kekayaan itu bukanlah hal penting dalam kehidupan kita. Oke, mungkin kita tak perlu kaya terlebih dulu untuk mendapatkan kebahagiaan. Kita tak perlu kaya terlebih dulu untuk beribadah dan mendapatkan ke-khusyu’an. Ada mungkin yang bilang. Saya miskin, tapi ibadah saya khusyu’. Saya miskin, tutur kata saya tetap baik. Saya miskin, sholat wajib saya nggak pernah bolong. Oke. Oke. Tapi pertanyaannya, apakah dengan kaya, lantas ibadah kita jadi nggak bisa khusyu’? tutur kata kita jadi bejat tak karuan? Well. Mau kaya mau miskin itu terserah anda. Tapi satu hal yang harus anda ingat.
                Saat anda kaya, anda bisa beribadah seperti ibadahnya orang miskin. Anda bisa berkata jujur seperti perkataannya orang miskin. Namun bedanya, saat anda menjadi kaya, anda mampu bersedekah -yang mungkin tak mampu dilakukan oleh si miskin-
. Anda mampu mendirikan sekolah gratis –yang mungkin juga tak kesampaian dilakukan oleh orang miskin-. Dan anda, bisa membantu si miskin agar bisa meningkatkan kualitas ibadahnya. Ini adalah amalan harta yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang dititipi harta oleh allah.
                Maaf, sekali lagi saya tidak mengatakan bahwa menjadi miskin itu buruk. Karena memang miskin kaya itu bukan hanya perkara seberapa besar usaha kita dalam mencari rzeki, tapi juga perkara apakah Dia yang maha menitipkan rezeki telah berkehendak menitipkannya pada kita. Namun keburukan itu adalah, menjadi manusia kerdil yang “tidak mengusahakan” menjadi kaya. Karena terkadang kita sering terjebak. Dengan alasan zuhud, kita menutupi kemalasan kita. Lhoh, kan jadi orang kaya itu harus kerja keras. Mana ada kita kaya tiba-tiba?. Maka sebenarnya, orang-orang yang tidak megusahakan  menjadi orang kaya itulah orang yang malas. Mereka malas untuk mengeluarkan keringat mereka lebih banyak dari yang mereka mampu. Mereka malas untuk memaksa otak mereka bekerja lebih dari yang mereka bisa, hanya karena sebuah alasan. “saya ingin jadi orang zuhud”. Bullshit, I say.
                Izinkan saya meminta maaf sekali lagi. Bukan orang miskin yang saya bahas di dalam tulisan ini. Tetapi dia yang bisa dan punya banyak kesempatan untuk kaya, tapi melewatkannya begitu saja. Mereka bukannya gagal memaksimalkan potensi mereka, tapi mereka sendiri lah yang dengan sengaja menutupinya. Dengan dalih zuhud. Padahal gelar zuhud itu, paling pas disematkan pada orang yang “mampu bermewah-mewah”, lantas mereka memilih untuk tidak melakukannya. Rosulullah kaya, tapi belaiu sederhana. Itulah zuhud. Abu Bakr, yang bahkan dunia pun mencarinya, tapi dia memilih untuk menjauh. Itulah zuhud. Abdurrahman bin ‘auf, yang khalifah dagangnya mampu membuat madinah bergemuruh, tapi tak ada beda antara dia dengan budaknya, itulah zuhud.
                Saya teringat sebuah hal. No growth in comfort zone. No comfort in growth zone. Kita harus keluar dari zona nyaman untuk “tumbuh”, yang dalam bahasan kali ini kita menyebutnya dengan “kaya”. Jika ingin kaya, kita harus melepas zona nyaman kita. Mau tak mau. Bisa tak bisa. Karena ketika kita ingin mendapatkan sesuatu yang belum pernah kita dapatkan, kita harus berani melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan. Berarti, perlu kerja keras untuk “sekedar” menjadi orang kaya. Dan orang malas tak akan pernah mau mengambil langkah tersebut.
                Orang miskin yang tidak mau berusaha untuk kaya, yang mungkin saat ini merasa bahwa dirinya tidak hidup dalam kenyamanan, bukan berarti mereka telah keluar dari zona nyaman tersebut. Karena bisa jadi, mereka menikmati “ke-minimalis-an”dalam hidupnya. Mereka  sudah merasa cukup dengan gaji standart karyawan bawahan, asalkan pasti ada tiap bulannya. Mereka merasa tak perlu berbagi dengan orang lain dengan alasan “buat makan aja kurang”. Mereka tak mau mengambil resiko dalam kehidupan yang dia jalani. Karena memang berwirausaha itu sangat penuh dengan ketidakpastian. Bisa untung besar, bisa hancur lebur. Sangat tidak pasti. Begitu juga dengan sedekah. Secara itung-itungan rasional, mana ada kita keluar 1000, lalu kita dapat 700ribu? Sangat tidak pasti kan, jika kita fikir secara logika? Padahal Allah telah menjanjikan dalam surah al-baqarah 261 “perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji..”. Bahkan Dia menambahkan “Allah melipatgandakan bagi Siapa yang Dia kehendaki..”. Kurang apa coba? Kurang ajar kita kalau tak mau percaya.
                Satu hal yang harus kita teliti lebih dalam, bahwa Israel adalah Negara yang tidak memikirkan lagi tentang kesejahteraan ekonomi bangsanya. Yang mereka fikirkan hanyalah bagaimana cara mengambil sedikit demi sedikit tanah palestina untuk mereka duduki dan mereka aku-aku-kan sebagai tanah Israel. Mereka berpacu untuk meningkatkan sistem pertahanan negara mereka. Roket, rudal, jet-jet tempur,  seolah menjadi kebutuhan pokok yang harus segera mereka penuhi. Lantas bagaimana bisa mereka mendapat uang sebegitu banyaknya, kalau mereka saja tidak memikirkan kondisi ekonomi warganya? Ternyata, bangsa yahudi bisa hebat seperti saat ini, karena semua orang yahudi, yang tersebar diseluruh penjuru dunia adalah orang-orang kaya. Tak ada diantara mereka yang menjadi pengemis. Tak ada diantara mereka yang menjadi gembel. Mereka adalah orang-orang kuat dalam kehidupan ekonomi mereka. Dan “sedekah” mereka dalam menyokong  program-program konspirasi yahudi tak pernah tanggung tanggung. Kalau orang jawa bilang, bral-brol.  Totalitas.  Sehingga dengan kekuatan ekonomi yang begitu besar dari warga keturunannya, mereka dapat dengan mudah menguasai segalanya. Media, industri, sistem pemerintahan, semua dapat terbeli. Lalu bagaimana kondisi umat kita saat ini?
                Satu hal yang tak boleh kita lupakan. Dalam berdakwah, rosul tidak hanya mengandalkan kekuatan hati dan fikiran. Beliau juga menggunakan harta. Bukan hanya harta beliau sendiri. Maka untuk mendukung ini, Allah “memberikan” Abu Bakr. Seorang saudagar kaya yang tanpa tedeng aling-aling memberikan seluruh kekayaannya fi sabilillah.
                Lalu kemudian, Allah memasivkan dakwah rosul dengan kehadiran abdurahman bin ‘auf. Andai kita tahu, Abdurrahman bin auf itu kalau lagi jual unta, dia menjualnya seharga dia membelinya. Misal ni, beliau beli unta 100 real. Nah, beliau jual lagi 100 real. Trus, dapet untung darimana? Inilah salah satu bukti kecerdasan para sahabat dalam mengembangkan teori-teori berwirausaha. Jadi begitu beliau jual 100 real, otomatis kan banyak yang berminat tu. Nah, begitu ada yang membeli, beliau tawarkan pelananya, sepatunya, accesoris unta lah pokonya. Dan beliau bermain disitu. Hebat kan? Maka kalau pengen jadi Abdurrahman bin auf, apa yang musti kita lakukan? Ya tiru apa yang beliau lakukan. Sederhana nya gini, kalau kita ingin jadi orang hebat, contohlah orang hebat. Ke pasar dong. Jangan cuma ngendon di masjid doang. Rumah kita dekat masjid, deket pasar. Tapi kita nongolnya ke masjid mulu. Ya mana dapat..
                Kita harus ingat pesan rosul begitu rombongan kaum muslimin hijrah ke madinah, beliau bilang pada para sahabat. Kuasai itu pasar madinah. Kuasai itu pasar-pasarnya orang yahudi. Sampai sejauh ini, masih ada yang bilang,menjadi mukmin kaya itu, suatu keburukan?
                Sama seperti saat kita sekolah, menjadi seorang mukmin itu juga ada tingkatannya. Jelas, dalam ayat kedua surah al-mulk allah mengatakan “..liyabluwakum ayyukum ahsanu amala..”.  “..untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya..”. Seorang mukmin yang sholat, dan seorang mukmin yang sholat lalu bersedekah, jauh lebih baik mana? Kalau saya, saya lebih memilih yang kedua. 
                “Miskin”-nya kebanyakan orang sekarang itu berbeda dengan “miskin”-nya para sahabat dahulu. Sungguh telah terkisah dengan sangat indah, bahwa sang khalifah ‘umar ibnu al khattab sedih dengan tumpukan harta yang ada di hadapannya setelah umat muslim dengan gagah menaklukan Persia. ‘Umar mengatakan “jika ini kebaikan, mengapa tidak terjadi di zaman Rosulullah dan Abu Bakr? Celaka! Mengapa di zamanku?”. Maka ada perbedaan disini yang harus kita fahami. Tidak memilih menjadi orang kaya, berbeda dengan tidak mengusahakan menjadi kaya. Dalam bahasan yang cantik, sejarah mencatatkan bahwa Abdurrahman Ibnu ‘Auf pernah berkata dengan sendu saat dihidangkan roti lembut dihadapannya “Mush’ab Ibn Umair lebih baik dari kami. Dia tak pernah menikmati makanan seperti ini. Kala syahid di Uhud, tiada kafan baginya selain selimut usang; kalau ditutupkan ke kepala terbuka kakinya, jika diselubungkan ke kaki tersingkap kepala”. Maka jadilah penampilan Abdurrahman tak lebih baik dari budaknya. Para sahabat itu, mereka semua memilih untuk tetap pada prinsip yang diajarkan rosul kita. Berada di dalam kesederhanaan. Persis seperti doa Nabi “wa laa taj’alid dunya akbara hamminaa, wa la mablagha ‘ilminaa; jangan jadikan dunia cita terbesar dan tujuan ilmu kami”. Mereka, orang-orang hebat itu memilih menajuh, setelah mereka mampu mendapatkan dunia. Mereka sendiri yang memilihnya. Bukan karena mereka tak mampu mendapatkannya, lalu mereka mundur dari urusan dunianya. Bukan. Tapi karena memang mereka memilih hal itu. Sekarang, kalau kita belum menjadi orang yang mandiri dalam ekonomi kita dan kita mengatakan bahwa kita ingin zuhud seperti rosul dan para sahabat, sudahkah kita bertanya, itu pilihan kita, atau hanya kedok untuk ketidaksungguhan kita dalam mencari rezeki Allah yang maha luas? Allahu a’lam.
Ya robb, hindarkanlah kami dari kekafiran. Jauhkanlah kami dari kefakiran. Sungguh, engkaulah sebaik-baik pencukup kebutuhan kami. I love u, God.

0 komentar:

Posting Komentar