Minggu, 10 Maret 2013

Kalahkan Rajanya : How to Influence People

     Saya mendapatkan beberapa pengalaman berharga dalam perjalanan saya ke tepian kota malang. Pulau sempu. Kebetulan sebelum berangkat, saya beberapa kali membolak-balik buku karangan Dale Carnegie yang berjudul how to win friend and influence people. Sebenarnya saya sudah beberapa kali membaca buku ini. Namun satu hal yang saya percayai. Ciri orang yang akan diberi keberkahan ilmu adalah dia yang tidak bosan dengan sebuah topik bahasan keilmuan, meskipun dia telah mendengar atau mempelajarinya berkali-kali. Dan saya memang senang membaca ulang beberapa poin materi dalam sebuah buku meskipun saya pernah menamatkannya. Maka tidak jarang teman-teman berkata “ngapain sih, buku udah beres dibaca lagi” dan saya Cuma menjawab “aku orang bloon, jon. Makanya kalau baca musti dua kali”.
     Oke. Back to the topic. Sampai di pinggiran pulau sempu, saya dan rombongan harus melewati perjalanan yang -normalnya- ditempuh selama 2 jam jalan kaki dengan track yang lumayan berat untuk sampai ke segoro anakan. Sebuah tempat yang dikelilingi oleh bukit, dimana ditengahnya ada air laut yang terperangkap. Its so beautiful. Cantik sekali.
Untuk masuk kesana, kita diharuskan memakai jasa pemandu. Dan itu bayar, 100 ribu. Disitulah letak permasalahannya, sumber pendanaan kami ternyata terbatas. Kami memutuskan untuk tidak memakai jasa pemandu. Dari pihak perizinan mengatakan bahwa kami tidak diperbolehkan masuk tanpa pemandu. Kontan saja kami mikir. Ih, cari untung ni pasti. Pemaksaan. Karena dari pihak sana ngotot, akhirnya mau tak mau kita ikut keinginan mereka. Daripada nggak jadi masuk. Mungkin karena dari awal kita nggak nurut, saya amati wajah pemandu kami ini agak sengak. Tau dah, apa karena kejadian tadi, apa emang dari lahir udah kayak gitu. Yang pasti saya mikir, kalau keadaannya kayak gini, perjalanan gak bakal seru nih.  
         Mulai dah saya ajak dia ngobrol. Mulai asalnya darimana, sejak kapan jadi pemandu, tentang keadaan kota malang, macem-macem lah. Dan untuk tahap ini, respon target belum sesuai keinginan. Si bapak ini masih menampakkan sikap dinginnya. Wah sial juga. Saya terus berfikir bagaimana “menjinakkan” hati orang tersebut. Kenapa saya harus repot-repot memikirkan cara untuk membuatnya akrab dan bersahabat?
         Karena ada satu hal yang saya yakini ketika bertemu dengan orang-orang seperti itu. Mereka pasti memiliki banyak ilmu. Memang, ini hanyalah husnudzon saya. Karena belum tentu mereka benar-benar punya banyak ilmu. Namun saya percaya bahwa ketika seseorang bersikap keras dan sombong, sebenarnya dia hanya ingin menunjukkan pada orang-orang di sekitarnya bahwa dia mempunyai banyak hal yang tidak dimiliki orang lain. Entah ilmu, entah pengalaman, entah wawasan, apapun itu. Dia hanya ingin orang lain tahu bahwa dia mempunyai banyak hal. “ini lho, aku! Aku punya yang tidak kau punyai!”. Itu pertama. Yang kedua, dia hanya ingin orang lain melihat kelebihannya dan mengapresiasinya dengan apresiasi terbaik. Untuk “menjinakkan” orang-orang seperti ini, saya akan membagi satu poin yang harus kalian ingat hingga kalian menjadi orang besar.
                William james pernah bertutur “prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai”. Ingat, kebutuhan untuk dihargai. Dale carnegie dalam sebuah bukunya mengatakan, “ini adalah satu rasa lapar yang tak terperikan dan tak tergoyahkan, dan individu langka  yang benar-benar dapat memuaskan kelaparan hati ini akan menggenggam orang dalam telapak tangannya.”. Dan itulah yang saya lakukan saat itu. Saya menyadari bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang merasa bahwa dirinya pantas untuk dihargai. Atau setidaknya, dia merasa bahwa saya harus menghargainya. Ada sedikit perbedaan disana, tapi ujungnya sama. Saya harus memberikan penghargaan untuknya. Titik.  
                Saya bisa saja tidak mempedulikan sikap dinginnya atau bahkan membalasnya dengan hal serupa. Secara, saya kan sudah membayar, dan saya adalah bos yang harus dilayani. Dan memang sikap meng-counter orang lain seperti itu juga sering saya lakukan. Tapi saya berfikir ulang sebelum melakukan hal itu. Kalau saya melakukan hal serupa, berarti akan ada dua batu keras yang siap dibenturkan. Lalu apa nyang akan saya dapatkan? Ah, saya rasa kurang bijak. Pepatah cina mengatakan, kalau anda disakiti seseorang, maafkanlah. Karena jika tidak, akan ada dua orang jahat disana.
                Saya menyadari kondisi ini dan segera memainkan peran saya. Yang saya cari adalah ilmu dan wawasannya. Sedangkan dia mencari “penghargaan” dari saya. Maka saya posisikan diri saya sebagai orang yang benar-benar memberikannya banyak penghargaan. Bagaimana caranya? Gampang, dengarkan saja dia bicara, dan berikan banyak persetujuan atas apa yang dia katakan. Izinkan saya mengulanginya sekali lagi. Dengarkan dia bicara, dan berikan banyak persetujuan atas apa yang dia katakan. Jadilah sepanjang perjalanan, saya banyak mengatakan “ya”, “wah, luar biasa ya pak”, “bener, bener, bener..hebat itu. Trus bagaimana?”, “wah, bapak berani bilang seperti itu? hhe.. mantep pak.”.
                Dan saya berhasil. Saya mendapatkan hatinya, saya mendapatkan ilmunya. Sepanjang perjalanan dia terus membagi satu persatu ilmu dan pengalaman yang dia punya. And I so excited with this. Saya sangat menikmatinya. Bahkan, ketika sepatu yang saya pakai rusak di bagian bawahnya, tanpa saya minta dia memperbaikinya dengan tali rafia. Dengan senang hati dia bilang pada saya “yakin, tali ini gak bakalan lepas.” Dan dia mengulanginya dua kali. Pada akhir sekuel ini, keadaan berbalik. Saya lah yang berhasil “menguasai” dirinya. Bukankah itu indah?
                Saya melakukan hal itu dengan tulus, dan rasanya adalah sebuah kesalahan jika itu dikatakan sebagai sebuah hasutan. Teladan tertinggi saya, Muhammad SAW adalah sosok yang paling jago melakukan hal ini. Lihatlah ketika beliau tiba di yatsrib.  Di kota penuh berkah itu, ada seorang rabi muda yang sangat dihormati di tengah bani israil. Hushain. Huhsian ibn salam. Artinya Kuda kecil, putra dari salam. Dia mendapatkan penghargaan dan penghormatan jauh melampaui usianya. Kecerdasan dan ketekunannya membuat dia faham mengapa yatsrib menjadi tempat jujugan kaumnya untuk ditinggali. Nabi terakhir itu akan muncul di sebuah negeri yang terletak di antara dua bukit yang ditumbuhi pohon-pohon kurma. Begitulah taurat menulisnya. Dan itu yatsrib. Nabi itu akan muncul. Muncul di yatsrib. Kecerdasannya menangkap perbedaan antara muncul dan lahir. Dan jelaslah bahwa Ahmad yang terpuji bukanlah keturunan Israil. Karena dia tidak terlahir disana, tapi muncul. Muncul di yatsrib. Dia berasal dari keturunan bangsa ismail, sepupu mereka. Orang quraisy makkah. Dan hushain mendengar bahwa nabi terakhir itu kini sedang dalam perjalanan ke yatsrib. Mulailah setiap hari dia memanjat batang kurma untuk menanti datangnya orang paling mulia. Dia yakin akan hal itu. Hingga suatu hari, begitu salim A Fillah menulisnya dalam dekapan ukhuwah, dari arah Tsaniyatul Wada’ kepul kepul debu dilihatnya menjelang kemunculan unta putih yang begitu gagah. Itukah unta yang masyhur bernama Al-Qashwa? Itukah Sang Nabi yang menungganginya? Ya. Itu beliau, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam!
                Maka hushain berteriak kepada kaumnya bahwa sang juru selamat benar-benar telah tiba. Sesaat kemudian dia berlari menghampiri Rosulullah, mencium tangan beliau dan berkata “asyhadu an laa ilaaha illallaha, wa annaka rasulullah”. Sebuah pemandangan yang indah. Kemesraan dalam ikatan iman. Bahkan hushain mendapatkan nama baru dari Sang Nabi. ‘Abdullah. ‘Abdullah Ibn Salam. Sang nabi telah memberinya kejutan di pertemuan pertamanya.
          Dan ‘Abdullah semakin terpikat pada sosok yang mulia ini saat Sang Nabi berdiri dan mendoakan di tengah-tengah warga yatsrib. “Ayyuhannaas.. Afsyusalaam, wa siilul arhaam, wa ath’imuth tha’aam, wa shallu billaili wan naasu niyaam, tadkhulul jannata bi salaam. Hai sekalian manusia, tebarkanlah kedamaian, sambunglah tali kasih sayang, berikanlah makanan pada yang kelaparan, sembahyanglah kala malam di saat manusia terlelap, dan kalian akan masuk surga dengan dilimpahi keselamatan.”
    Abdullah sedikit terhenyak. Tak salah dengarkah dia? Di khutbah pertamanya, Sang Nabi menyebut nama ayahnya yang telah meninggal, salam, sebanyak dua kali! Its very unpredictable! Luar biasanya Sang Nabi. Alangkah pandainya beliau mengambil hati. Cerdas. Mempesona. Dan saya yakin, disamping karunia allah yang maha perkasa, cara nabi menghargai orang seperti inilah yang membuat orang-orang hebat mau berdiri dan berjuang bersama dibelakangnya, dalam komando dan perintahnya.
      Seorang teman pernah bercerita pada saya. Dia punya seorang kenalan yang jauh diatas usianya. Di tempat kerjanya, sebuah lembaga yang merupakan anak cabang, banyak orang yang mengeluh dengan sikap dan perangai kerasnya. Bahkan sang pimpinan pada akhirnya berhasil mendepaknya ke kantor di daerah lain.
        Disisi lain, dia mempunyai etos kerja yang sungguh luar biasa. Dia mampu melakukan perkerjaan yang bahkan tidak terfikirkan oleh orang lain. Dia tahu bagaimana membuat sebuah lembaga lebih rapi dan berkembang. Tapi agaknya, sikap dan perangai yang dia miliki seakan menjadi penghalang bagi orang lain untuk mengatakan bahwa dirinya adalah orang hebat. Dan kenyataan yang dia terima adalah, orang-orang disekitarnya tidak menghargai karya-karyanya. Kerja keras dan pemikirannya ibarat tanaman yang tidak mendapatkan pupuk.
        Keadaan lembaga menjadi kacau. Disatu sisi, banyak terobosan baru yang bisa dikembangkan. Nampak dari luar bahwa lembaga ini menunjukkan perkembangan yang tidak bisa dianggap remeh. Disisi lain, lembaga ini telah tumbuh dengan tidak sehat. Dia tidak bisa menjadi rumah bagi  para pekerjanya. Dan jika ini terus berlanjut, orientasi orang-orang yang ada di dalamnya akan berubah menjadi orientasi menang-kalah, saling sikut, pamer jabatan. Sangat-sangat duniawi. Lembaga ini akan berubah menjadi hutan rimba. Its far from the expectacion. Maka ketika ada evaluasi dari pusat, diputuskan bahwa orang tersebut harus dipindahkan ke kantor cabang di pulau lain.
         Saya sedikit kagum sebenarnya. Hebat juga ya ni orang. Karena gini, kita ibaratkan ada seorang ketua kelas. Kelas yang dia pimpin ini awalnya tenang dan disiplin. Lalu ada satu anak yang masuk dan membuat sebuah perubahan disana. Kelas jadi kacau, berisik, siswanya acak-acakan, hancur dah pokonya. Kalau kita mau jujur, satu anak inilah yang sebenarnya menjadi pemimpin disana. Biar kata dia membuat kekacauan, biar kata dia menciptakan suasana tidak kondusif, but he can influence the people to do what he want. Atau setidaknya, dia bisa membuat sebuah perubahan disana. Atau setidaknya lagi, ketua kelas yang harusnya menjadi pemimpin disana, tidak mampu mengatur anak ini. Maka dialah pemimpinnya saat itu.
       Lhoh, dia kan membuat kekacauan, bukan memimpin? Kita ingat ketika fir’aun menguasai mesir dan membuat hukum bahwa bayi laki-laki yang lahir harus dibunuh, bukankah itu kacau? Dan fir’aun yang memimpin saat itu. Benito Mussolini. Dengan kekuasaannya dia membantai ratusan juta ras afrika, juga hitler yang dengan sadis membumi hanguskan bangsa yahudi. Bukankah itu kekacauan? Tapi, bukankah mereka yang menjadi pemimpin saat itu?
     Sama halnya dengan orang yang saya ceritakan diatas. Saya sedikit menyayangkan jika kehadiran orang tersebut malah berakhir dengan ketidaksehatan lembaga. Andai pemimpin lembaga itu sedikit lebih bersabar dan berfikir bagaimana cara menjinakkannya, sudah dipastikan bahwa dia akan mendapatkan prajurit hebat untuk memajukan lembaganya.     
        Karena orang seperti ini, mau tidak mau, disadari atau tidak, bekerja untuk mendapatkan sebuah penghargaan. Mungkin bisa saja dia bilang “saya melakukan ini untuk lembaga, bukan untuk sebuah pujian”. Tapi justru inilah yang membedakan antara kita dan hewan peliaraan milik kita. Sekali lagi, ada kebutuhan yang menuntut kita untuk memperolehnya dari manusia lain. Dan jika kita tidak mendapatkannya dari orang-orang di sekitar kita, kita tidak akan pernah menganggap orang-orang itu sebagai manusia. Maka kemudian, mereka juga tak akan mendapatkan penghargaan itu –yang juga merupakan kebutuhan mereka- dari kita. Karena sekali lagi, rasa dihargai itu kita peroleh dari manusia, dan hanya kita berikan pada manusia.
     Sebenarnya, siapakah yang salah atas ketidakharmonisan di lembaga tersebut? Jawabannya, bisa jadi dua-duanya. Orang yang minta dihargai tinggi itu mungkin salah. Orang-orang disekitarnya yang tak memberikannya sebuah penghargaan mungkin juga bisa disalahkan. Lepas dari siapa yang benar siapa yang salah, keadaan seperti ini harusnya bisa diatasi. Jangankan orang hebat seperti dia, orang yang tidak mampu bekerja dan tidak mau diingatkan saja pada akhirnya bisa menjadi pekerja yang baik. Saya kagum dengan kisah ini. Kisah yang saya dapat dari karangan Dale Carnegie. Dia menuturkan tentang pengalaman Pamela Dunham dari New Fairfield, Connecticut. Pam mempunyai tanggung jawab untuk melakukan supervise terhadap seorang office boy yang mengerjakan tugasnya dengan sangat buruk. Para pegawai lainnya bahkan mencemooh dan membuang sampah di lorong untuk menunjukkan kepadanya betapa buruk hasil pekerjaannya. Sungguh keadaan yang sangat tidak kondusif. Waktu produktif yang harusnya ada menjadi hilang di toko itu. Sesudah beberapa kali memotivasi, Pam tetap tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Setelah dia amati dengan teliti, ternyata orang ini tidak selamanya menyelesaikan pekerjaannya dengan buruk. Ada saat dimana dia mampu melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Dan Pam mengambil sebuah keputusan, bahwa dia akan memuji orang ini atas pekerjaannya di depan orang lain. Setelah Pam melakukan hal itu padanya, setiap hari pekerjaan yang dia lakukan semuanya menjadi lebih baik, dan dalam waktu cukup singkat dia mulai mengerjakan semua tugasnya dengan cemerlang. Kini, orang-orang memberinya penghargaan dan pengakuan atas hasil kerjanya. Penghargaaan yang jujur –walaupun kecil- ternyata berhasil membuat sebuah perubahan besar, sementara kritik dan cemoohan terbukti tidak memberikan pengaruh apapun –walau itu besar-.
         Maka prinsipnya, membuat orang berubah menjadi lebih baik dengan cara mengkritik adalah pekerjaan orang mulia. Namun orang mulia yang cerdas, lebih memilih pujian sebagai sarananya.
       Sekali lagi, pada akhir sebuah adegan, ketika “prajurit” berhasil menguasai “raja”, bukankah itu indah?

0 komentar:

Posting Komentar