Sabtu, 29 Maret 2014

TANTO


                                               
Salah satu audiens yang paling “menantang” dan paling sulit untuk ditaklukkan adalah anak-anak SMA. Percaya dah. Apalagi kelas XII. Apalagi sekolah pedesaan. Maaf ya. Tapi ini benar. Menyampaikan materi di SMA yang cukup terpandang dengan SMA pedesaan yang jauh dari kota ternyata  benar-benar berbeda. Minimal  dari cara mereka menghargai lawan bicara, dan cara mereka menghargai ilmu baru yang belum pernah mereka dapatkan. Kalau anda pernah merasakannya, saya yakin anda sepakat dengan saya.
Saya pernah melakukan penyuluhan kesehatan. Bersepuluh waktu itu.  Bukan di SMA bonafid. Jangankan boafid, satu kelas saja isinya lima orang. Semacam les privat memang. Tak ada lapangan upacara, tak ada parkiran luas, dan tak ada kantin. Kalau lapar? Mungkin mereka pulang dan tak balik ke sekolah lagi. Atau mungkin mereka sudah terlalu kenyang karena menghisap rokok. Haha. Entahlah. Tapi yang jelas, SMA yang satu ini memang benar-benar jempolan. Tau suzuran di film crows zero? Nah, mirip-mirip itu lah.
Seperti biasa, saya mendapat tugas membuka, menutup dan mencairkan suasana. Saya mulai dengan gaya saya. Berapi-api, sampai benar-benar terbakar. Gosong. Minimal agar mereka berfikir bahwa saya membawa sesuatu yang harus mereka camkan baik-baik. Sesuatu yang istimewa. Kan kata orang, kesan pertama itu segalanya. Nah, itu dia. Biasanya cara saya ini sukses besar. Orang-orang jadi semangat. Membara, membahana.
Eng ing eng.. Ternyata tak se-mulus yang saya harapkan. Medan tampaknya tak begitu bersahabat. Mereka tidak terlalu serius dengan apa yang saya sampaikan. Padahal dari mulut saya hampir keluar semburan api. Gawat. Lama-lama mulut saya bisa berbusa. Saya harus bertindak!
Saya pasang posisi kuda-kuda. Dua tangan menunjuk ke arah mereka. Bergaya se-cool mungkin. Kaki kanan di depan, sedikit ditekuk, kaki kiri di belakang, menyesuaikan. Badan sedikit terbungkuk, wajah serius, dahi mengernyit hingga alis hampir berhimpit. Siap menyeringai. Wah, jos. Lalu saya teriak “kelas enam SD, saya dapat sebuah piala. Kecil memang, tapi saya peroleh dengan kerja keras. Lalu saya berikan kepada ibu saya. Beliau tersenyum bangga karena itu. Kalian, yang kerjaannya ngehabisin duit ibu kalian buat ngerokok, apa yang sudah kalian buat agar beliau tersenyum bangga??”

Seisi ruangan diam. Termasuk saya. Berhasil. Mereka terpana. Namun kemudian saya bertanya-tanya. Kalau pertanyaan itu diajukan ke saya, hanya piala itukah jawaban saya?

----------------------------------------
Satu hal yang saya lakukan saat benar-benar jenuh dengan rutinitas adalah, main ke panti asuhan. Wah, itu bener-bener manjur. Anda main kesana, ngobrol dengan mereka, mendengarnya bercerita panjang lebar, memberinya sesuatu –entah apapun itu-, lalu anda pulang diiringi tawa mereka. Wih..mantep! Nggak mungkin anda nggak bahagia. Yakin. Minimal anda akan tahu, betapa beruntungnya anda dibanding mereka.
Izinkan saya berbagi. Kisah sederhana dari rumah yang penuh kebahagiaan. Panti asuhan. Namanya tanto. Dari kelas 5 SD dia tinggal di panti, tepat setelah sang ayah meninggalkannya pergi. Dia punya kembaran, tapi perempuan. Kembar dampit kata orang jawa. Ibunya masih hidup sampai sekarang. “Beliau sakit-sakitan mas tapi” kata tanto. Sejak ayahnya meninggal, dia mengambil sebagian peran yang selama ini dimainkan oleh ayahnya. Mencari nafkah. Sambil berangkat sekolah, dia bawa kotak makanan berisi gorengan dan nasi kucing. Lalu dijual ke teman-temannya. Setiap hari seperti itu. Hebat kan. Bandingkan dengan kita –yang merasa-. Ipod, iphone, tablet, mobil, motor, sepatu, tas. Semua serba mewah. Itu punya siapa? Bapak-emak kan?  Trus petantang petenteng pake barang pinjeman? Malu bro sama tanto (yang ngerasa).
Lanjut. Tanto ini sekarang kuliah di salah satu sekolah tinggi swasta. Dia ambil informatika, program diploma 1. Padahal dari SMK dia ambil arsitektur. How come?
“Disana nggak ada arsitektur mas. Adanya informatika”. Ohh.. I see.
Lalu saya tanya “pengen kuliah nggak?”
dia ketawa. “ngetawain apaan?”
“hehe. nggak ada mas. Ya pengen sih mas kalo kuliah. Tapi beum tau..”
saya tau nih. Dia pasti bingung masalah uang.
“udahlah, nggak usah mikirin duit. Masuk arsitektur itu berat. Sekarang tahajudnya jangan bolong. Dhuha jangan bolong. Disempetin belajar soal-soal SNMPTN juga. Duit mah gampang. Kalo nggak ada duit kan tinggal bilang pak rektor. Yang penting ketrima dulu”
“emang pak rektor mau bayarin kuliah saya mas?”
“nggak tahu. hahaha” eh, gantian saya ketawa, dia malah mengkeret.
Kalau dia dulu jurusan arsitektur, berarti kan pernah bikin sketsa-sketsa gitu ya. Nah, saya minta dia kasih liat karyanya. Dia tunjukin gambarannya sewaktu SMK dulu. Ada 5 halaman kertas kalkir kalau tidak salah. Saya minta diajarkan bagaimana cara membaca sket itu. Lalu dia menjelaskan panjang lebar. Asik nih. Kuliah gratis. Diterangin sana-sini. By the way, ini pelajaran yang paling tidak saya bisa sewaktu SMA.
Di halaman ke-6 dari kerjaan tanto ini, saya tidak menemukan gambaran. Disana justru tertera angka-angka dengan kalkulasi sederhana. Saya kira itu utang-utangnya. Haha. Ternyata bukan.
“ini apaan?”
“itu biayanya mas. 84 juta”
“belum sama tanah?”
“belum lah mas. Masak murah banget”
“ya mana aku tau. Kan ente yang nggambar. Bzzz..”
 “ini pernah dibeli sama orang mas. 5 juta, tapi nggak saya kasih.”
“glek! Kok bisa?”
Dia bercerita. Seperti umumnya anak SMK, dia diberi tugas magang di salah satu developer. Menjadi pemantau lapangan. Ya semacam mador lah. Nah waktu amgang itulah, ada yang melihat gambarannya. Seorang developer. Beliau tertarik untuk membelinya. Seharga 5 juta. Tapi tanto bergeming, tidak mau menyerahkannya. Saya fikir mungkin karena itu karya pertamanya, jadi sayang jika harus menjualnya. Tapi 5 juta kan lumayan. Bikin lagi juga bisa.
“kan kamu bisa bikn lagi? Emang bikin kayak ginian lama ya?”
“nggak sih mas. Itu sekitar seminggu”
“lhah. Ya udah sih, jual aja trus lu bikin lagi. Selesai kan?”
“’nggak mas”
“nggak kenapa??”
 setelah terdiam cukup lama, mulutnya berucap “itu hadiah buat ibuk,mas”
Speechless. Merinding. Melting. Sumpah. Orang seperti tanto. Yang mau kuliah saja harus berfikir seribu kali. Yang -mungkin- beli handphone saja harus dengan bantuan orang lain.
Tanto yang -pasti- tidak mengerti kapan rumah itu bisa terealisasi. Kapan bangunan itu akan berdiri. Tanto yang -mungkin- juga tak mengerti apakah saat uangnya terkumpul, ibunya masih ada disampingnya untuk melihat rumah itu dhadiahkan untuknya. Tanto yang merelakan 5 juta melayang hanya agar ibuknya bangga melihat kerja kerasnya. Tanto, pemuda sederhana ini, jauh didalam kesederhanaannya, begitu mengerti bagaimana cara memuliakan ibundanya. Walau hanya dengan keinginan yang tak tentu kapan dianya menjadi kenyataan.
Tanto, yang kemungkinan dan kepastian hidupnya teramat slit untuk diterima. Tanto, sekali lagi, jauh didalam kesederhanaanya memaknai dunia, dia tahu bagaimana cara membuat ibunya tersenyum bangga.
Sedangkan kita? Dari semua fasilitas yang digelontorkan untuk kita, apa yang bisa kita berikan untuk membuat mereka bagga?
Namun kemudian saya bertanya-tanya. Kalau pertanyaan itu diajukan ke saya, hanya piala itukah jawaban saya?
Semoga kita mengerti, betapa bahagianya kita dibanding mereka.    

*foto diatas adalah gambaran tanto yang saya maksud

1 komentar: