Minggu, 23 Juni 2013

Kurikulum Berbasis Kompetensi, Tepatkah?

Sebuah refleksi sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia menurut salah seorang Guru Besar Psikologi UI. Tulisan ini layak untuk dibaca seluruh mahasiswa yang saat ini sedang menuntut ilmu. Terkhusus untuk calon sejawatku dimanapun kalian berada.

Waktu saya kuliah di UI dulu (saya masuk UI tahun 1961), Fakultas Psikologi baru setahun berdiri. Nomor mahasiswa saya 117, berarti saya adalah mahasiswa psikologi ke-117 saat itu. Sebelumnya ada juga mahasiswa-mahasiswa psikologi di UI, tetapi mereka adalah bagian dari Fakultas Kedokteran UI. Malah pada ijasah lulusan psikologi pertama dari UI, Fuad Hassan (almarhum, Prof. Dr, terakhir Mendikbud) masih tertulis gelar Doktorandus dari Jurusan Psikologi, FKUI. 
Karena Psikologi didirikan oleh seorang dokter, psikiater, yaitu Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dan berawal dari fakultas kedokteran pula, tak heran bahwa kurikulum psikologi pada waktu itu dipadati dengan pelajaran-pelajaran kedokteran seperti anatomi (termasuk bedah mayat), ilmu faal (menghafalkan nomor, nama dan fungsi setiap syaraf, dan kelenjar), Sitologi atau Ilmu Sel (mengenali aneka sel melalui mikroskop), biologi dsb. Kuliahnya juga masih campur dengan mahasiswa kedokteran. Entah apa maksudnya pelajaran-pelajaran kedokteran itu, karena sekarang nyatanya hampir tak pernah digunakan dalam praktik, tetapi psikolog angkatan saya (para senior dan adik kelas beberapa tahun sesudah saya) tidak bengong ketika harus berkomunikasi dengan para dokter.
Ketika saya menjadi dosen, salah satu mata kuliah yang saya ajarkan adalah Psikologi Umum dan Sejarah Psikologi. Malah saya sampai menulis beberapa buku tentang kedua mata kuliah yang saling bersambung itu. Menurut para pembuat kurikulum di waktu itu, setiap psikolog harus menguasai berbagai teori generik dalam psikologi dan bagaimana saling keterkaitan dan perkembangan teori-teori itu dari waktu ke waktu. Ketika nantinya psikolog itu memilih sendiri aliran, metode atau teknik yang akan dipakainya, dia tetap bisa melihatnya dari berbagai sudut teori yang lain. Itulah basis kompetensi yang diperlukan oleh seorang psikolog pada waktu itu.
Saya memerlukan waktu 6 tahun untuk menyelesaikan kuliah saya untuk menjadi psikolog (sementara teman-teman dan senior saya ada yang memerlukan waktu sampai 7-10 tahun). Mahasiswa saya ketika itu (kurikulum lama) membutuhkan 5,5 tahun, tetapi sarjana psikologi sekarang hanya diberi waktu 4 tahun, plus 2 tahun lagi kalau dia mau lanjut ke master atau psrofesi psikologi. Dapat dipahami bahwa untuk memenuhi kurikulum baru yang hanya 4 tahun, banyak pelajaran yang harus dipangkas, termasuk ilmu-ilmu kedokteran (disisakan unutk Biologi saja, 2 SKS), bahkan juga ilmu filsafat (tinggal 4 SKS), yang buat saya merupakan kompetensi yang sangat mendasar yang harus dikuasai oleh psikolog. Inilah hasil didikan sekarang yang disesuaikan dengan arahan Dirjen Pendidikan Tinggi tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi).
Saat ini saya sedang di Singapura, mengikuti Asian Conference of Criminal and Operations Psychology (ACCOP) selama 3 hari. Yang hadir adalah para pakar psikologi kriminal dan psikologi kepolisian (termasuk sipir penjara, Pemadam kebakaran dan petugas imigrasi, karena di Singapura mereka di bawah satu kementrian Home Affairs).
           Walaupun namanya Asian Conferene, tetapi banyak psikolog dari seluruh dunia yang hadir, termasuk dari AS, Inggris dan Australia. Banyak yang sudah senior seperti saya, tetapi tidak kurang yang masih baru saja diwisuda (tetapi sudah jadi pegawai). Mereka yang muda-muda ini bercampur dengan yang tua-tua dan tidak peduli tua-muda, semuanya bertugas memaparkan makalah.
           Saya terkagum-kagum dengan paparan para psikolog yang muda-muda ini. Dengan PD-nya mereka tampil saja ke panggung, menyampaikan namanya kepada hadirin, membawakan makalahnya dan melayani tanya-jawab. Saya lihat mereka sangat terrampil dalam membuat makalah dan menggunakan rumus-rumus statisika.
Tetapi pada malam harinya, pada acara dinner (bahasa Indonesia biasa: makan malam), saya duduk semeja dengan psikolog-psikolog muda itu, yang kebanyakan Singaporean. Yang cewek-cewek lumayan cantik-cantik (untuk ukuran Singapura; kalau di Indonesia, kalah jauh dengan wajah-wajah infotainment). Di situ salah satu dari mereka menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang masih sangat muda. Ketika itulah saya bertanya (untuk menguji, tetapi jangan sampai kentara), “Oh ya? Mulai kapan ya psikologi berdiri?”. Nona psikolog itu, dibantu teman-teman nonik-nonik lainnya tidak bisa menjawab atau menjawab ngawur. Kemudian saya beritahu, tahun 1879! Tahu siapa yang mendirikan? Tanya saya lagi. “Freud?”, jawab salah satu nonik muda cantik (versi Singapur) itu. “Bukan,” sanggah saya. “Pendiri psikologi adalah Wllhelm Wundt. Pernah dengar teori Wilhelm Wundt?”. Tidak ada yag bisa menjawab saya, malah mereka mulai saling ngobrol sendiri. Mungkin sambil berpikir, “Ngapain sih, kakek tua itu nanya-nanya yang gak penting?”. 
Buat saya juga gak penting apakah mereka menguasai psikologi secara keseluruhan atau hanya pandai di statistika saja. Yang penting saya lanjutkan makan udang besar-besar di piring saya yang sudah sekian lama tak tersentuh.
Dari pengalaman saya tersebut di atas, saya berkesimpulan bahwa pendidikan psikologi sedunia, sudah direduksi sedemikian rupa sehingga seorang psikolog mahir menghitung statistik dalam penelitian (sebagai basis kompetensi), tetapi kurang memahami teori-teori yang bersifat holistik.
           Pengalaman saya dengan teman-teman dokter juga kira-kira sama. Bahkan saya pernah mendengar sorang dokter yang berceritera bahwa kelak untuk menjadi seorang kardiolog (spesialis penyakit jantung), tidak usah mahasiswa belajar dari dokter umum dulu, bisa langsung belajar penyakit jantung saja dari awal.
Kalau semua ilmu sudah direduksi seperti itu, apalagi di ilmu-ilmu sosial, pantaslah bahwa pragmatisme yang mecuat sekarang. Pragmatisme inilah yang sekarang sedang mengikis pelan-pelan nilai-nilai kemanusian yang selama ini mengawal perilaku manusia sehingga sekarang di mana-mana terjadi terorisme, perang, narkotika, perdagangan manusia, pedagangan sapi dan pergaulan berbasis Honda Jazz.

Sarlito Wirawan Sarwono
Singapura, 23 Mei 2013
 

0 komentar:

Posting Komentar